"Nah, ini dia anak sama menantuku. Hesty dan Reyhan. Mereka juga pasangan sukses, sukses di usia muda," papar Bu Sur bangga.Hesty menunduk sambil sesekali melirik ke arah Abian yang masih menatapnya dengan tajam."Anaknya Bu Sur?" tanya Abian."Lah, Mas Abian gimana sih, kan sudah aku jelasin. Dia Hesti, dan itu menantuku namanya Reyhan. Malah tanya lagi!" gerutu Bu Sur. "Terpukau sama kecantikan Hesty, iya? Makanya, suruh Mbak Maya pakai perhiasan yang banyak biar berwibawa seperti anakku!"Abian mengerutkan kening mencoba mengingat-ingat apakah benar wanita di depannya saat ini adalah wanita yang ia temui di lampu merah tempo hari."Reyhan, Mas!" sapa Reyhan ramah sambil mengulurkan tangan. Abian terperanjat. "Ah, iya. Aku Abian dan ini Maya, istriku."Reyhan mengangguk menghadap Maya dan berkata. "Pantas saja lihatin Hesty sampai segitunya. Istrinya nggak pernah diajakin perawatan mahal?"Mahal cengo. Untuk pertama kalinya dia bertemu pria bermulut tajam seperti Reyhan."Istri say
Maya dan Abian masih saja tertawa mengingat kesombongan Hesty yang tanpa sengaja mereka bungkam dengan bantuan Bowo. Masih teringat jelas bagaimana malunya Bu Sur, mati kutunya Hesty ketika tau bahwa rumah yang dia akui miliknya ternyata adalah milik Abian dan Maya."Mimpi apa kita sampai punya tetangga absurd begitu, Dek," keluh Abian di sela-sela tawanya."Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, Mas," sahut Maya tergelak. "Bu Sur memang kalau bicara bisa sampai langit, eh ternyata menurun ke anaknya. Aku nggak kebayang gimana malunya Mbak Hesty tadi."Keduanya masih berbincang di ruang tamu setelah pulang dari melihat-lihat rumah baru mereka. "Assalamualaikum, Mbak Maya!"Maya menajamkan pendengaran ketika sayup-sayup ia mendengar seseorang memanggil namanya dari depan."Mbak Maya ...."Wanita itu beranjak disusul Abian di belakangnya. Tidak biasanya mereka menerima tamu saat menjelang maghrib begini. Selain karena masih memegang kental adat Jawa yang melarang membuka pintu pada saat
"Mas ...."Abian menoleh dan mendapati kedua mata istrinya sudah siap meluncurkan hujan."Lihat, ini Bu Saroh kan ... eh, eh ... tapi ... wah ternyata Bu Saroh berbohong ya, lihat ini, Bu RT!" Bu Puji menyodorkan ponsel yang sengaja ia bawa meskipun ke masjid sekalipun."Astaghfirullah, ternyata Bu Saroh ...."Kepalang malu, Bu Saroh melenggang pergi tanpa berkata-kata lagi. Hatinya kesal dan geram. Rencana yang sudah ia buat bersama Eti ternyata tidak berjalan mulus.Tetangga membubarkan diri dan melanjutkan langkah menuju masjid yang ada di ujung Perumahan Citra Kencana, sementara Abian sedang memeluk Sang Istri yang tengah menangis pilu."Hei, tenanglah, May!"Maya semakin terisak. Teringat bagaimana sumpah Bu Saroh terucap dengan begitu lantang di depan rumahnya. Bayi yang dia tunggu selama bertahun-tahun mendapat doa buruk dari orang lain. Bayi itu tidak akan hadir di rahimnya. May
"Kamu jangan malu-maluin Ibu dong, Hes! Bisa-bisanya ngaku itu rumah kamu di depan Maya dan Suaminya. Kalau sudah begini, malu kan jadinya," gerutu Bu Sur. "Mana ternyata yang punya rumah itu mereka. Argh, mau ditaruh mana muka Ibu nanti kalau bertemu Maya. Belum lagi tadi ada Bu Hanum, fix ... besok kamu dan Ibu bakal jadi bulan-bulanan mereka di tempat Kang Sayur."Hesty menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sementara Reyhan mengambil alih putri kecil mereka dari gendongan Hesty dan menimangnya penuh kasih sayang."Y-- ya, siapa tahu kalau rumah itu ternyata punya mereka, Bu," elak Hesty. "Tadi aku itu iseng mau nunjukin betapa kaya kita, eh nggak taunya ternyata mereka jauh lebih kaya. Ngeselin!"Bu Sur mencebik. Dia duduk di ruang tamu sambil berselonjor meskipun suara adzan sudah berkumandang. Suami Bu Sur baru saja keluar dari dalam kamar sambil menguap lebar. "Eh, kapan datang, Hes?""Ck! Bapak masih nganggur? Jangan enak-enakan begini dong, aku sama Mas Reyhan nggak mungkin ti
