Share

Bab 4

"Ibu, kamu bawa Keenan ke rumah sakit dulu. Biar aku yang urus masalah ini." Ariana membuat keputusan setelah berpikir beberapa saat.

"Ariana, kamu harus membela adikmu. Jangan biarkan bajingan itu begitu saja!" kata Helen dengan galak.

"Tenang saja, aku tahu apa yang harus dilakukan," ujar Ariana sembari mengangguk. Kemudian, dia memerintahkan 2 orang satpam untuk mengantar Helen dan Keenan ke rumah sakit.

"Julie, apa pendapatmu tentang ini?" tanya Ariana sambil menggosok pelipisnya. Dia merasa agak pusing.

"Bu Ariana, masalah ini sudah sangat jelas. Luther yang memukul adikmu. Selain itu, para satpam juga melihatnya tadi. Mereka tidak mungkin berbohong," jawab Julie.

"Tapi, ibuku itu ...." Ariana hendak mengatakan sesuatu. Dia tahu betul bagaimana karakter ibu dan adiknya yang tidak masuk akal itu.

"Bagaimanapun, Luther sudah salah karena memukul orang! Kalaupun ada kesalahpahaman, mereka bisa membahasnya dengan kepala dingin. Apalagi, Keenan adalah adik Bu Ariana. Dia sama sekali tidak memikirkan perasaanmu. Hal ini sudah cukup untuk membuktikan karakternya yang buruk!" jelas Julie dengan sungguh-sungguh.

Ariana mengerutkan dahinya. Keraguan dalam hatinya menjadi makin mendalam.

Benar. Meskipun ibu dan adiknya bersikap kasar, Luther tidak seharusnya main tangan. Dia tidak boleh menghajar adiknya sampai babak belur begitu.

Ariana sungguh menyesal karena merasa bersalah padanya barusan. Sepertinya, bercerai dengan Luther adalah pilihan paling bijaksana sekarang.

"Bu Ariana, masalah ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, harus diusut sampai tuntas. Luther harus menanggung konsekuensi karena berani memukul orang!" kata Julie dengan dingin.

Ariana sudah sangat kesal sejak tadi. Begitu mendengar ucapan ini, amarah pun seketika berkecamuk di hatinya.

Dia segera mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Luther.

Saat ini, Luther yang berada di dalam Bentley berwarna silver melihat nama penelepon di ponselnya. Dia tak kuasa mengernyit.

Pada akhirnya, dia tetap memilih untuk menjawab panggilan tersebut.

"Luther, aku butuh penjelasan," ujar Ariana dengan tegas.

"Penjelasan apa?" tanya Luther.

"Kamu yang memukul adikku, 'kan?" balas Ariana.

"Ya, tapi ...." Luther hendak menjelaskan.

Sebelum Luther menyelesaikan perkataannya, Ariana sudah menyela, "Ternyata memang kamu. Aku benar-benar tidak sangka. Kamu ingin membalas dendam kepada keluargaku karena aku minta cerai?"

Luther hanya bisa tertegun saat mendengar ucapan Ariana. Dia tidak menduga bahwa wanita ini akan langsung menyudutkannya, bahkan tidak menanyakan alasan kepadanya.

Apakah hubungan suami istri selama 3 tahun ini tidak didasari atas sedikit pun kepercayaan? Orang asing sekalipun tidak akan seperti ini.

"Ariana, apa aku begitu menyedihkan di matamu? Kamu hanya tahu aku memukul adikmu, tapi nggak pernah memikirkan alasannya?" timpal Luther dengan murung.

"Tidak peduli apa pun alasannya, kamu tidak boleh memukul orang!" bentak Ariana.

Luther pun tersenyum menghina mendengar ini. Dia benar-benar kecewa pada Ariana sekarang.

Kebenaran tidak lagi penting. Sikap wanita ini jelas-jelas menyatakan bahwa adiknya lebih penting.

"Luther, karena kita pernah menjadi suami istri, aku akan memberimu kesempatan. Segera pergi ke rumah sakit untuk minta maaf. Aku akan anggap masalah ini tidak terjadi. Kalau tidak ...," kata Ariana.

"Gimana kalau aku menolak? Kamu mau lapor polisi atau menyuruh orang menyerangku?" timpal Luther dengan nada menyindir.

"Luther, kamu benar-benar ingin menghancurkan hubungan baik kita?" bentak Ariana.

"Heh! Memangnya di antara kita masih punya hubungan baik? Lagi pula, aku yang memukul Keenan. Bu Ariana, silakan kalau kamu ingin membalas dendam kepadaku," sahut Luther.

"Kamu ...." Ariana masih hendak memaki, tetapi Luther sudah mengakhiri panggilannya. Dia pun kesal hingga hampir membanting ponselnya.

Ariana bisa mencapai posisi sekarang karena selalu mengatur emosinya dengan baik. Namun, dia benar-benar murka sekarang.

"Bu Ariana, Luther ini memang tak tahu terima kasih. Apa kita perlu mencari orang untuk memberinya pelajaran?" tanya Julie.

