Alisha berniat kembali ke kamarnya, namun dia terkejut karena tiba-tiba dia papasan dengan Rona—ibu kosnya, di lorong menuju kamar. Alisha yang masih terisak-isak, buru-buru mengusap airmatanya, berusaha menahan diri agar tidak terlihat terlalu lemah di depan Rona.
Rona melihat keadaannya dengan iba. Dia pun segera mendekat dan merangkul Alisha. Tangannya mengusap punggung Alisha dengan lembut, berusaha memberikan sedikit kehangatan dan ketenangan. Alisha terdiam dalam rangkulan itu, tetapi airmatanya makin mengalir deras.Rona merasa prihatin dan terus menepuk punggung Alisha. “Gapapa, nangis aja sepuas kamu, kalo itu bisa bikin kamu lebih lega,” desis Rona pelan, sambil terus memeluk Alisha. Dalam dekapan Rona, Alisha merasakan kehangatan kehangatan yang perlahan sedikit meredakan kesedihannya.***Alisha duduk di meja makan di dapur kosan, wajahnya kini terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Tak lama kemudian, Rona yang baru selesai memasakAlisha merasakan kepala yang berputar dan tubuh yang lemas. “Aku tiba-tiba pusing, Bu,” ucapnya dengan suara yang lemah. Rona menyentuh kening Alisha dan merasakan panas yang tidak wajar. “Panas banget, kamu demam. Mending sekarang ibu anter kamu ke kamar dulu, biar kamu bisa istirahat.” Alisha mengangguk. Rona pun membantu memapah Alisha berjalan ke kamarnya. Setibanya di sana, Rona segera membimbing Alisha berbaring di atas tempat tidur. “Kamu istirahat dulu, ibu akan hubungin temen ibu yang dokter.” Alisha hanya mengangguk lemah. Rona pun segera meraih ponsel di sakunya untuk menelepon teman dokternya. Setelah beberapa saat, panggilan akhirnya dijawab. “Halo, Herman? Kamu bisa datang ke kosan?” Rona agak melipir untuk bicara dengan teman dokternya itu, wajahnya terlihat kecewa. “Jadi kamu lagi di luar kota? Ya sudah tidak apa-apa, makasih ya.” Rona menutup sambungan telepon, kemudian kembali menoleh pada Alisha yang berbaring di ranjang den
Mobil Dion berhenti di depan kosan Alisha. Dion melangkah keluar dari mobil, dan segera disambut oleh sosok wanita tambun berkulit putih yang tampak cemas. “Dion ya?” Tanya wanita itu. Dion mengangguk, menebak wanita itu sebagai ibu kos Alisha. “Bu Rona?” Rona mengangguk. “Ayo, saya antar ke kamar Alisha, dia masih tidur—badannya makin panas. Padahal semalem sudah saya kompres.” Dion segera mengikuti langkah cepat Rona menuju kamar Alisha. Saat pintu kamar terbuka, Dion langsung terperangah melihat Alisha yang terbaring di atas ranjang dengan wajah pucat pasi. Dion bisa merasakan denyut jantungnya berdegup kencang karena khawatir dengan keadaan Alisha. Dion mendekat perlahan pada Alisha yang terbaring, mengusap lembut bahunya. “Alisha.” Alisha membuka matanya perlahan, sedikit terkejut melihat kehadiran Dion dan Rona di kamarnya. “Mas Dion, kok di sini?” katanya, berusaha bangkit dengan bantuan Rona. “Aku denger k
Farhan melangkah di lorong rumah sakit sembari memegang erat sekeranjang buah yang dia bawa. Ketika dia sampai di depan ruangan rawat Alisha yang pintunya agak terbuka, Farhan bisa melihat Dion duduk di kursi dekat ranjang rawat Alisha. Hatinya berdesir, merasa tidak nyaman melihat Dion di sana, namun dia juga sadar jika tidak berhak melarangnya. Dia berdiri di ambang pintu, berniat untuk pergi tanpa menyapa. Namun sebelum dia sempat melangkah, Alisha yang terbaring di tempat tidur lebih dulu melihatnya. “Farhan?” panggilnya, membuat Farhan terdiam. Farhan menelan ludah, tidak berharap untuk bertemu dengan Dion di sini. Namun dia tidak bisa pergi begitu saja setelah Alisha melihatnya. Farhan pun terpaksa masuk ke ruang rawat Alisha, lalu menyapanya dengan canggung. “Mbak, gimana keadaannya sekarang?” Alisha tersenyum lemah. “Udah mendingan,” jawabnya. Dion yang melihat Farhan, hanya memberikan ekspresi sinis. Farhan memilih untuk mengabaikanny
