Harusnya hari-hariku sebagai seorang nenek disuguhkan dengan kesenangan menimang cucu. Apalagi Romi adalah cucu pertamaku. Saking sayangnya aku padanya sejak Romi di dalam kandungan, aku selalu memperhatikan asupan makanan untuknya. Apa saja yang harus dimakan dan apa saja yang harus dipantang oleh ibunya.Semua aturan yang diberikan oleh orang yang lebih tua selalu aku dengar. Dari yang nggak boleh makan ikan, menjahit baju, atau apa pun itu yang tidak boleh dilakukan oleh ibu hamil selalu aku terapkan kepada Rina. Namun sayang seribu sayang semua perhatianku tidak diterima dengan baik oleh menantuku.Yang kata dokter inilah kata bidan yang itulah. Bikin pusing kalau mendengarkannya. Bahkan dia diam-diam juga berani mengambil ikan dan lauk pauk yang harus dia pantang. Hidung Rina itu kayak hidung kucing, mau aku simpan di manapun dia selalu tahu.Apalagi setelah melahirkan, Rina begitu angkuh. Sayur yang aku masakin jarang sekali disentuh. Entah dari mana datangnya, dia bisa membeli m
"Coba, Ibu lihat ini!" Ku buka amplop coklat yang ada di dalam tas ransel."Uang? Kok banyak sekali uang kamu, Nak? Kamu dapat uang sebanyak ini dari mana?" Ibu terlihat kaget."Sudah, Ibu nggak perlu banyak bertanya. Yang penting Ibu sudah tahu kalau uang untuk berobat Romi sudah ada," kataku lagi."Alhamdulillah kalau kamu sudah ada uang. Kalau begini kan ibu juga sedikit tenang."Uang? Hanya demi uang ibu sudah berani mengambil keputusan yang salah. Bahkan tidak peduli dengan harga diri keluarga diinjak-injak oleh ibu mertua. "Pokoknya Rina sekarang nggak mau dengar lagi ibu menyuruh Rina untuk mengambil uang dari mas Adit lagi. Aku harap, jangan, lakukan itu lagi, Bu! Rina tidak suka."Mendengarkan perkataanku ibu langsung diam seribu bahasa.Aku sangat bersyukur mempunyai sahabat seperti Prita. Jasanya tidak akan pernah aku lupakan. Setelah aku melahirkan dialah yang setiap hari selalu mengirimkan aku makanan. Padahal aku tidak pernah cerita apapun yang sedang aku alami selama di
"Lihat, itu! Masih ingin membela menantu dan ibunya itu? Anak kita itu Rina, Bu, bukan Adit. Kenapa kamu malah membela menantu yang tidak tahu diri itu? Jika tadi kamu tidak mencegahku mungkin dia sudah aku jadikan perkedel," ucap bapak."Sudahlah, Pak. Jika sebelumnya aku tahu cerita yang sebenarnya, mana mungkin aku sampai tega menamp*r Rina," ucap ibu tak ingin bapak meneruskan omelannya."Maafkan ibu ya, Nak. Ibu sangat bersalah kepada kamu, ibu menyesal. Ibu tadi benar-benar terpancing emosi karena Adit sudah berkata yang tidak-tidak mengenai kamu," ucap ibu seraya mengelus pundakku."Makanya, Bu, kalau ada orang mengadu itu dicari kebenarannya dulu jangan asal percaya saja. Apalagi Rina selama ini adalah anak yang jujur tidak mungkin Rina berbohong kepada kita."Kini bapak menyahut lagi terlihat jelas bapak masih belum bisa melupakan kejadian yang telah aku alami."Sudahlah, Pak. Jangan dibahas lagi masalah itu. Itu kan sudah berlalu. Sekarang kita fokus saja dengan kesembuhan Ro
"Ibu tidak ingin kehilangan cucu lagi, Pak. Ibu tidak ingin kehilangan Romi," kata beliau dengan berderai air mata."Maafkan Ibu, Nak. Maafkan Ibu. Ibu sudah banyak bersalah kepada kamu dan Romi, Nak. Ibu sebenarnya hanya ingin yang terbaik untuk kamu dan Romi.""Tolong, maafin ibu, Nak! Ibu menyesal," ucap beliau lagi.Ibu terus saja meminta maaf ke padaku. Namun entah rasanya aku masih enggan untuk memaafkan beliau.***"Ya Allah selamatkan anakku ya, Allah." Tak ada hentinya ku panjatkan doa untuk keselamatan bayiku tersayang.Hari demi hari aku tetap di sini menjaga anakku yang sedang melawan maut.Silih berganti tetangga dan beberapa saudara datang ke rumah sakit untuk menjenguk Romi. Tak jarang ada juga tetangga yang julid kepada kami."Anak zaman sekarang ini nggak kayak dulu, ya, Bu. Dulu zamannya kita, sejak lahir juga sudah diberikan makan. Lha mau gimana? Bayinya rewel terus. Sedangkan sekarang, baru dikasih makan sedikit saja sudah sakit, dan langsung dilarikan ke rumah sak
