Raffael dan Revalina kembali menemui Hanna di ruang makan.
Revalina mengatakan jika dirinya siap menjadi istri Raffael. Pernyataan gadis itu tentu saja membuat Hanna tidak percaya sekaligus senang. Bagaimana tidak? Kemarin, Revalina sudah menolak bahkan enggan menemuinya saat pamit pulang.
"Kamu seruis, Sayang?" tanya Hanna memastikan.
Revalina mengangguk diiringi senyum yang tersungging. "Iya, Tante. Rere siap menjadi ibu sambung dari Mbul. E-eh, maksud Rere Aldevaro."
Hanna memeluk Revalina dengan erat dengan rasa haru. Tak terasa bulir bening meluncur bebas jatuh di pipi wanita paruh baya itu.
Revalina melerai pelukan. "Tante, kenapa menangis?"
"Jangan panggil Tante, mulai sekarang panggil Mama saja."
"I-iya, Ma-Mama."
"Mama senang, Nak. Akhirnya kamu menjadi menantu keluarga Xie. Itu yang papanya Raffael harapkan sebelum kematiannya beberapa tahun lalu."
Raffael menunduk mendengar ucapan Hanna. Ya,
Makan malam mewah digelar di kediaman Xie sebagai tanda bersatunya dua keluarga. Senyum bahagia terpancar dari wajah Hanna juga Cindy."Aku bener-bener gak nyangka. Yang semula ingin Raffael mengajarkan bisnis kepada Revalina. Eeh ... malah jadi mantu," ujar Cindy diiringi senyum."Yang jelas aku bahagia. Akhirnya permintaan terakhir suamiku dapat terkabul," timpal Hanna sambil menatap foto besar yang terpajang di tembok.Raffael menggenggam tangan Hanna. "Maafkan El, Ma. Dulu tidak mendengar apa kata Mama dan Papa.""Iya, Nak. Yang penting sekarang kalian sudah bersatu. Sayangi menantu Mama ya? Jaga dia, cintai dia," pinta Hanna.Raffael hanya mengangguk sebagai jawaban."Uuuh ... kamu sudah ngantuk, Sayang? "Kita bobok, yuk!" ucap Revalina saat melihat Aldevaro menguap."Rere tidurin dulu Al, ya? Sepertinya sudah mengantuk," pamit Revalina kepada semua orang kemudian beranjak."Tunggu
Mobil milik Raffael sudah terparkir di halaman rumah nan luas milik Carlos.Revalina turun terlebih dulu sambil menggendong Aldevaro tanpa sepatah kata.Kedatangan mereka disambut hangat oleh Cindy dan Carlos."Eeh ... cucu Nenek," sapa Cindy sambil mengelus pipi Aldevaro."Ada apa, Sayang? Bukankah pakaian dan barang-barangmu sudah Mama kirim semalam?" sambung Cindy bertanya kepada Revalina."Iiih ... jadi Mama gak mau Rere pulang, gitu?" Bibir Revalina mengerucut kemudian duduk di sofa.Cindy tersenyum. "Bukan begitu juga, Sayang. Udah ah, jangan ngambek. Gak malu apa sama bayinya?"Revalina mengangkat kedua pundaknya."Silakan duduk, Nak Raffael," titah Carlos."Iya, Pa." Raffael duduk di samping Revalina."Aku titip Al dulu," ucap Revalina sambil menyerahkan Aldevaro kepada suaminya."Loh, ke mana, Sayang?" tanya Cindy."Kamar," jawab Revalina
Revalina sudah merasa tenang. Ia menghubungi James --sopirnya, untuk menjemput. Tidak berselang lama, James tiba di sana."James, ikut aku ke keluarga Xie. Kau tetap jadi sopir pribadiku," ucap Revalina saat di mobil."Iya, Nona, dengan senang hati."Mobil melaju dengan kecepatan sedang sampai akhirnya tiba di kediaman Xie. Revalina gegas turun dan masuk. Kedatangannya disambut gembira oleh Aldevaro yang tengah digendong oleh Raffael dan disuapi oleh Hanna."Dari mana?" tanya Raffael."Kafe," jawabnya singkat lalu meminta maaf kepada Hanna karena sudah repot menyuapi Aldevaro.Revalina membawa Aldevaro ke kamar sambil membawa bubur dalam mangkuk diikuti oleh Raffael.Di kamar, Aldevaro didudukkan pada kereta bayi untuk melanjutkan makannya."Maaf," kata Raffael.Revalina tersenyum kemudian berkata, "Tidak apa. Terserah kau mau melakukan apa. Aku tidak akan peduli. Yang aku pikirk
Sesampainya di rumah, Revalina membaringkan bayinya yang masih tertidur nyenyak setelah menangis tadi. Pun dengan dirinya, ia ikut merebahkan diri di samping Aldevaro. Badannya menyamping sambil memeluk tubuh mungil sang bayi.Suara langkah mengalihkan perhatian Revalina. Ia mendongak kemudian fokus lagi kepada Aldevaro setelah tahu siapa yang datang."Kalau besok ada luka lebam pada bokong anakku, kau harus melaporkan mantan istrimu. Aku tidak mau tau!" ujar Revalina.Raffael duduk di tepi ranjang kemudian menjawab, "Iya, tentu saja aku akan memperpanjang kasusnya, jika itu terjadi.""Kau sangat menyayangi Al?" sambung Raffael bertanya."Ck! Pertanyaan macam apa itu? Tanpa bertanya seharusnya kau tahu itu semua, Tuan!"Raffael mengangguk. "Ya, tentu saja aku bisa melihatnya. Aku hanya memastikan saja," imbuhnya. "Terima kasih sudah menyayangi putraku. Dan aku berharap itu yang akan terjadi juga dengan kita."
