Share

Bab 7 Di dalam restoran itu

Hari ini aku berniat mengikuti Mas Dani sesuai apa yang di katakan Ibu. Aku bersyukur sekali, Ibu sangat mengerti keadaan dan posisiku. Mungkin karena ibu merasa bahwa dirinya juga wanita. Tak ingin terus-menerus dibuat tanda tanya oleh sikap mas Dani yang terlihat tak biasa. Apalagi penghasilannya.

"Diandra, sore nanti tolong siapkan baju yang paling bagus untukku," katanya menyuruhku.

Posisi kami saat ini sedang sarapan. Aku makan sambil menyuapi Dona.

"Hm," anggukku sambil menyuapi putri tercantik.

"Memangnya kamu mau kemana sih, Mas?" tanyaku lagi berbasa-basi.

"Aku nanti sore ada pertemuan bersama rekan-rekan bisnis di restoran mewah. Membahas kelanjutan bisnis kita," jawabnya sambil terus menyuapkan makanan satu sendok satu sendok dengan cepat ke mulut. Sarapan nasi goreng pakek telur mata sapi sesuai keinginannya.

Tingkahnya benar-benar rusuh.

Aku menengadah dan mendudukkan Dona di kursi sebelah.

"Kamu itu sebenarnya bisnis apa sih, Mas?" tanyaku greget.

Dia langsung diam. Tangannya masih memegangi sendok dan berhenti di tengah-tengah dada. Makanannya belum ia masukkan.

"Aku itu, aku, aku sedang menggeluti bisnis di bidang properti. Aku ikut semacam investasi. Kamu lihat sendiri hasilnya, kan? Uangnya juga selalu aku kasih sama kamu," jawabnya tergagap di awal.

"Oh, begitu. Lalu kenapa kamu enggak bilang dari awal kalau kamu investasi, Mas? Kan aku enggak bakalan suudzon," tuturku.

Sebenarnya masih ragu dengan gelagat jawabannya yang seperti terbata-bata dan tak fokus.

"Ah, sudahlah. Aku berangkat ke kantor dulu. Dadah Dona Sayang!"

Mas Dani langsung hengkang sehabis makan dan meminum segelas susu putih kesukaannya.

Dia menyodorkan tangannya untuk dicium oleh Dona. Selanjutnya aku yang mencium punggung tangannya.

Mas Dani pun pergi menuju kantor dengan baju berwarna merah ati, dasi hitam, sepatu kinclong dan sebuah tas koper kecil.

Oh, ya. Kini dia telah memakai sebuah mobil. Meskipun mobil bekas dan tidak begitu mewah. Katanya uangnya ia dapat dari keuntungan investasi selama tiga bulan terakhir.

Aku sih mengerti kalau dia akan mendapat keuntungan. Tapi secepat dan sebesar itu?

Ya Tuhan, Mas, kok hati ini rasanya masih tak bisa percaya seratus persen sama kamu.

Kupandangi Mas Dani sampai ia masuk ke dalam mobil barunya. Yang baru ia beli kemarin sore.

Suamiku itu memang tampan dan gagah. Kulitnya sawo matang dengan bola mata yang amat putih mempesona. Bibirnya yang tipis dan merah seperti memakai gincu membuatku terlena dengan ketampanannya dulu. Apalagi Mas Dani orangnya sangat baik dan perhatian.

Aku jadi cemas. Pasti banyak sekali kaum hawa yang naksir padanya. Tapi kalau iman Mas Dani kuat mana mungkin ia tergoda oleh wanita di luar sana.

Hatiku masih bergemuruh memikirkan keadaan ekonomi kami yang makin membaik namun dipenuhi ribuan tanda tanya. Apalagi dengan gelagat Mas Dani yang kadang-kadang aneh.

Kini tatapanku beralih kembali pada Dona yang sudah duduk di atas karpet permadani.

Apa mungkin ayah kamu merahasiakan sesuatu, Nak?

Batinku berkecamuk tak karuan.

Dona yang sangat cantik dengan rambut sedikit ikal, membuat wajahnya makin lucu saja di pandangan. Membuatku dan tetangga makin gemes. Apalagi Dona tumbuh menjadi seorang anak yang aktif namun penurut.

***

Sore harinya.

"Diandra? mana baju yang kuminta?" tanya mas Dani sedikit berteriak dari dalam kamar.

Aku yang saat itu sedang berada di dapur tengah membuang sampah plastik bekas cemilan Dona langsung bergegas menuju kamar. Menghampiri Mas Dani yang teriak-teriak seperti di hutan.

"Ya, Mas. Ini bajunya," jawabku sambil masuk ke kamar.

Membuka lemari dan memberikannya baju yang sangat bagus dan menarik. Entah itu sesuai dengan yang ia inginkan atau tidak.

Mas Dani nampaknya suka dengan baju yang telah ku pilihkan. Tak lupa juga sepatu dan jaket.

"Mas, kenapa kamu enggak pernah ajak aku ketemu rekan-rekan kamu. Kamu suruh saja mereka juga bawa istri-istrinya atau pacar-pacarnya!" seruku mulai memancing.

Mas Dani masih merapikan pakaiannya.

"Ya, nanti aku kan coba bilang sama mereka. Lagipula kebanyakan dari mereka itu istrinya wanita karier juga, jadi pasti enggak banyak waktu mereka untuk bersama-sama. Makanya aku nyuruh kamu untuk diam di rumah, suapaya kamu enggak sibuk kerja kayak mereka," jawabnya santai.

