Celindia Putri Pratama, Anak kedua dari pasangan bernama Algantario Algres Pratama dan Kalana Riana Pratama. Memiliki saudara kandung, kakaknya yang bernama Algestrio Putra Pratama.
Celindia baru saja melakukan wisuda sarjana satu nya minggu kemarin, Ia sekarang menjadi pelayan di kafè yang cukup terkenal. Rio--Ayahnya pernah menyarankan gadis itu untuk bekerja bersama kakaknya di perusahaan Rio, tapi Celin menolak.
Ia berkata bahwa Ia tidak cocok dengan bisnis, lagi pula, Ia lebih suka bekerja yang ke sana kemari. Katanya lebih menyenangkan dari pada harus duduk di kantor dan bertatapan dengan kertas-kertas berwarna putih, Rio dan Kalana--Ibunya Celin hanya mengikuti saja perkataan anak kedua mereka itu.
"Celin," panggilan itu membuat sang pemilik nama menoleh.
"Kenapa Anjani?"
"Tolong gantiin gue di sini bentar ya, gue kebelet nih." ucap gadis itu dengan gerakan seperti cacing kepanasan.
Celindia yang tak tega akhirnya mengangguk, gadis yang bernama Anjani itu lalu berlari kencang ke belakang kafè. Melihat itu membuat Celindia tertawa, temannya yang lucu.
Gadis itu sekarang menggantikan posisi Anjani yang berada di tempat kasir kafè, Celindia dan Anjani memang memiliki posisi kerja yang berbeda. Celindia sebagai waiters dan Anjani sebagai kasir, karena kebetulan belum ada lagi pelanggan yang masuk, gadis itu bisa bersantai di kursi kasir.
KRING ...
Bunyi bel pintu kafè--yang akan berbunyi jika di buka atau di tutup itu, berbunyi. Celindia berdiri tegap dan tersenyum, menyambut seorang pria yang masuk dengan wajah datar.
Setelah sampai di depan kasir, pria itu mendongakkan kepalanya. Melihat menu yang berada di atas, Celindia masih mempertahankan senyumnya. Mencoba ramah kepada pelanggan.
"Selamat datang, mau pesan apa, Pak?"
Pria itu menatap Celindia, lalu matanya menelusuri seisi kafè. Beberapa bisikan terdengar di telinga Celindia, Ia yakin bisikan itu karena kedatangan pria tampan berwajah datar ini.
"Astaga, itu bukannya Keindra Genanta Aldres?"
"Iya, itu CEO Black corp."
"Gila, ganteng banget."
"Yang gue denger, dia salah satu pemuda yang udah sukses di usia yang masih terbilang muda."
"Wah, keren banget."
"Dia natap gue, argh!"
Celindia lalu menatap ke depan, ke arah pria itu. Pria itu melempar senyum tipis ke arah mereka, membuat beberapa pelanggan yang memang sebagian besarnya adalah seorang gadis memekik tertahan.
Pria itu lalu kembali mengalihkan tatapannya ke arah Celindia, Ia tersenyum tipis ke arah Celindia. Celindia mengerutkan kening heran, padahal tadi jelas-jelas Ia melihat wajah datar pria ini.
"Kenapa sekarang malah senyum-senyum enggak jelas?!" batinnya berteriak kesal.
"Saya pesan kentang goreng sama es kopi," beritahu pria itu dengan masih mempertahankan senyumnya.
Celindia tersenyum kaku. "Baik, tunggu sebentar ya, Pak." ujarnya lalu menulis pesanan pria itu dan memberikan kertas notes itu kepada karyawan yang bertugas memasak di belakang kafè.
"Terima kasih, semoga hari Anda menyenangkan." ujar Celindia dengan ramah.
Setelah pria itu pergi, Celindia terdiam seolah berpikir.
"Kok mukanya ... kayak enggak asing ya?" gumamnya pelan.
Tidak mau ambil pusing, gadis itu hanya mengangkat bahu acuh dan menukar posisi dengan Anjani yang sudah selesai.
"Makasih Celindia yang cantik dan tidak sombong," ucap Anjani berlebihan.
Celindia memutar bola mata malas dan kembali bekerja.
****
Wanita tua yang terbaring di brankar rumah sakit itu menghela napas, ia tengah menunggu cucunya yang entah pergi ke mana. Merasa bahwa umurnya sudah tidak lama lagi, wanita itu lalu mengalihkan pandangannya dari jendela saat suara pintu yang berbunyi.
"Indra," panggilannya kepada sang cucu yang sudah duduk di sampingnya.
"Iya oma? Oma butuh sesuatu?" tanya pria itu.
Sang nenek menggeleng, "Oma sayang Indra, Indra tau, kan?" Pria yang di panggil Indra itu mengangguk.
"Aku tahu," jawabnya singkat.