Pagi sudah menyapa. Laiknya seorang ibu rumah tangga, Revalina sudah berkutat di dapur sedari pukul empat pagi. Keinginannya untuk bisa memasak sangat kuat. Dibantu oleh asisten rumah tangga keluarga Xie, ia menyajikan menu sarapan favorit untuk suami, anak, juga mertuanya.Satu jam sudah berlalu, bersamaan dengan selesainya tugas memasak mama muda itu."Bagaimana, Bi? Enak tidak?" tanya Revalina kepada Jumi --orang kepercayaan keluarga Xie untuk menjadi koki.Jumi tersenyum. "Untuk awalan, ini sudah lumayan enak, Nyonya Muda.""Benarkah?" tanya Revalina memastikan dengan wajah senang. "Bi, jangan panggil aku Nyonya Muda. Panggil saja Rere.""Ah, tidak. Nanti Bibi kena marah Tuan Muda. Bibi kapok dimarahin gara-gara dulu Nyonya Casandra.""Memangnya kenapa, Bi?"Jumi pun bercerita, jika dulu Casandra sangatlah sombong. Semua yang dilakukan pembantu di kelu
Revalina mengetuk pintu ruang Dekan, tetapi tidak ada jawaban dari dalam."Masuk saja, Dekan belum datang. Mungkin sebentar lagi," kata seorang Dosen."Baik, terima kasih."Revalina memutar tuas pada pintu kemudian masuk. Matanya menyisir setiap sudut ruangan."Apa perasaan aku saja, ya. Suasana ruangan seperti ini sangat tidak asing lagi. Seperti ruang kerja suamiku," gumam Revalina.Sesaat kemudian, matanya membulat sempurna ketika melihat tulisan pada papan nama yang ada di meja."Ra-ffa-el Ge-rrald Xie," ucapnya mengeja."Iya, itu aku." Suara bariton dari arah belakang tiba-tiba saja mengagetkan Revalina. Gadis itu menoleh ke arah suara."Om Suami? Benarkah nama yang tertera di situ adalah kau?" tanya Revalina memastikan seraya mengikuti Raffael melangkah.Raffael tidak memedulikan pertanyaan istrinya. "Mana pengajuan cutimu," pintanya.Revalina mengeluarkan selembar k
Setelah mendengar penuturan dari Hanna mengenai Kitty, Revalina merasa waswas karena tak hanya orang tua mereka saling kenal, tetapi sikap genit Kitty kepada Raffael bisa membuat suaminya tergoda."Ya, sudah, Ma, Rere ke kamar dulu, ya? Mau kompres dulu kening," pamit Revalina."Mana coba, Mama liat." Hanna menyibak rambut yang menutupi kening menantunya."Ya, ampun, Sayang. Pasti keras banget jatuhnya. Lebih baik kita periksa ke dokter saja, yuk?" sambung Hanna cemas."Tidak usah, Ma. Rere baik-baik saja, kok. Di kompres air hangat saja nanti hilang sakitnya.""Baiklah, kalau begitu Mama suruh Bi Jumi untuk membawakan air hangat ke kamar. Kamu rebahan dulu saja, ya." Hanna beranjak ke dapur.Revalina mengangguk kemudian pergi ke kamar.Di kamar, rupanya Raffael sedang mencoba menidurkan Aldevaro. Bayi gembul itu sedang meminum susu dengan memegang botol s
Aldevaro sudah di tangan Hanna. Raffael bergegas kembali ke kamar untuk memastikan kondisi Revalina. Saat tiba di kamar, rupanya sang istri sudah tertidur pulas."Cepat sekali dia tidur," gumam Raffael.Tangannya terayun menyentuh kening Revalina. "Astaga! Panas sekali."Raffael menghubungi dokter pribadinya. Sambil menunggu dokter datang, Raffael kembali mengompres luka memar di kening istrinya yang mulai terlihat benjolan."Bagaimana, El?" tanya Hanna yang datang bersama Aldevaro."Dia demam, Ma," jawab Raffael. "Kebetulan ada Mama, tolong ganti baju Revalina, Ma," sambungnya.Hanna tersenyum. "Kenapa gak sama kamu aja? Toh kamu sudah menjadi suaminya, El.""Ya-yang benar saja, Ma. Enggak, ah.""Kau ini, mau apain Rere juga bebas, El. Gak bakal Mama protes. Justru Mama seneng, siapa tau aja Aldevaro punya adik.""El serius minta tolong, Ma.""Mama juga serius," timpal Hanna kemudian pergi