Ketika Idris mendaki tangga menuju lantai 2 rumah Sondang di Rabu malam itu, dari arah kamar Sondang, dia mendengar suaranya menyanyikan perlahan ‘Somewhere Over The Rainbow.’ Suaranya cukup jernih, dan seperti ke luar dari hati. Idris berhenti lama di ujung anak tangga menuju lantai 3, agar Sondang atau penghuni lain rumah itu, tak melihatnya menguping. Ternyata di hari kerja seperti ini, Sondang mengisi malamnya dengan bernyanyi-nyanyi. Idris datang untuk menginap di rumah Sondang malam itu. Sehari sebelumnya, seorang pekerja proyek mengalami kecelakaan kerja. Tidak parah, tapi cukup untuk membuatnya harus dirawat di rumah sakit di kota ini. Mereka sudah membuat laporannya ke Disnaker dan BPJSTK. Dan menjelang sore, dia berangkat dari Site, untuk melihat keadaan karyawan tersebut di rumah sakit. Sebenarnya, dia bisa langsung pulang ke tempat kerjanya, sebab hari masih jam 7 malam ketika dia ke luar dari rumah sakit. Tapi kerinduan pada
Akhir pekan itu, Idris tak kunjung datang. Sondang mengira, dia akan datang di Sabtu malam, seperti minggu sebelumnya, tapi ternyata itu tak terjadi.Pulang latihan koor di jam setengah sepuluh malam, dan hanya menemukan 'kekosongan' di bawah Pohon Jambu Air, membuat Sondang semakin merasa lesu. Dia lalu tidur dengan muram, dan tak merasa terhibur, meskipun Friska mengiriminya pesan teks, bahwa dia akan ikut ke rumah Sondang besok sepulang gereja. Dibiarkannya saja pesan itu tak terbalas, dan merelakan dirinya mendengarkan protes dari Friska besok.Pagi itu, dengan rasa lesu, dia menaiki motor ungunya menuju gereja. Di jalan ke luar ‘kampung’, tiba-tiba dia merasa melihat mobil yang dikenalnya, melaju lambat menuju dia. Ketika kaca mobil tersebut hampir sempurna membuka, dia melihat Idris berteriak memanggilnya:“Ndang, kita berangkat bareng aja!”Sondang bagai mendengar darahnya berbunyi ‘serr,serr’ saat
Sudah setengah jam lebih dia menunggu di Café ini, ketika Justin akhirnya datang.Tadi jam 12 siang, Justin tiba-tiba mengiriminya pesan, mengajak bertemu, jam 5 sore. Awalnya Sondang ingin menolak, karena belum siap untuk memberikan jawab kepada Justin. Tapi kemudian hatinya berkata, bahwa akan lebih baik, jika apa yang menjadi urusannya dengan Justin, diselesaikan lebih cepat.“Maaf ya, Ndang. Aku terlambat. Tadi waktu mau pulang, tiba-tiba Atasanku telepon, minta bantuan menyelesaikan satu pekerjaan,” kata Justin begitu dia hadir di depan Sondang.Sondang mengangguk. Dia percaya Justin tidak berbohong, sebab dia sudah kenal Justin sejak masih kecil dulu. Lurus dan tak pernah berbelit-belit saat bicara.Dilihatnya Justin yang selalu tampan dengan kulit putihnya dan rambut lurus rapi dibelah samping. Bajunya selalu saja rapi, bahkan ketika dia memakai kaos, tak pernah dia melihat Justin tampil berantakan. Sejak dulu,
Kira-kira jam 10 pagi di hari Sabtu, Mereka berempat: Mama, Ipar Sondang, Friska dan Sondang, sudah sibuk di dapur. Nanti sore akan ada acara ‘partangiangan’ atau acara doa bersama. Ini acara rutin sekali sebulan, yang dilakukan secara bergilir oleh para jemaat gereja. Bulan ini, giliran jatuh pada keluarga Sondang.Sebenarnya kalaupun hanya menyajikan kue-kue, jemaat yang hadir pasti tidak keberatan. Tapi Mama memutuskan untuk menyediakan makan malam, meski cuma sekedarnya. Itu sebabnya pagi-pagi tadi, Sondang dan Abang sudah pergi berbelanja ke pasar, membeli 6 ekor ayam kampung, dan keperluan lainnya.Selain memasak Ayam gulai andaliman, tombur ikan nila dan sayur daun singkong tumbuk, Mama memutuskan untuk membuat Lampet beras. Jadilah apa yang disebut sebagai makan malam sekedarnya itu, malah berubah menjadi makan malam berat, bagi yang bertugas mempersiapkannya.Karena itu, mereka segera berbagi tugas. Sondang memasak ayam, da
