“Bu, aku pergi main dulu, ya!”
“Iya, jangan berkelahi lagi kamu! Pusing ibu kalau setiap hari harus mendengar ocehan dari orangtua teman-teman kamu,” “Oke, Bu ….”Pukul sembilan pagi tepatnya di hari minggu, si Alex kecil keluar dari rumahnya dan pergi bermain bersama dengan teman sebayanya. Saat itu, umurnya masih sekitar lima tahun. Ibunya setiap hari bekerja dari pagi hingga larut malam, dan hanya akan ada di rumah saat hari libur tiba, seperti Minggu dan hari-hari libur lainnya. Itu pun, ibunya tetap memiliki pekerjaan kantor yang belum selesai. Sedangkan ayahnya adalah seorang Tentara yang sedang bertugas di luar Negeri. Akibatnya, dia tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kedua orangtuanya dan itu membuatnya menjadi sedikit nakal.
“Hai, teman-teman,” ucap Alex sambil tersenyum dan melambaikan tangan sekelompok anak-an
Malam pun tiba. Seperti biasa, aku dan kedua puterinya Kak Melly sedang bermain di ruang tengah. Kegiatan ini hampir setiap hari ku lakukan sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas dulu sembari menunggu Kak Melly pulang. Namun terkadang, aku meminta Cindy dan Rani untuk bermain berdua, karena aku sedang mengerjakan tugas sekolah dan kembali bermain dengan mereka ketika sudah selesai. Beruntung, para Dosen itu belum memberiku tugas. Jadi, aku bisa terus bermain bersama dengan mereka berdua.Beberapa saat kemudian, mobil milik Kak Melly tiba di depan rumah dan tumben-tumbenan, mobil milik Bang Rudy juga tiba di depan rumah, bersamaan dengan Kak Melly. Aku bergegas keluar rumah dan membukakan pagar, kemudian menutupnya lagi dan berlari menghampiri mereka. “Hai, Kak, hehe …,” ucapku menyapa Kak Melly sambil tertawa kecil. “Apa? Kamu berantem di kampus, dan dibawa ke ruang Dosen, iya?” tanya Kak Melly pa
Tujuh tahun kemudian setelah hari kelahiran, di luar rumah nampak hujan turun. Bau tanah kering yang tersiram air, menguar tercium, mengusik hidung.“Bu, di luar hujan, ya?” tanyaku pada Ibu. “Iya, Massika kenapa, mau main keluar?” tanya Ibu. “Hmm, nggak Bu, aku takut,” jawabku. Ibu mengernyitkan kening, dia tersenyum lalu mulai menjelaskan sesuatu. Ibu berkata, tidak ada yang perlu ditakutkan. Aku lahir ketika hujan turun. Itulah sebabnya, mengapa ibu memberikan nama Massika. “Hujan, ‘kan, hanya air, kamu takut dengan air?” tanya Ibu mengakhiri ceritanya. “Iya sih, tapi …." Aku menghentikan kalimat, bimbang hendak berkata apa. “Sudah, ayo kita keluar!" ajak Ibu. Kemudian ibu membawaku keluar rumah. Sesampainya di depan pintu rumah, langkahku terhenti.
Pagi hari, Ibu mengetuk kamarku sambil memanggil namaku. Hari ini, adalah hari pertamaku masuk sekolah. “Iya, Bu, sebentar …,” kataku, baru saja terbangun dari tidur karena suara Ibu memanggil namaku dari luar kamar.Kemudian, Aku langsung bangkit dari ranjang tidurku dan langsung berjalan sempoyongan membuka pintu kamarku. “Huaaahhh … Bu, aku masih mengantuk, nih …,” kataku sambil mengucek mata. “Hei … hari ini ‘kan, hari pertama kamu masuk sekolah. Semangat, dong …,” kata Ibu. “Iya, Bu … tapi aku masih mengantuk, nih. Sebentar lagi deh, ya?” tanyaku pada Ibu. “Eh, tidak bisa, dong … yah sudah, ayo kita mandi dulu,” kata Ibu sambil mengelus rambutku.Mengiyakan perkataan Ibu, lalu Ibu membawaku menuruni tangga dan langsung menuju kamar mandi. Selesai mandi dan
Tampak dari kejauhan, Zahir masih saja menundukkan kepala sambil mengepalkan kedua telapak tangannya. Aku semakin merasa puas melihatnya seperti itu. Tidak ada sedikit pun rasa penyesalan, setelah apa yang ku lakukan pada Zahir. “Sialan! Berani-beraninya, dia mempermalukanku seperti ini. Awas saja, akan ku balas perbuatanmu!” gumam Zahir, sambil mengepalkan kedua tangannya semakin kuat.Sekarang, pandangan mata tidak lagi terpusat pada Zahir. Melainkan, para murid sekelasku kembali memperhatikan Bu guru yang tengah berdiri di depan kelas. Bu guru berkata, hanya perkenalan saja untuk pertemuan pertama ini. Kemungkinan besok, baru lah pelajaran pertama kami dimulai. Sesaat setelah itu, lonceng sekolah berbunyi. “Baiklah, perkenalan kita cukup sampai disini dulu, ya … sekarang, kalian boleh pulang,” kata Bu guru.Para murid berbaris dan secara bergantian bersalaman dengan Bu guru. Lalu, para murid berl
