Share

Bab 6. Karena Lampu Merah

Setelah kejadian kemarin malam, Doni pikir hubungannya dengan Rani berjalan semakin dekat.

Namun, ternyata tidak. Hari ini, ketika dia pergi ke kantor seperti biasa, Doni melihat Rani tengah di bonceng Tori dengan wajah ceria.

Doni yang merasa kesal menurunkan kaca jendela, menegur Rani.

“Ran, kamu mau ke mana?”

“Eh, Pak Doni. Selamat pagi ... Biasa Pak, Saya mau ke tempat kerja. Bapak juga mau pergi kerja, ya?”

Rani cukup kaget ketika Doni menyapanya di samping ketika lampu merah, tapi Rani mencoba untuk tenang dan bersifat normal, sampai keluarlah ucapan demikian.

Doni mengangguk, “kalau begitu, kamu bisa_”

“Wah, sudah hijau. Kalau begitu, Saya duluan, ya, Pak. Selamat jalan ...” Rani bicara sopan tanpa peduli seperti apa wajah Doni saat itu.

“Kamu tidak apa-apa?” Tori melihat lewat kaca spion.

“Sudahlah, cepat pergi!” Rani meminta Tori untuk melajukan motor segera supaya dia cepat menjauh dari Doni.

Doni terkejut ketika melihat calon istri malah kabur dengan segera. Tangannya terkepal kuat,

 “sial!”

Bagi orang yang belum kenal keduanya, panggilan Rani memang tidak aneh karena seperti itulah interaksi orang yang hanya kenal.

Akan tetapi beda untuk Doni, yang bisa dibilang calon suami Rani, itu cukup menjengkelkan, apa lagi dengan lantangnya Rani memanggil Doni dengan sebutan, Bapak.

“Sebenarnya, status kita itu, apa!” Doni menatap jalan yang tidak terlalu macet.

Hatinya bergemuruh karena kesal.

 “Kamu memanggil Saya, Bapak!” Doni mengirimkan pesan lewat si hijau.

“Memangnya kenapa? Bukankah kita masih belum punya hubungan?”

Tidak lama balasan dari Rani datang dan membuat Doni sampai menginjak rem mendadak.

“Tidak ada hubungan, katanya! Sial, sebenarnya dia itu wanita seperti apa, sih!”

 Doni hanya bisa menggerutu karena tidak mungkin dia pergi menemui Rani di tengah-tengah pekerjaan yang menumpuk.

“Sebenarnya, apa pekerjaannya! Sampai harus terus bersama laki-laki itu!” Doni kembali melajukan mobil dengan cukup cepat, karena sudah mepet waktu kerja.

Sedangkan di tempat lain, Rani yang baru saja sampai di depan toko tempat bekerja, langsung melesat masuk. Membuat Tori semakin tanda tanya.

“Kamu tidak apa-apa?” Tori menatap Rani sembari mengambil helm.

“Maksudnya?” Rani melepas jaket yang dia kenakan dan menyimpannya di lemari.

Dia mencoba untuk bersikap normal.

“Bukannya tadi itu laki-laki semalam?” Tori pelipat tangan, menyender di dinding dengan menatap Rani.

Rani terkejut, menutup lemari dan bertolak pinggang.

“Jadi, semalam Kamu bertemu dengan dia?”

Tori mengangguk karena memang itu kebenarannya.

Tanpa pikir panjang, Rani langsung melayangkan pukul di lengan dan mencubit Tori kuat.

“Aaaah! Sakit, Ran!” Tori mengusap lengan, “ada apa sih! Main kekerasan terus.”

“Kamu, tuh! Yang tega meninggalkan aku sendiri! Jadi aku_” Rani tidak berani meneruskan ucapannya karena tidak mungkin dia bicara jujur tentang kejadian semalam.

“Jadi kamu kenapa?” Tori cukup penasaran karena temannya malah menjeda.

“Jadi keong!” Rani tidak mau membahas tentang tadi malam karena itu membuat dia kembali ingat hal yang mengerikan.

Tangannya dengan tidak sadar, memegang bibir.