"Ingat ini baik-baik, jangan pernah merasa sendiri. Saat waktunya tiba, oma sebenarnya enggak ke mana-mana. Oma masih ada tetap di hati kamu," ucap wanita itu.
Pria itu, Keindra Genanta Aldres. Sang cucu dari wanita yang terbaring lemah di brankar itu hanya diam, belum memberikan reaksi apa pun.
"Oma mau kamu kabulin permintaan terakhir oma," kata wanita itu.
Keindra masih diam, menunggu sang nenek yang akan membuka suara.
"Oma mau lihat kamu menikah sebelum kepergian oma, nak."
Keindra terdiam kaku.
Ia menghela napas dalam diam, sudah ia duga.
"Oma, oma tahu kan kalo Indra--"
"Indra, oma mohon." sela wanita itu dengan raut sendu.
"Oma tahu kamu belum punya pacar, makanya oma udah dapat calon yang cocok untuk kamu. Dia adalah anak dari orang baik, kamu dan dia pernah ketemu saat masih kecil dulu." jelasnya.
"Mungkin kamu enggak ingat, tapi oma masih sangat mengingat itu. Dia adalah gadis baik Indra, oma yakin kalian berdua cocok." lirihnya pelan.
Melihat cucunya yang masih saja diam, wanita itu menghela napas dengan lirih. Semakin lama, napasnya makin sesak.
"Oma mohon, nak. Cuman itu permintaan terakhir oma, oma pengen lihat kamu nikah dengan gadis yang baik."
Keindra menghela napas, lalu akhirnya mengangguk.
"Oke," ucapnya singkat.
Wanita itu tersenyum dengan wajah pucatnya.
"Celin pulang!" teriak Celindia saat memasuki rumahnya yang cukup besar. "Berisik!" Celindia mengalihkan pandangannya ke arah ruang keluarga. Ia mengerutkan keningnya. "Abang? Kok udah pulang?" Alges--sang kakak dari Celindia mendelik ke arahnya. "Enggak seneng abang pulang?" tanya nya dengan sinis kepada Celindia yang sudah duduk dengan posisi kaki menyilang di sampingnya. "Astaghfirullah, soudzon mulu sama adek sendiri. Heran deh." Alges mengangkat bahu acuh lalu kembali menonton. Celindia melemparkan pandangannya. "Mama sama Papa mana, bang?" "Papa diruang kerja, mama didapur." Celindia mengangguk lalu menyomot camilan yang berada di pelukan Alges. Alges melotot lalu menjauhkan toples dari adiknya yang rakus.
"Ha?" beo ketiganya. "Pelanggan kafè?" tanya Rio dengan nada heran. "Iya Pa, dia pelanggan hari ini di kafè tempat Celin kerja." jelas Celindia. Rio tertawa, "Berarti dia enggak ingat, Pa." kata Alges yang juga ikut tertawa. Celindia menatap ketiganya dengan heran, memangnya apa yang yang salah dan harus di tertawakan. Ia memang benar, pria di depannya ini--si pemuda sukses yang menjadi pelanggannya hari ini. "Celin," Celindia menatap ke arah Kalana. "Cowok yang di depan Kamu ini adalah teman masa kecil Kamu, mungkin Kamu enggak ingat karena itu udah lama banget. Tapi, Kita masih ingat, waktu itu Kalian masih kecil-kecil." jelas Kalana. Sedangkan Celindia hanya manggut-manggut, walau memang benar kalau Ia sama sekali tidak ingat. Lalu Rio kembali bersuara, Ia menatap Keindra.&n
"Kamu mau kan, sayang?" "Tolong Oma ya sayang, Oma gak pengen punya cucu menantu selain Kamu. Oma cuman mau Kamu jadi cucu menantu Oma," kata Amara dengan memegang tangan Celindia. Amara lalu terbatuk karena merasa lehernya yang kering, makin lama batuk wanita itu makin tak terkontrol. Keindra yang melihat itu dengan sigap keluar, lalu tak lama Keindra kembali dengan dokter di belakangnya. Keluarga Pratama menyingkir termasuk Celindia, memberikan ruangan untuk dokter memeriksa kondisi Amara. Setelah beberapa menit kemudian, dokter itu menatap Keindra dengan lamat. Keindra dan keluarga Pratama memang tidak keluar dari ruangan itu, dokter itu lalu mendekat dan memegang pundak Keindra. "Maaf, tapi Saya enggak sengaja dengar pembicaraan Kalian tentang pernikahan. Saya pikir, tolong turuti saja permintaan terakhir Nyonya Amara." &n
