"Mbak Risa, Mas Aksara yang nelepon." Ulfa yang tidak sabar meraih ponsel milik kakaknya dan mengulurkan pada Marisa. "Angkat gih, Mbak bisa minta tolong nganterin daripada naik taksi."Nganterin? Marisa sungkan sebenarnya. "Halo, assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Aku sedang ada di jalan ini. Mau nggak kuajak ke Surabaya Great Expo?""Maaf, hari ini aku mau kondangan ke mantanku, Mas.""Oh ya? Di mana?""Di hotel Mataram.""Kamu sudah berangkat?""Belum. Ini baru mau pesan taksi.""Nggak usah pesan taksi. Aku bisa mengantarmu. Sebentar lagi aku udah nyampe rumahmu.""Apa aku nggak ngrepotin? Mas Aksara kan mau pergi ke expo?""Kita bisa pergi sepulangnya kamu dari kondangan. Tunggu saja di rumah, tak lama lagi aku sampai.""Oh, iya," jawab Marisa kemudian meletakkan ponselnya karena tanpa salam Aksara telah memutuskan panggilan."Gimana?" tanya Ulfa."Sebenarnya dia mau ngajak aku ke expo. Tapi aku bilang mau kondangan. Dia mau nganterin."Ulfa langsung berbinar bahagia. Gadis itu
Meski terkejut, Marisa berusaha tetap tenang mengendalikan perasaan. Kemudian Mbak Siti masuk ke dalam. Sosok gadis bernama Hafsah menjelma dalam benaknya. Dari pakaian yang dikenakannya, sudah bisa ditebak dia perempuan seperti apa. Cantik, terpelajar, dan salehah tentunya.Marisa memainkan jemarinya. Bertaut satu sama lain, menunjukkan keresahannya. Dia tidak boleh kecewa, bukankah antara dirinya dan Aksara tidak memiliki hubungan apa-apa. Ditariknya napas dalam-dalam. "Sudah lama datang?" Pertanyaan seorang wanita yang memakai jilbab lebar itu mengejutkan Marisa. Bu Arum muncul dari pintu yang menghubungkan dengan ruang dalam. Wanita itu tersenyum ramah dan menyambut uluran tangan Marisa yang kemudian mencium punggung tangannya."Saya belum lama sampai, Bu," jawab Marisa sopan. Lantas kembali duduk setelah Bu Arum juga duduk. Dia merasa canggung saat mamanya Aksara memperhatikannya."Maaf, nunggu lama ya. Aku salat zhuhur tadi." Aksara muncul dan meminta maaf."Ya, nggak apa-apa,
Apa Aksara ini seperti Daniel si bosnya? Udah punya pasangan masih juga butuh gebetan lain. Tapi kenapa harus Marisa lagi. Apa tampangnya ini seperti wanita penggoda, gampangan, dan murahan? Perasaan Marisa teriris pedih."Besok aku jemput kamu pulang kantor. Kamu pulang jam empat, kan?" Aksara membuka suara setelah beberapa saat saling diam. "Nggak usah, Mas. Nanti ngrepotin aja. Tempat kerja Mas kan di Gresik.""Nggak apa-apa. Tapi ya memang kamu harus nunggu sampai aku tiba di kantormu."Marisa menggeleng. "Nggak usah, makasih." Tidak perlu bertanya soal tunangan, lebih baik dirinya yang tahu diri dan membatasi interaksi dengan Aksara. Jika ditanya belum tentu mengaku, parahnya lagi dikira nanti dirinya yang ke GR-an dengan pertemanan mereka. Karena pernah lelah dan terluka membuat Marisa harus menjaga diri.Mobil berhenti di depan gang rumah Marisa. Jarak rumah mereka sebenarnya tidak jauh, hanya saja mesti jalan memutar, mengikuti rambu-rambu jalan. Ketika mobil hendak berbelok
Marisa kaget saat melihat pria tegap berdiri menunggunya. Hendak berbalik juga tidak mungkin, karena hanya jalan depan sana yang dilalui angkutan umum dan melewati tempat kerjanya. Gadis itu melangkah dengan pelan, sedangkan Aksara berdiri menunggunya dengan kedua tangan masuk dalam saku celana.Makin dekat dada Marisa kian berdebar-debar. Kenapa Aksara mencarinya? Apa dia seperti Daniel yang nekat walaupun sudah punya pasangan?Senyum Aksara makin manis, saat gadis itu kian mendekat. Marisa meredam debaran dalam dada dan membalas senyum Aksara. "Mas Aksara, kok ada di sini?" tegur Marisa."Aku ingin bertemu kamu. Katanya aku nggak boleh datang ke rumah. Ayo, kuantar ke kantor sebelum banyak orang melihat kita." Aksara membuka pintu mobil untuk Marisa.Tak ada pilihan lain selain mengikuti ajakan Asara. Daripada nanti tetangga gangnya keburu melihat."Kamu sudah sarapan?" tanya Aksara pada Marisa yang masih diam."Sudah.""Sebenarnya aku mau ngajakin kamu sarapan.""Enggak usah, Mas.
