"Sorry, Bro, mendadak ada urusan penting tadi," ucap Desta sembari duduk di kursi yang berhadapan dengan Daniel.
Setelah meyakinkan Meta, pria bertinggi 182 cm itu langsung meluncur ke kafe Laut Biru untuk bertemu dengan sahabatnya yang baru pulang dari luar negeri. Akibat panggilan mendadak calon mertua, ia membatalkan janji temunya padahal Daniel sudah di jalan menuju rumah sakit tempatnya bekerja.Dan di sinilah mereka sekarang. Saling mengobrol mengusir jenuh."Gimana hubungan Lo sama Meta? Sudah ada tanda-tanda mau ke jenjang yang lebih serius?"Daniel memang belum mendengar kabar tentang dirinya. Karena selama laki-laki itu di Sidney, jarang sekali mereka bertukar kabar. Selain kesibukan masing-masing, gaya hidup pria yang lama tinggal di luar negeri itu sangat bebas. Desta tak nyaman untuk sekadar menceritakan hubungan percintaannya pada Daniel. Bukan mendapatkan solusi, yang ada malah dibully.Desta menarik napas panjang sebeDaniel sibuk dengan pemikirannya tentang Diana yang belum pernah dilihatnya. Namun entah mengapa dia begitu benci pada muslimah berhijab. Terlebih pikirannya sudah terkontaminasi oleh pemikiran liberal hingga menciptakan dendam tersendiri pada makhluk bernama wanita. Terlebih jika wanita itu mengenakan hijab. Pemikiran liberal lah yang membawa pengaruh buruk dan opini negatif tentang hijab. Sehingga banyak dari kaum wanita merasa hijab tak lain hanya aksesoris semata. Sehingga bebas untuk dipakai dan dilepas kapan saja. Apalagi tanpa dibarengi dengan iman dan pemikiran yang benar. Ya seperti Daniel ini. Desta tampak terprovokasi. Ia manggut-manggut membenarkan ucapan sahabatnya. Cara berpikir pria itu memang bebas. Karena terbiasa hidup dalam lingkungan liberal. Dimana kebebasan berekspresi dijunjung tinggi. "Apalagi dia sudah dewasa. Seharusnya dia sudah mendapat jodoh duluan, kan? Mungkin ia tak rela kalau adiknya yang menikah duluan. Apalagi calon su
"Dia ... hilang saat aku tinggalkan membeli es krim," ucapnya penuh penyesalan. Daniel menerawang. Mengingat kejadian saat ia berumur lima tahun. Meski belum ingat sepenuhnya, tapi ia tahu kalau hilangnya sang adik karena ulah cerobohnya. Dulu saat satu keluarga pergi ke kebun raya untuk melihat beranekaragam hewan. "Daniel sayang, tolong jagain adek dulu ya. Mama mau ke toilet sebentar." Setelah mengusap pelan kepala Daniel, sang mama berlalu menuju toilet umum yang ada di kebun binatang. Namun karena sedikit antre, tiga puluh menit nggak kembali juga. Daniel kecil yang melihat es krim tak jauh dari tempatnya duduk, langsung membeli. Sebenarnya nggak bisa dikatakan membeli juga, karena ia tak bawa uang. Namanya anak kecil, ketika melihat anak-anak lain makan es krim, langsung tergiur untuk makan juga. Maka tanpa pikir panjang bocah berusia lima tahun itu meninggalkan sang adik dan ikut berkerumun mengelilingi penjual es itu."Begitul
"Biar saya saja yang bayar, Pak. Sekalian dengan punya saya." Diana menoleh. Sedikit terkejut melihat seorang pria yang tak dikenal menyelamatkan dirinya dari rasa malu. "Terima kasih. Nanti saya bayar, tolong beri nomor teleponnya," ucap Diana lembut. "Tidak usah, Nona. Saya ikhlas kok.""Tidak, tidak. Saya tetap akan membayarnya nanti. Anggap saja saya berhutang pada anda.""Baiklah kalau itu maumu." Daniel meminta HP Diana, lalu mengetikkan nomornya. "Namaku Daniel, siapa namamu Bu guru?" Setelah mengambil kembali HP-nya, ia menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. "Saya Diana. Sekali lagi terimakasih, Mas. Insyaallah saya ganti. Saya permisi."Daniel menatap punggung Diana hingga menghilang dari pandangan. Apa yang diceritakan sahabatnya tak seperti yang dilihat. Gadis itu terlihat sangat sopan dan lembut. "Sepertinya nggak mungkin kalau dia gadis seperti itu. Tapi ... Belum tentu juga kan? J