"Tidak perlu. Anggap aja aku tidak berutang budi padanya lagi," jawab Ariana setelah menarik napas dalam-dalam dan mengendalikan amarahnya.

"Tapi ...." Julie masih ingin berbicara, tetapi Ariana mengangkat tangan untuk menghentikan. Dia berkata, "Jangan dibahas lagi. Sekarang, yang paling penting adalah pesta amal Keluarga Caonata."

"Pesta amal? Apa ini berhubungan dengan kemitraan?" tanya Julie.

"Ya. Aku baru dapat kabar, Keluarga Caonata memasukkan Grup Pesona ke daftar kandidat. Asalkan menampilkan yang terbaik, kita mungkin akan menjadi mitra baru mereka," jelas Ariana.

"Bagus sekali, aku akan segera buat persiapan!" seru Julie.

....

Setelah mengakhiri panggilan, Luther yang menaiki mobil Bianca akhirnya tiba di Rumah Sakit Honne.

Sesudah turun dari mobil, keduanya berjalan dengan cepat dan akhirnya tiba di bangsal VIP.

Saat ini, seorang pria tua beruban dan bertubuh kurus sedang berbaring di ranjang pasien. Wajahnya yang tua tampak pucat dan lesu, bibirnya agak ungu, bahkan napasnya lemah. Dia seperti akan mati kapan saja.

Di sekitarnya, berdiri beberapa dokter terkenal. Dari raut wajah mereka yang serius, bisa dilihat bahwa kondisi pasien ini sangat buruk.

"Kak, kamu akhirnya pulang. Para dokter di sini nggak berguna, mereka nggak bisa apa-apa!" teriak seorang gadis cantik berkuncir kuda seraya menghampiri. Dia adalah Nona Kedua Keluarga Caonata yang bernama Belinda.

"Bu Bianca, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Bilas lambung, dialisis, perfusi, dan memberi begitu banyak obat. Kami sudah melakukan semua yang kami bisa, tapi masih tidak bisa mengobati akar penyakitnya," kata seorang dokter dengan tidak berdaya.

"Kalau kalian tidak bisa, biarkan Tuan Luther yang mengobatinya," sahut Bianca dengan tidak acuh.

"Tuan Luther?" Semua orang seketika termangu mendengarnya. Kemudian, mereka menatap Luther yang berdiri di samping dengan ekspresi aneh.

Pria di hadapan mereka ini terlalu muda. Dia tidak terlihat seperti seorang dokter profesional yang hebat.

"Kak, kamu nggak bercanda? Ini Tuan Luther? Usianya sepertinya hampir sama denganku. Apa dia sanggup?" tanya Belinda dengan heran.

"Jangan menilai seseorang dari penampilannya. Pak Eril yang memperkenalkannya, aku yakin dia cukup hebat," balas Bianca.

Sejujurnya, Bianca juga kurang yakin. Namun, dia merasa Luther pasti memiliki kemampuan karena bisa direkomendasikan oleh Eril.

"Apa mungkin Pak Eril ditipu?" Belinda tetap merasa curiga. Kemudian, dia bertanya, "Hei, apa kamu benar-benar bisa ilmu medis?"

"Ya, sedikit," jawab Eril.

"Sedikit?" Belinda mencebik, lalu berkata dengan nada menghina, "Semua dokter yang bisa memasuki bangsal ini adalah profesor terkenal di Jiloam. Mereka saja nggak berdaya, tapi kamu masih berani turun tangan?"

"Belinda, jangan kurang ajar begini!" tegur Bianca.

"Kak, sepertinya dia nggak bisa dipercaya. Aku khawatir, gimana kalau Kakek mati karenanya?" tanya Belinda.

"Omong kosong apa yang kamu katakan?" tegur Bianca seraya mengernyit.

"Pokoknya, aku nggak percaya. Kecuali, dia bisa membuktikannya kepadaku!" seru Belinda sembari mendongak.

"Bukti apa yang kamu mau?" tanya Luther dengan nada datar.

"Coba kamu lihat, penyakit apa yang kuderita. Kalau benar, aku akan memercayaimu," jawab Belinda.

"Kamu yakin?" tanya Luther lagi.

"Kenapa? Kamu takut? Kalau nggak punya kemampuan, silakan pulang sekarang juga. Jangan buang-buang waktu kami!" hardik Belinda seraya tersenyum sinis.

"Keluarkan lidahmu," perintah Luther sambil mengangkat tangannya.

Belinda pun menurutinya dengan patuh. Selesai memeriksa, Luther berkata dengan terus terang, "Panas dalam, gangguan sistem endokrin, mens tidak lancar, dan sering sakit kepala. Selain itu, kamu salah makan sehingga ada masalah dengan sistem pencernaanmu. Siang hari ini, kamu sudah berak 6 kali."

"Oh, kamu juga menderita penyakit ambeien," tambah Luther.

Begitu mendengarnya, ekspresi Belinda langsung membeku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status