"Celin udah bilang kalau Celin gak mau, Celin belum mau nikah, Pa, Ma." kata Celindia saat mereka memasuki rumah. "Celin," panggil Rio kepada anak gadisnya yang akan masuk ke kamarnya. "Sini, Papa mau ngomong." dengan gerakan malas, Celindia melangkah lalu duduk di samping Rio. Yang duduk di sofa itu adalah Celindia, Rio, dan Alges. Kalana pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam, Rio menghela napas lalu membuka suara. "Kamu gak heran kenapa Papa sama Abang pulang cepat?" Celindia mengerutkan keningnya, benar juga. Padahal tidak biasanya Ayah dan Kakaknya pulang di sore hari, paling cepat mereka pulang saat hari menjelang malam. "Emangnya kenapa, Pa?" "Perusahaan udah di ujung tanduk, saham Papa turun drastis." jawab Rio membuat Celindia terdiam kaku. "Klien-klien Papa banyak yang batalin kerja sama, Kita hampir bangkrut." "Ya terus apa hubungannya sama Ce
"Mama tunggu di meja makan ya, udah waktunya makan malam." Kalana lalu pergi dari kamar anaknya. Celindia terdiam setelah mendengar semua perkataan Kalana, sebenarnya bisa saja Ia hidup sederhana. Tapi mungkin keluarganya tidak bisa, dan perusahaan Papanya juga sudah hampir jatuh. Celindia tidak ingin menjadi anak dan saudara yang egois, tapi tidak dengan menikah. "Kenapa harus nikah juga sih," gumamnya pelan. Ia menghela napas, selama ini Rio dan Kalana tidak pernah memaksanya melakukan sesuatu. Mereka bahkan sangat memanjakan Celindia, kedua orang tuanya bahkan setuju saat Celindia memutuskan untuk bekerja di cafè dari pada membantu Alges di perusahaan. Ia lalu keluar dari kamarnya, saat sudah di ruang makan, Celindia melihat mereka sudah berkumpul tapi masih belum mulai makan. Mereka menunggu Celindia, ini juga salah satu hal yang Celindia sukai tapi kadang membuatnya kesal. Itu membuatnya yang te
Keindra mengecup dahi perempuan yang kini sudah berstatus istrinya, Keindra berkata bahwa ijob qobul tidak di buat meriah karena mengingat kondisi Amara yang semakin memburuk. Rio dan Kalana memaklumi, walau pun ada sedikit rasa sakit saat tahu pernikahan anak mereka tidak akan semeriah pernikahan orang lain. "Celin," panggil Amara dari brankarnya. Kini yang di ruangan itu tinggal keluarga Pratama, Keindra, dan Celindia yang sudah sah menjadi anggota keluarga Aldres. Celindia yang sedang duduk di sofa ruangan itu beranjak dan duduk di samping Amara, Amara memegang tangan cucu menantunya. "Makasih ya sayang, kamu udah mau kabulin permintaan terakhir oma." Celindia menggeleng, mendengar kata-kata Amara membuat perempuan itu sedikit emosional. "Bukan permintaan terakhir oma, karena oma akan sembuh." Amara tersenyum tipis. "Enggak salah oma pil
Celindia bangun dengan badan yang segar, walaupun terbilang kaya, Ia tidak pernah sekali pun menginap di hotel. Rio memang selalu mengajarkan anaknya hidup hemat, tidak ada yang tahu takdir akan membuat mereka jatuh atau terbang. Gadis itu mengedarkan pandangannya, Keindra tidak ada. Masih mengumpulkan nyawanya yang masih tertinggal di alam mimpi, Celindia memutuskan untuk bersandar di kepala kasur. CEKLEK Pintu terbuka menampilkan Keindra yang sudah mengganti pakaiannya dengan jaket hitam, Celindia menatap Keindra yang juga menatapnya datar. "Siap-siap, sedikit lagi kita berangkat." kata Keindra dingin. "Ha?" beo Celindia yang masih belum sadar. Keindra menatap tajam, Ia mendekati Celindia. Celindia yang akhirnya menyadari keadaan tersadar, Ia menatap awas Keindra yang berada di depannya.
Celindia turun dari mobil, Ia kembali mengagumi pemandangan di depannya. Sedari tadi, saat di mobil, gadis itu selalu berdecap kagum dengan kota Chicago. Ia sekarang tengah berdiri di depan rumah yang menjulang tinggi, sangat besar dan memiliki halaman yang luas.Tidak perlu bertanya lagi, Ia tahu ini pasti adalah rumah suaminya. Ia melangkah mengikuti Keindra memasuki rumah besar itu, sama seperti saat di rumah sakit, Ia kembali melihat orang-orang besar berpakaian hitam dan alat pendengar berkabel di telinga mereka.Bahkan ini lebih banyak dari yang di rumah sakit, lagi-lagi Celindia berdecap kagum. Ada sekitar sepuluh orang pelayan yang berpakaian rapi dan sama, berdiri di samping-samping diantara pintu besar rumah itu."Selamat Datang Tuan Aldres," sambut mereka dengan kompak.Melihat mereka yang membungkuk, spontan Celindia ikut membungkuk. Itu karena Celindia tidak biasa