Hari-hariku kini aku habiskan di rumah sakit. Bahkan rasanya mulut ini menolak untuk makan walaupun hanya sesendok. Karena hatiku ini sedang benar-benar hancur hingga tidak perduli dengan badanku sendiri.Ku kuatkan jiwa ini apapun nanti jalan yang dipilihkan Tuhan pasti itu yang terbaik untukku. Akan aku terima dengan ikhlas."Rin, aku suapin, ya," kata Prita mengagetkanku. "Tidak usah Prita. Biar aku makan sendiri nanti," jawabku."Tapi nasi ini sudah sejak tadi kamu anggurin. Nanti keburu nggak enak dimakan," katanya lagi.Sampai tak sadar nasi yang sudah aku buka sejak tadi tidak kunjung aku makan. Entah aku sekarang jadi sering melamun."Eh, iya. Aku makan kalau gitu." Dengan malasnya aku pun mulai menyendok nasi yang dibawakan Prita."Kamu yang sabar ya, Rin. Aku yakin kamu dan Romi adalah manusia yang kuat. Kalian bakal bisa melewati semua ini," tuturnya pelan."Makasih ya, Prit," jawabku singkat. "Ngomong-ngomong besok mau dibawakan makanan apa lagi?" tanyanya lagi."Tidak u
"Assalamu'alaikum!""Wa'alaikum salam!" jawab kami bersamaan.Ibu mengernyitkan keningnya setelah melihat aku dan bapak sedang mengemas beberapa barang. Beliau tampak sangat bingung melihat beberapa tas sudah tertata rapi di depan kamar."Loh ada apa ini, Pak? Memangnya kita mau ke mana?""Ibu jangan banyak tanya dulu. Yang penting kita cepat berberes, kita kemas semua barang-barang kita."Satu persatu beberapa tas berisi baju, bapak bawa masuk ke mobil yang sebelumnya sudah beliau siapkan."Kamu istirahat saja, Nak. Biarkan bapak saja yang membawa tas ini ke dalam mobil. Takut nanti kamu semakin kecapekan, dan jaga-jaga kalau Romi bangun tidur menangis mencari kamu.""Iya, Nak. Biar ibu dan bapak saja yang melanjutkan. Kamu istirahat saja." Kini ibu juga turut membantu bapak."Baik, Pak." Aku pun langsung masuk ke kamar menurut apa yang diminta bapak dan ibu perintahkan kepadaku.Saat aku sampai di dalam kamar, ternyata Romi sedang menggeliat. Sepertinya dia sedang ingin Asi. Dengan s
Pov Ibu MertuaRasanya sangat kesal sekali setelah mendapat penolakan dari keluarga Rina. "Cih! Angkuh sekali itu bapaknya Rina sok-sokan banget kepada kita. Kamu itu juga jangan diam aja Adit. Sesekali lawan itu mulut bapaknya Rina!" kataku emosi.Sejak di jalan aku marah-marah tidak jelas karena kesal dengan perlakuan pak Fuad yang mengusir kami dari rumahnya.Bukannya Adit menjawab perkataanku, malah di sepanjang jalan dia terlihat murung. Entah apa yang dipikirkannya. Mungkin dia masih tergila-gila kepada istrinya yang tidak berguna itu."Setelah ini lupakan saja itu si Rina. Percuma juga punya istri seperti dia. Tak mau menurut sama suami dan mertuanya," kataku kesal."Jangan bilang begitu dong, Bu. Mana mungkin Adit bisa melupakan Rina. Dia kan istri Adit yang menemani Adit dari nol sampai bisa seperti sekarang ini.""Halah, pikiran dari mana itu? Yang menemani kamu dari nol itu ibu, bukan dia! Rina itu hanya tinggal metik hasilnya saja. Dalam pikirannya cuman belanja dan belanj
Aku sengaja berlama-lamaan di dalam kamar mungkin sampai ketiduran pun tidak masalah. Biar kapok itu bu Mariyah, nggak utang-utang lagi sama aku. Memangnya aku emaknya kalau berhutang nggak dikembalikan?"Bu! Bu, Munah!" teriaknya setelah setengah jam aku tinggal berbaring di dalam kamar.Beberapa kali dia berteriak memanggilku, namun sama seperti sebelumnya tidak aku jawab. Biarkan saja setelah ini dia bakalan capek sendiri. Kalau sudah capek sendiri pasti juga akan pulang.Setelah sekitar lima menitan lamanya Bu Mariyah berteriak memanggil namaku, suaranya sudah tidak terdengar lagi. Dengan cepat aku memastikan dari balik jendela."Makan tuh hutang!" Aku berhasil membuat Bu Mariyah pulang dengan menelan pil pahit.Awalnya aku meminjamkan uang kepada bu Mariyah karena kasihan tapi lama kelamaan aku merasa dimanfaatkan. Makanya aku stop untuk kasih utangan lagi ke bu Mariyah.Mungkin kalau bukan tetangga aku juga tidak akan mau berteman dengan beliau ini.***Aku mengernyitkan keningku