“Apa orang itu melakukan sesuatu?”

 Rani tersadar dan cepat menurunkan tangan, “Sudah ah, ayo kita kerja. Ketahuan Pak Umar, bisa berabe kita.” Rani berjalan lebih dahulu meninggal Tori yang masih berharap ada penjelasan.

“Ran!”

“Sudaaah, tidak apa-apa. Semua terkendali dengan baik.” Rani melambaikan tangan dan berkacak pinggang.

Tori hanya bisa menghembuskan napas, karena sebenarnya dia begitu penasaran dengan sosok laki-laki semalam.

“Aku harap, kamu cepat bercerita, Ran. Supaya aku tidak mencari sendiri apa yang terjadi.” Ucap Tori sembari menyusul Rani.

Rani dan Tori mulai membuka toko seperti biasa setelah merasa semua sudah selesai tersaji.

Rani bekerja di sebuah toko yang menjual kudapan manis dan asin yang cukup di kenal di kawasan itu, sehingga tidak aneh, ketika toko buka, sudah banyak pelanggan yang mengantre untuk membeli.

“Kamu bisa menemui Saya pas makan siang?”

Suara pesan masuk, tidak sempat Rani baca karena cukup sibuk.

Sehingga membuat Doni yang saat ini tengah menatap layar pipih berdecap kesal.

“Kenapa aku tidak bertanya tentang pekerjaannya!” Doni menyesali kebodohannya.

“Papah, kenapa Mamah hari ini tidak datang?”

Doni menyambar Hp dan membuka si hijau, embusan nafas kecewa terdengar karena itu bukan dari orang yang dia tunggu-tunggu.

“Maaf, Sayang. Sepertinya Mamah tidak bisa datang, hari ini. Mungkin besok atau lusa.”

Setelah pesan terkirim, deringan telepon terdengar.

“Kenapa Rani tidak bisa datang?”

“Maafkan Doni, Mam. Karena_”

“Fania belum makan dari tadi, dia ingin Rani yang menyuapinya.”

Doni menyugar rambut, dia mulai pusing dengan anaknya.

“Doni, apakah kamu tidak bisa membawa Rani sekarang, Nak? Fania kekek tidak mau makan. Dia belum minum obat lagi.”

Doni mengusap wajahnya, merasa kesal. Mana pekerjaannya menumpuk, sekarang anaknya kembali berulah.

Yaaa, walaupun sebenarnya hati Doni bersorak karena itu bisa menjadi alasan dia kembali bertemu dengan Rani.

“Doni akan meminta Rani untuk datang ke sana sekarang, Mam.” Doni menutup sambungan telepon dan kembali mengontak Rani.

 Sambungan Rani tidak juga di angkat, tapi setelah hampir 5 kali percobaan, barulah tersambung dengan benar.

“Kamu ke mana saja!” Doni langsung mengungkapkan kekesalannya.

“Maaf, tadi banyak pekerjaan.”

“Sampai tidak sempat membalas, walaupun sudah di baca? Dan sekarang telepon malah di terima.” Doni merasa kesal.

Sedangkan Rani yang tengah memegang Hp meringis, dia memang merasa salah karena telah mengabaikan pesan tersebut.

“Kirim lokasi tempat kamu bekerja!”

Rani menegang, “eh, kenapa_”

“Jangan banyak tanya, cepat kirim lokasinya.”

“Iya, ya. Jangan marah, donk.” Rani akhirnya memberi titik lokasi di mana dia bekerja.

“Sudah, aku sudah_” panggilan telepon terputus membuat Rani mencebikkan bibir.

“Dasar orang aneh!”

“Apa yang aneh?” Tori menatap Rani sembari tangan tidak diam.

“Eh, itu, tetangga Aku yang aneh. Mau menelepon putranya malah menelepon aku.

Tori mengerutkan kening karena tidak percaya dengan apa yang Rani katakan.

“Kak Rani, ada yang mencari di depan!”

Rani mengerutkan kening dan keluar dari dapur.

“Siapa yang_” mulut Rani langsung tertutup ketika melihat siapa yang datang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status