Alisha terbangun saat mendengar suara adzan subuh yang menenangkan memecah keheningan. Dia merasa hangat di hatinya saat melihat Rona tertidur lelap di sofa tunggu, dan Dion yang masih terlelap di kursi sebelahnya. Ia bersyukur, menyadari bahwa masih banyak orang yang peduli padanya di saat-saat sulit seperti ini. Alisha mencoba bangkit perlahan dari tempat tidurnya, berusaha agar tidak mengganggu tidur nyenyak Dion dan Rona. Namun, langkahnya terhenti ketika tanpa sengaja dia menyenggol gelas di meja hingga membuatnya jatuh dan pecah. Suara pecahan gelas sontak membuat Dion dan Rona terbangun kaget dari tidurnya. Mereka langsung bangkit dengan ekspresi khawatir di wajah mereka. “Kamu mau kemana? Kok turun dari tempat tidur? Kenapa gak bangunin sih?” tanya Dion, suaranya penuh dengan kekhawatiran. Rona yang juga terbangun, menambahkan, “Ada apa, Alisha?” Alisha merasa canggung dan menyesal karena telah membuat kehebohan. “Maaf, jadi bikin kali
“Oh, ternyata dia adik mantan suami kamu. Pasti sama busuknya kayak kakanya…” ungkap Dion dengan nada meremehkan, “udah keliatan sih, selama ini dia suka nyari perkara gitu,” lanjutnya.Alisha yang mendengar ungkapan Dion yang menjelekkan Farhan jadi tidak terima, “Farhan gak seperti itu, Mas. Dia gak sama kayak mantan suami aku atau keluarganya. Dia baik, sejak aku masih tinggal di rumah mertua, cuma Farhan yang selalu menghargai aku. Dia gak pernah semena-mena kayak yang lain. Gak tau aja dia kenapa jadi ngeselin kalo ketemu kamu,” belanya.Dion merasa kesal karena Alisha membelanya. “Justru kamu hati-hati, dia baik pasti ada maunya.”“Kamu juga baik, Mas. Berarti baiknya ada maunya dong?” balas Alisha.Dion tersedak ludah sendiri karena disudutkan oleh pertanyaan Alisha, dia buru-buru membela diri. “Gak bisa disamain dong.”“Sama ah,” sahut Alisha sambil t
Dalam perjalanan pulang di angkot, Alisha duduk di kursi penumpang— yang hari ini tumben cukup senggang hingga Alisha bisa duduk dengan nyaman. Kedua matanya memperhatikan pemandangan di luar jendela, jalanan sore terlihat padat dengan kendaraan yang berjalan lambat.Tiba-tiba, matanya tertuju pada sosok yang sangat dikenalnya tengah duduk sendirian di halte bus. Alisha memicingkan mata, mencoba memastikan bahwa yang dia lihat benar-benar Farhan.“Farhan?” gumam Alisha dalam hati, rasa penasaran memenuhi pikirannya. Alisha mencoba mengingat kapan terakhir kali dia bertemu dengan Farhan. Ya, itu sudah beberapa hari yang lalu— ketika Farhan menjenguknya di rumah sakit.Tanpa berpikir panjang, Alisha memberi tahu sopir bahwa dia akan turun di halte tersebut. Setelah menyelesaikan pembayaran, dia turun dari angkot dengan langkah pelan. Perutnya yang semakin membesar membuatnya merasa kurang nyaman saat bergerak.Setelah turun, Alisha b
Pesanan Farhan dan Alisha pun tiba. Ibu warteg mengantarkannya dengan ramah ke meja mereka.“Terima kasih, Bu,” ucap mereka hampir bersamaan saat ibu warteg baru selesai meletakkan makanan mereka.“Sama-sama, permisi,” kata ibu warteg sebelum meninggalkan meja mereka. Alisha dan Farhan pun mulai makan. Suasana terasa canggung bagi Alisha setelah obrolan sebelumnya. Farhan sesekali melirik ke arah Alisha, menyadari kegugupan perempuan itu.“Mbak, kok salting? Gugup ya?” goda Farhan dengan senyum penuh arti.“Farhan, bisa gak sih kamu gak godain aku terus? Gak lucu tau,” protes Alisha dengan wajah sedikit kesal.“Aku emang gak ngelucu tau,” jawab Farhan tulus. “Kalo itu bagian dari usahaku, emang gak boleh?”Alisha terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Farhan. “Usaha apa?” tanyanya akhirnya.“Usaha deket sama kamu,” jawab Farhan. Alisha
Beberapa saat kemudian, angkot berhenti di tepi jalan yang tak jauh dari kosan. Alisha menyodorkan uang pas kepada sopir angkot. “Terima kasih,” ucapnya sopan sebelum turun.Dengan hati-hati menahan beban perutnya yang semakin besar, Alisha melangkah menuju gerbang kosan. Matahari yang mulai tenggelam memberikan sentuhan keemasan di langit senja.Tiba di kosan, Alisha melihat sosok Dion yang tegap berdiri di dekat mobilnya yang diparkir di halaman rumah kos, menunggu dengan sabar. Alisha segera menghampiri Dion.“Mas Dion, udah lama nunggu? Ada ada perlu apa emangnya?” sapa Alisha ketika sampai di depan Dion.“Kamu dari mana aja? Bukannya jam pulang kerja udah dari tadi?” Dion bertanya, ekspresinya tampak agak khawatir.“Aku tadi makan di warteg dulu,” jawab Alisha.“Sama siapa aja?”Alisha merasa ragu untuk menjawab pertanyaan Dion. “Sama... teman,” jawabnya pela