Aku dan Alya belum juga pulang ke rumah. Kami berdua masih asik bermain di tengah derasnya hujan. Tiba-tiba, Alya menghentikan langkahnya sambil memeluk dirinya sendiri, dengan bibir tampak bergetar dan sedikit pucat. Alya memanggilku dan sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Namun, sepertinya dia merasa malu untuk mengatakannya. Aku menoleh kearah Alya, dan langsung menghampirinya. “Kenapa, Al?” tanyaku pada Alya. “Dingin, hehe … hujan nya semakin deras, nih …,” jawab Alya, menggigil kedinginan. “Eh, kamu kedinginan, ya? Ah, lemah banget, sih … baru juga sebentar,” kataku. “Iya, sih … ya, mau bagaimana lagi? Aku sudah menggigil, nih. Kita pulang, yuk …,” ajak Alya, memeluk tubuhnya semakin erat. “Yah, padahal Aku masih ingin bermain dengan hujan … yah sudah lah.”Merasa kasihan pada
Kehilangan sosok orang tua, memang sangat lah menyakitkan. Sejak lahir, ayah lebih dulu meninggalkanku. Tidak begitu terasa karena saat itu, aku masih belum bisa melakukan apa-apa. Namun, yang membuatku merasa sangat terpukul adalah, saat kepergian ibuku. Melihatnya terbaring lemah tak berdaya, seakan hatiku hancur. Semua harapan yang ku bangun bersama ibu, kini telah sirna semenjak ibu tak lagi berada di sampingku. Semua terasa hambar sejak dia pergi meninggalkanku. Apalagi, setelah mendengar dari orang-orang yang berada di rumahku, kalau ibu mengalami kecelakan saat mengendarai mobil. Malam berganti pagi. Suara ibu, tak terdengar lagi di telingaku. Biasanya, ibu selalu memanggil dan mengetuk pintu kamarku setiap pagi. Kini, suara itu telah hilang, berganti dengan suara kokokan ayam, masuk ke telinga dan membangunkan tidurku. Menarik nafas panjang, aku bangkit dari ranjang tidurku dan langsung keluar dari kamar. “Kak, Alya pergi kemana?
Dua belas tahun berlalu. Tubuhku yang mungil dan lugu, kini sudah beranjak dewasa. Kak Melly, menikah dengan seorang pria berusia setara dengan nya, dan dikaruniai dua orang anak. Kak Melly, mengajakku pindah ke rumah baru nya bersama suami dan anak-anaknya, ke kota besar yang jauh dari kampung halamanku. Rumah lama peninggalan orangtuaku telah disewakan. Kak Melly, tidak tega kalau harus menjual rumah itu, walaupun dalam keadaan terpaksa sekalipun.Usiaku sudah genap sembilan belas tahun. Aku masuk di salah satu Universitas yang ada di kota Bandung, tak jauh dari rumah milik Kak Melly. Tidak tahu mengapa dia mengusulkan Universitas itu, tapi dari sinilah kisah perjalananku di mulai …. Brakk! “Eh, ma-maaf …,” kataku sambil merapihkan buku-buku milikku yang jatuh berserakkan ke lantai. “Hei! Kalau jalan pakai mata, dong!” bentak seorang pria yang baru saja tertabrak olehku.&nb
Aku berjalan bersama Alya, berniat ingin pergi ke kantin. Namun, kami tak tahu dimana keberadaan kantin tersebut. Kemudian, seorang wanita berjalan kearahku. Aku memberhentikan langkahnya, dan bertanya, “Maaf, Kak … kantin sebelah mana, ya?” “Oh, dari sini, kakak hanya tinggal lurus saja kesana. Nanti, kakak ambil jalan sebelah kiri, lalu menuruni tangga dan nanti ada pintu keluar disana. Nah, dari pintu keluar itu, sudah kelihatan kantinnya,” jelas wanita itu. “Oh, begitu … terima kasih banyak, Kak,” kataku pada wanita itu.Wanita itu menganggukkan kepala dan mengiyakan perkataanku. Setelah itu, dia pergi dan kami pun langsung melanjutkan perjalanan, mengikuti arah yang dikatakan oleh wanita itu. ‘Disini, belok kiri … lalu ada tangga …, nah, ini tangganya!’ batinku. Aku dan Alya, menemukan tangga sesuai arahan. Lalu, menuruni tangga dan menemuk