"Hm, gitu ya, Mas!" seruku sedikit sinis nan pelan. Meninggikan alis tanda tak puas dengan jawaban.

"Ya sudah, aku akan pergi dulu. Kamu jangan terlalu cemaskan aku kalau aku pulang agak larut lagi. Aku akan baik-baik saja," tuturnya lagi.

Selesai merapikan pakaian yang ia pakai dan memakai gesper, mas Dani langsung memakai sepatu yang sudah aku pilihkan sambil berkata seperti tadi.

Dia mendekat ke arahku. Memandang kedua bola mataku dengan gombal.

Lalu dia mencium keningku.

Kulihat ketampanan suamiku makin nampak saja. Wajahnya yang bersih tanpa jerawat sedikitpun pasti membuat kaum hawa di luar sana mengaguminya.

Dari ujung kaki sampai ujung kepala dia sangat perfeksionis. Sangat berbeda dengan gayanya di awal-awal waktu kita bertemu.

Tapi aku bersyukur, kini suamiku bisa di pandang lebih baik.

Mas Dani pergi setelah pamit dan mencium keningku. Begitupun aku yang mencium punggung tangannya dengan takzim pula.

Di sini tak ada Dona. Dia juga sempat bertanya.

Aku bilang saja kalau Dona berada di rumah ibunya. Karena memang benar, tadi ibu kesini mengambil Dona sewaktu mas Dani belum pulang dari kantor. Dan mas Dani tidak tahu, kalau maksud Ibu membawa Dona adalah, supaya aku bisa mengikutinya.

Aku tak menyangka Ibu akan bereaksi sepertiku. Mencurigai anaknya dengan gelagat dia yang tak biasa. Alhamdulillah, tak perlu aku ceritakan pun, Ibu benar-benar mengerti.

Mas Dani tadi baru pulang dari kantor dan sekarang seperti biasa harus terburu-buru berdandan rapi lalu pergi. Begitulah setiap hari-hari tertentu.

Diapun langsung melangkah pergi setelah mendengar alasan dimana Dona dari mulutku.

Aku mengantarnya sampai ke depan pintu. Melihat ia masuk mobil baru berwarna hitam. Mobil mereka Avanza Veloz bekas, namun masih bagus.

Diapun pergi. Dan sudah luput dari pandangan.

Segera akupun mengganti baju. Baju yang baru kubeli. Baju baru supaya mas Dani tidak mengenaliku. Aku juga akan dandan berbeda dari biasanya. Supaya ia tak mengenaliku.

Tak lama setelah berdandan, aku pergi. Mengunci rumah dan menyimpannya di bawah pot bunga janda bolong yang sedang tren di masa kini.

Aku mendapatkan bunga itu dari tetangga yang baik hati. Bunga janda bolong itu beranak dan aku memintanya. Dengan baik hati bu Ridwan pun memberikannya padaku. Padahal dia membelinya dengan harga yang lumayan fantastis. Hampir merogoh kocek uang bulanannya senilai puluhan juta rupiah.

Tapi tak kusangka, dengan rendah hati Bu Ridwan, maksudnya bu Ami istri dari pak Ridwan memberikannya padaku. Padahal orang lain yang memintanya tak ia kasih. Entah mengapa, dia sangat baik sekali padaku.

Kami lebih akrab memanggil namanya dengan sebutan bu Ridwan. Orangnya memang tajir dan sedikit sombong. Tapi ketika kita bisa membuat dirinya tersanjung, bu Ridwan pun dengan senang hati memberikan apapun yang pada mereka yang bisa menyanjung dirinya.

Dan setelah aku menyimpan kunci di bawah pot janda bolong tadi, aku segera pergi.

Menancap gas mengikuti kemana arah suamiku pergi. Kalaupun ketinggalan jejak juga tak mengapa, karena aku bisa memantaunya lewat aplikasi.

Kini aku seperti detektif saja. Memakai pakaian serba hitam berkacamata hitam pula.

Tak kusangka, setelah aku membuntuti mas Dani ternyata ia pergi ke restoran yang kemarin aku kunjungi. Restoran kemarin yang ia kunjungi pula.

"Hah, kesini lagi?" kejutku dalam hati.

Aku masih berada jauh dari posisinya yang sedang memarkir mobil dengan rapi.

Mas Dani mulai keluar dari mobil. Masuk ke dalam restoran setelah menyemprotkan minyak wangi ke tubuhnya.

Sangat mencurigakan. Dari rumah aroma tubuhnya masih belum hilang, dan kini ia semprotkan kembali. Benar-benar tak masuk akal. Apalagi namanya kalau bukan untuk bertemu dengan wanita?

Dengan menghembuskan nafas perlahan, aku segera masuk. Mengikuti kemana Mas Dani melangkah.

Aku bersikap seperti biasa tanpa membuat orang lain curiga.

Sebelumnya aku sudah bercermin. Kalau suamiku jelas tak akan mengenaliku sama sekali dengan pakaian ini.

Kini aku mulai masuk dan mengikuti kemana arahnya melangkah.

Tak lama kemudian.

Aku benar-benar dibuat syok.

Apa yang kulihat?

Suamiku Mas Dani tidak menghampiri rumunan laki-laki. Tapi dia malah menghampiri rumunan perempuan.

Bahkan ... ?

Oh, tidak. Bahkan perempuan-perempuan itu seusia dengan ibunya?

Hah? Aku makin syok melihatnya sembari duduk dari kejauhan.

Apa maksudnya?

–––

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status