Dengan tangan gemetar dan bibir gemelutuk akibat kedinginan, Diana memegang gunting itu. Perlahan ia mengarahkan ujung runcing yang berkilat saat diterpa cahaya pada dada kirinya. Kedua matanya memejam rapat dengan napas memburu. Kilasan nasehat dari ustazah yang mengajarinya ngaji hingga ia memilih nuntuk hijrah, membayang jelas dalam ingatan. "Setiap manusia akan diuji oleh Allah sesui kadar keimanannya masing-masing. Semakin tinggi iman seseorang, akan semakin besar juga ujian yang diberikan. Jangan merasa senang jika hidup kita terlalu mudah dan datar. Karena bisa jadi iman kita belum naik. "Karena Allah sendiri yang mengatakan dalam Alquran bahwa Allah tidak akan dibiarkan saja manusia mengatakan,"Kami telah beriman", sedangkan mereka tidak diuji. Dan sesungguhnya Allah telah menguji orang-orang yang sebelumnya. Dan sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang dusta." Kalimat demi kalimat nasehat t
[Ada waktu? Kapan kita bisa bertemu?]From: DanielDiana mengingat-ingat nama itu. Di mana ia pernah kenalan atau bertemu dengan pria berna Daniel? Ah, iya. Dia kan yang menolong waktu ia lupa membawa uang. "Hari ini bisa. Jam 4. Mau ketemu di mana?"[Di tempat kita bertemu pertama kali ya]"Ok"Diana kembali memasukkan benda pintar itu ke dalam tas. Bersamaan dengan itu mobil yang mereka tumpangi memasuki gedung yang dijadikan tempat lomba. ***Tepat azan asar Diana dan rombongan sampai di sekolah kembali. Mereka pulang dengan membawa kemenangan. Ya, siswa yang mewakili sekolah berhasil memboyong piala dan uang pembinaan sebesar 2,5 juta rupiah karena mendapat juara pertama. Mereka disambut gembira oleh para guru dan kepala sekolah. Karena para siswa sudah pulang setengah jam yang lalu. Setelah berbasa-basi sebentar, Diana gegas menuju musalla untuk menunaikan kewajibannya sebagai muslim.
Tubuh Diana menegang. Ia memutar lehernya ke belakang dan mendapati sosok tinggi tegap telah berdiri di sana dengan seringai licik. "Ma--mas Daniel? Kenapa pintunya ditutup? Katanya sakit ke--napa bisa ada di sini?" tanya perempuan berhijab itu terbata. Ia melangkah mundur saat pria itu maju. Tatapan nyalang pria bertubuh tinggi itu menyusuri tubuhnya dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Seolah-olah mata laser itu mampu menembus penghalang yang menutupi seluruh auratnya. "A--apa yang akan kau lakukan? Kenapa jadi seperti ini?"Daniel terbahak hingga suaranya menggema di seluruh ruangan. Langkahnya semakin maju hingga membuat Diana tersudut di ujung sofa. Tangannya menggapai tangan Diana. Namun gadis itu menghindar. "Kamu mau main-main denganku? Kamu pikir aku sudi melayanimu hah?""Apa maksudmu? Aku ke sini hanya mau membayar utang. Dan itu bubur pesananmu. Permisi, aku mau pulang!" ucap Diana sambil berjalan menuju pintu.
Perlahan tangan Daniel terulur dan membuak ikatan di tangan Diana. Melepas sweater yang dipakainya dan menyerahkan pada gadis itu.Dengan suara gemetar ia berkata, "pakailah, dan pulanglah sekarang sebelum teman-temanku memangsamu!" Dengan gerakan cepat Diana membenahi pakaiannya. Memakai kembali kerudung yang lepas dan menutup tubuh atasnya akibat gamisnya yang robek dengan sweater pemberian Daniel. Menyambar tasnya dan berlari menuju pintu. Tanpa memedulikan beberapa orang yang hendak masuk ke dalam apartemen, Diana terus berlari tanpa alas kaki. Ia bahkan meninggalkan motornya di basment dan langsung mencari taxi. Dalam perjalanan ia memejamkan mata menetralkan degub jantungnya yang bertalu-talu. Ucapan syukur tak lupa selalu mbasahi bibirnya karena Allah telah menyelamatkan. ***Diana mengatur napas sebelum masuk ke gerbang rumahnya. Menetralkan kegugupannya agar tidak kentara ia habis mengalami hal yang mengerikan.
Diana kembali luruh saat tubuhnya sempurna masuk ke dalam kamar. Kejadian demi kejadian yang menimpa akhir-akhir ini membuat fisik dan jiwanya lelah. Belum hilang trauma akibat perbuatan Desta, ia harus menanggung rasa sama akibat pria asing yang berpura-pura menjadi pahlawannya. Siapa sangka pria itu tega menjebak dirinya. Jiwanya yang belum stabil kini kembali terguncang. Dulu, setiap kali ia memiliki masalah dengan rekan kerjanya karena beda pendapat atau karena ada yang sengaja menjegalnya, ia akan mengadu pada sang ibu. Dipangkuannya ia akan menceritakan semuanya. Lalu ibu akan membelai surainya sembut dengan nasehat-nasehat yang selalu menenangkan. Namun sepertinya saat ini hal itu tak akan bisa ia lakukan lagi. Orang yang menjadi sandarannya, telah membenci. Menjauhi dan membangun benteng tinggi-tinggi. Cukup lama ia merenungi nasibnya. Andai ia tak punya iman, mungkin sudah dari awal ia berteriak pada kedua orang tuanya dan mengatakan kalau dia