"P-- Pak Abian?" gagap Satria saat menyadari Abian dan Maya sudah berdiri di depan mejanya. Abian bersedekap dada, rencananya hari ini dia akan merombak total semua pekerja pilihan Satria, agar tidak ada hal yang ia takutkan terjadi. Seperti sekarang. Pria itu tanpa rasa bersalah justru dengan mudahnya keluar dan masuk ke dalam Restoran."Sepertinya aku perlu ukur, apakah tembok ini jauh lebih tebal dari mukamu," sindir Abian sarkas. "Kau tidak lupa kalau Restoran ini milik siapa kan?"Satria gugup. Sesekali dia melirik ke arah dimana seorang wanita cantik duduk di sebelahnya sambil menggendong bayi dan menyuapi satu anak kecil berusia sekitar empat tahun. "Ah, itu, Pak ... bisa saya bicara berdua dengan Pak Abian?""Tidak perlu, angkat kakimu dari Restoran kami sekarang juga!" sela Abian tegas. "Ingat, Sat, waktu yang kuberikan untukmu hanya tersisa empat hari, jika kebaikanku selama satu minggu belakangan tidak kau manfaatkan dengan baik dan tidak segera kau kembalikan semua uang y
Setelah mempertimbangkan banyak hal, Abian dan Maya sepakat memperkerjakan semua pekerja tanpa ada yang dia keluarkan tidak hormat mengingat kinerja mereka memang benar-benar bagus. Pun Edo, dia melaksanakan titah Satria karena mengira jika pria itu adalah orang paling berkuasa dan paling dipercaya oleh pemiliknya Restoran. "Kalian semua saya ijinkan kembali bekerja tapi dengan satu syarat," ucap Abian tegas. "Jangan pernah biarkan Satria masuk ke Restoran ini lagi. Mengerti?!""Alhamdulillah, terima kasih banyak, Pak. Maaf kalau kami gagal mengenali Bos kami yang sebenarnya," ucap Edo."Alhamdulillah, doa Emak saya di kampung diijabah Allah," sahut pekerja yang lain sambil merebak."Terima kasih banyak, Pak ... Bu ... kami akan bekerja dengan lebih baik lagi," ucap yang lainnya pula.Abian dan Maya mengangguk percaya. Setelah memastikan semua pekerja Restoran kembali pada posisi mereka masing-masing, Abian dan Maya berjalan bersisian menuju tempat dimana dua orang satpam berada."P-
"Gila! Darimana aku uang sebanyak itu, Mbak Eti!" pekik Hesty. "Kalau mau pinjam, kira-kira dong! Dua ratus juta itu nggak sedikit!" Eti melengos kesal. "Kalau sedikit aku nggak perlu susah cari pinjaman, Hes," sahut Eti. "Bagaimanapun caranya aku harus bisa bebaskan Mas Satria, atau tetangga baru itu merasa menang dan merasa paling kaya disini.""Sudahlah, Mbak Eti, lagipula untuk apa berkorban demi suami yang ternyata punya istri selain kamu. Buang-buang tenaga, biarkan saja dia di penjara.""Kalau nggak bisa kasih pinjaman jangan hina suamiku dong!" Eti nyolot. "Lagipula istri pertama Mas Satria itu jelek, bentar lagi juga dicerai, jadi siapa yang harusnya berkorban kalau bukan aku?" "Ya itu kamunya aja yang bodoh, Mbak," cibir Hesty.Eti yang semula duduk di teras rumah Bu Sur seketika berdiri dan berkacak pinggang. Kedua matanya melotot menatap Hesty yang sedang menggendong putrinya di depannya."Jaga mulutmu, Hesty!" bentak Eti lantang. "Kalau nggak punya duit sebanyak itu, bi
Maya menggenggam ponselnya dengan erat. Entah apa yang Sarah pikirkan, setelah tiga bulan kematian Nabil, wanita itu justru menolak pergi dari rumah mertuanya dengan dalih bayangan Nabil masih selalu mengikuti.Setelah meredam emosi sehabis membaca pesan Sarah, Maya menekan nomor Abian dengan risau. Satu kali ... dua kali ... bahkan hingga dering yang kesekian kalinya panggilan Maya belum mendapat jawaban.Tidak habis akal, Maya beralih menekan nomor Dama dan mengatakan sesuatu sampai membuat pria di seberang sana mendelik kaget."Oke, kamu tenang saja, May. Aku akan cari tau semuanya," tutur Dama sebelum menutup sambungan telepon.Maya mengangguk cepat meskipun tau jika anggukan kepalanya tidak bisa Dama lihat. Hampir sepuluh menit lamanya dia menunggu kedatangan Abian namun suaminya itu tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Rasa khawatir tiba-tiba menyeruak dalam dada. Takut jika Abian terperangkap dalam permainan Sarah dan meninggalkan Maya yang sedang menunggunya.Wanita ca