Dan Idris ternyata tidak datang malam itu. Sondang menduga, mungkin karena dia sebenarnya masih kesal, mendengar Sondang akan latihan musik berdua dengan Justin. Idris tidak tahu, setelah Sondang menolak cinta Justin, dia sendiripun bingung, bagaimana tetap bersikap tenang di dekat Justin yang sudah dibuatnya patah hati itu. Mereka memang sudah berjanji akan tetap menjadi teman, tapi semuanya pasti butuh waktu. Dan belum seminggu sejak Sondang menolak Justin, bagaimana luka hati bisa sembuh, dalam waktu sesingkat itu? Seandainya bisa, ingin sekali sebenarnya Sondang membatalkan ‘duet’ mereka ini. Tapi apa boleh buat, pengantin sendiri-yang adalah teman kursus musik mereka dulu- yang meminta mereka untuk bermain musik di acara pemberkatan nikahnya. Jadi jalan satu-satunya hanyalah melakukannya, meski keduanya sedang merasa tak nyaman. Malam ini, hati Sondang merasa sakit dan kesepian. Seperti ada harapan yang terlepas, ketika sosok Idri
“Ya, ampun, Mama Sondang niat banget kayaknya menjodohkan Sondang dengan Justin, ya. Nyari alasannya maksa banget,” keluh Friska ketika mobil Idris sudah meluncur ke luar dari halaman gereja, dalam perjalanan menuju rumah Amelia. Idris diam saja, hatinya merasa rusuh dan kecewa. Sulit sekali ternyata untuk mendekati Sondang. Ada-ada saja hambatannya. Cuma Andi yang bereaksi dengan tertawa kecil. Siapapun yang ada di situ tadi tahu, bahwa Mama Sondang memang membuat-buat alasan, untuk memaksa Sondang pergi berdua dengan Justin. “Namanya orang tua, Fris, hanya bisa tenang, kalau anak perempuannya sudah menikah.” “Iya, sih. Cuma aku kasihan lihat Sondang tadi. Dia kaget banget, waktu tahu bahwa dia akan pergi berdua dengan Justin. Mungkin dia sangka, dia bisa minta kita temani, ya?” kata Friska prihatin. Andi tertawa lagi, lalu berkata, “Mungkin besok-besok, kalau Mama Sondang butuh beli jarum
“Itu Bou, yang di kiri. Iya, itu..” teriak salah satu ponakannya pada Sondang yang sedang memetik Mangga. Minggu siang sepulang gereja itu, dia sedang memanjat pohon Mangga yang tumbuh di halaman belakang, di dekat kandang ayam.Musim Mangga sebenarnya sudah hampir berakhir, dan ini hanya tinggal buah sisa saja. “Pegang kuat kainnya!” seru Sondang ke arah bawah, kepada kedua keponakannya yang sejak tadi memegangi ujung-ujung kain untuk menampung buah Mangga yang dilemparkan Sondang ke bawah.Satu per satu buah Mangga Manalagi yang sudah tua dipetik oleh Sondang, dan dilemparkannya ke dalam kain. “Coba hitung, sudah berapa jumlahnya?” tanyanya pada kedua keponakannya. Kedua anak 5 tahun itu terdengar membilang angka-angka dengan bersuara.“12. Bou..”“Sudah cukup berarti, ya? Sudah banyak itu..”Tak ada jawaban untuk sesaat. Si Kembar itu ternyata sedang berdiskusi berdua.“Seorang dapat berapa buah, Bou?” tanya yang termuda.“2,” jawab Sondang sambil bersiap-siap turun. Dijejakkan
Idris menelepon Sondang di hari Selasa malam.Sondang sedang di kamarnya, berlatih musik biola, untuk penampilannya dengan Justin di hari Minggu sore. Dia merasa hampir pingsan karena terlalu gugup, ketika matanya melihat photo Idris terpampang memenuhi layar teleponnya: sedang tersenyum, seperti khusus diberikan untuk Sondang.Bukannya diangkat, Sondang malah berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya yang kecil, tak tahan menanggung gejolak perasaannya. Ingin mengangkat, tapi dia malu sekali, tak berani memikirkan akan mendengar suara Idris yang merayu-rayunya seperti biasa.Telepon itu akhirnya berhenti berbunyi, setelah 2 kali putaran panggilan, dan Sondang tak juga mengangkat. Seketika itu juga, Sondang malah merasa patah hati.“Ayo, bunyilah lagi.. Ayo.,” pintanya sambil melihat layar telepon yang perlahan-lahan menjadi gelap.Tapi tak ada bunyi apapun terdengar, dan itu membuat kegembiraannya terampas.Dalam getirnya penyesalan, dia kembali meletakkan biola ke atas bahunya, meng