Share

Segumpal Rambut

Wanita berjilbab yang memakai seragam kerja di restoran itu menoleh. Seketika Wildan terkejut setelah melihat siapa wanita yang bekerja sebagai pelayan restoran di mana ia akan makan siang. Bukan hanya Wildan saja yang terkejut, tetapi pelayan itu juga tak kalah terkejut.

***

Sorot mata Wildan menyiratkan rasa amarah, bagaimana bisa seorang istri pengusaha bekerja sebagai pelayan restoran. Iya wanita berjilbab itu  adalah Alina, istri Wildan. Jika orang tahu siapa Alina yang sebenarnya, mau ditaruh di mana wajah Wildan.

"Mas, itu bukannya Alina?" tanya Rena. Wildan hanya diam, matanya tak lepas dari sang istri.

Sementara itu, Alina masih berdiri mematung, ia tidak menyangka jika suaminya akan datang ke resto di mana Alina bekerja. Alina berusaha untuk tetap bersikap tenang, hatinya memang sakit saat melihat suaminya sendiri makan berdua dengan seorang wanita, terlebih wanita itu tengah berbadan dua.

Entah itu anak siapa, dan mereka memiliki hubungan apa. Alina terpaksa bekerja sebagai pelayan restoran karena suatu hal. Mungkin yang utama memang karena uang bulanan yang tidak sepadan. Wildan hanya memberinya dua juta, untuk kebutuhan pribadi dan dapur.

"Jadi ini yang kamu lakukan jika berada di luar, Mas. Kamu benar-benar tega," batin Alina. Sebisa mungkin ia bersikap biasa, bahkan tak peduli dengan suaminya yang bersama wanita lain. Meskipun hatinya terasa amat perih.

Saat Alina hendak menghampiri suaminya untuk menanyakan ingin pesan apa. Tiba-tiba salah satu pengunjung lain memanggilnya, dengan terpaksa Alina memutuskan untuk melayani pelanggan tersebut. Sementara itu, Wildan memilih untuk pergi dari resto itu.

"Kita makan di tempat lain saja," ujar Wildan. Dengan terpaksa Rena mengikuti kemauan Wildan.

"Kamu nggak marah lihat Alina bekerja jadi pelayan restoran?" tanya Rena. Saat ini mereka sudah dalam perjalanan untuk ke resto lainnya.

"Kalau aku marah tadi, sama saja mempermalukan diri sendiri," jawab Wildan, ia berusaha untuk fokus menyetir.

"Alina, apa alasan kamu bekerja di resto itu. Apa uang yang aku kasih kurang, jika iya seharusnya kamu bilang, bukan seperti ini caranya," batin Wildan. Tak habis pikir jika Alina berani berbuat tanpa persetujuan darinya.

Sesekali Wildan mengusap wajahnya dengan gusar, ingin rasanya ia pulang dan bicara langsung dengan Alina. Apa alasannya bekerja sebagai pelayan restoran. Wildan akui, memang sudah hama setahun ini ia mengacuhkan istrinya, sementara akhir-akhir ini sikap Alina berubah.

***

Matahari sudah tenggelam di ufuk barat, seperti biasa pukul lima sore Alina sudah berada di rumah. Sementara setengah enam Wildan pulang, dan kini waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Selepas shalat isya Alina memutuskan untuk menyiapkan makan malam.

"Alina kita perlu bicara." Wildan menarik tangan Alina dan membawanya menuju ruang tengah.

"Ada apa, Mas?" tanya Alina.

"Tolong jawab dengan jujur, untuk apa kamu bekerja sebagai pelayan di restoran itu?" tanya Wildan. Matanya menatap tajam pada wanita yang berada di hadapannya.

"Apa mungkin aku harus jujur," batin Alina.

"Alina." Wildan memegang tangan istrinya.

Alina menghembuskan napasnya. "Aku bosan berada di rumah terus, Mas. Itu sebabnya aku cari kegiatan dengan bekerja di resto. Tapi kaku jangan khawatir, mereka tidak tahu kok kalau aku istri kamu."

Wildan menyipitkan matanya. "Bosan berada di rumah terus, tapi bukan berarti kamu harus bekerja jadi pelayan."

Alina menyeka sudut matanya yang sudah berembun. "Maaf, Mas. Kalau saja kita punya anak mungkin aku tidak akan melakukan ini."

Wildan mengusap wajahnya dengan gusar, ada rasa bersalah dalam hatinya. Terlebih mengingat tentang Rena, wanita yang kini sedang mengandung benihnya. Wildan menikahi Rena tanpa sepengetahuan Alina.

"Kita sudah berusaha, tapi mungkin belum waktunya," ucap Wildan.

"Kita juga sudah mencoba bayi tabung, tapi memang mungkin belum waktunya," lanjut Wildan.

"Aku takut kalau nanti kamu menikah lagi, Mas. Karena sampai saat ini aku belum bisa memberikan kamu keturunan," ungkap Alina. Mendengar itu, seketika Wildan bungkam.

"Oya, wanita yang bersamamu tadi siapa, Mas?" tanya Alina.

"Oh, itu. Dia Rena, temen sekolah aku dulu," jawab Wildan dengan gugup. Sementara Alina hanya mengangguk.

"Aku minta besok kamu berhenti bekerja, sekarang memang mereka tidak tahu. Tapi suatu saat rahasia pasti akan terbongkar, jadi aku minta kamu berhentilah bekerja di resto itu," pinta Wildan. Ia tidak ingin jika orang-orang tahu, kalau Alina adalah istrinya.

"Tapi, Mas .... "

"Tidak ada tapi-tapian, mengerti." Wildan memotong ucapan istrinya, setelah itu ia bangkit dari duduknya dan beranjak naik ke lantai atas.

Setibanya di lantai atas, Wildan bergegas masuk ke dalam kamar. Pria berkaos putih itu melangkah masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Namun tiba-tiba mata Wildan menangkap  segumpal rambut di lantai.

"Rambut siapa ini," gumamnya.

"Apa mungkin rambut Alina yang rontok, tapi kenapa sebanyak ini," gumamnya lagi. Menurut Wildan sangat tidak wajar.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
terlalu banyak menahan luka batin sama aja dg mengundang maut pelan2. kenapa banyak drama sih nyet. emangnya bohong itu g dosa ya. kenapa mati aja sekalian daripada bicara g jelas
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status