Mereka kembali saling pandang dan Marisa yang lebih dulu mengalihkan perhatian. Memang Daniel tidak minta imbalan secara langsung, tapi sebenarnya dia dirayu secara halus. Jika telah banyak yang ia terima, maka dengan sukarela Marisa akan takluk padanya.Hening memanjang. Daniel sengaja diam dan membiarkan Marisa kebingungan dan serba salah. Setelah melihat jam dinding, gadis itu mengambil ponselnya. "Saya permisi dulu, Pak," pamit Marisa. Dirinya harus keluar sebelum staf lainnya masuk ruangan.Daniel tidak menjawab, tapi membiarkan Marisa keluar tanpa membawa oleh-oleh yang diberikannya. Bukan Daniel kalau menyerah. Terlebih terhadap gadis jual mahal seperti Marisa. Dia makin tertantang untuk menaklukkannya.Meski suhu ruangan lumayan dingin, tapi Marisa berpeluh. Apalagi saat keluar ruangan bos, beberapa staf yang sudah berada di meja kerja masing-masing menatapnya dengan heran. "Pak Daniel, sudah pulang?" tanya Ari lirih seperti biasanya.Marisa mengangguk."Urusanmu tentang ua
Untuk beberapa saat Marisa diam tercekat sambil memandang laki-laki yang duduk tepat di depannya. Tak percaya dengan jawaban Aksara."Jangan bercanda, Mas.""Loh, siapa yang bercanda? Aku ngomong serius."Keduanya saling pandang dan Marisa yang mengalihkan perhatian terlebih dahulu. Mungkin wajahnya sekarang sudah semerah tomat. Atau bisa jadi malah terlihat pucat. Bibirnya terkunci tidak tahu mau ngomong apa. "Nanti kuantarkan kamu sampai di rumah. Aku akan bilang pada ibumu, bahwa aku ingin menjadikanmu istriku."Belum reda rasa kagetnya. Marisa kian membeku dengan ucapan Aksara baru saja. Bahkan jemarinya terasa dingin dan matanya mulai berkabut. Dalam dada bagai ribuan genderang berbunyi bertalu-talu. Riuh dengan berbagai rasa. Bahagia, takjub, dan tidak percaya.Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Kemudian memberanikan diri menatap mata Aksara. "Mas, tahu siapa saya 'kan? Keluarga saya, tanggungjawab saya.""Ya, aku tahu. Aku juga bukan orang kaya, Risa. Tapi dengan gajiku, kur
"Tehnya, Mas!" ucap Marisa lantas duduk di samping sang ibu.Sebenarnya ini bukan kali pertama Aksara datang ke rumah Marisa. Dulu sudah pernah dua kali sebelum gadis itu melarangnya karena takut menjadi pergunjingan tetangga."Silakan diminum, Nak Aksa. Maaf ya, nanti jangan lama-lama. Bukan maksud ibu mengusir, tapi kami hanya menjaga agar tidak ada pandangan negatif dari tetangga," kata Bu Rahmi dengan nada hati-hati. Aksara datang dengan sopan, walaupun Bu Rahmi jauh lebih tua tapi harus tetap mengimbanginya dengan sopan. "Ya, Bu. Saya paham." Aksara meraih gagang gelas dan menghabiskan setengah isinya. Meski perutnya sudah kenyang."Ibu, jangan cemas. Saya nggak ada niatan mempermainkan Marisa. Tadi saya sudah bicara, kalau hendak melamarnya." Kata-kata yang cukup lancar dan jelas itu membuat Bu Rahmi kaget. Marisa juga terdiam. Tak menyangka kalau Aksara akan bicara dengan ibunya malam itu juga. Bu Rahmi memandangi Marisa yang duduk di sebelahnya. Kemudian kembali beralih meman
Marisa memperkenalkan Hafsah pada ibunya. Gadis itu juga menyalami dua orang wanita setengah baya yang membantu Bu Rahmi pagi itu. Bu Rahmi menyambut ramah tamunya. Mereka berbincang tentang per-kue-an. Ternyata Hafsah ingin memesan beberapa puluh kotak kue untuk acara di sekolahnya nanti."Mau ada acara pertemuan wali murid, Bu. Jadi saya mau pesan kue. Acaranya masih minggu depan. Tapi kami mintanya di antar, karena nggak ada yang ngambil. Kira-kira bisa nggak?" tanya Hafsah dengan sopan."Bisa. Nanti kami antar," jawab Bu Rahmi yakin. Sebab beliau punya angkot langganan yang siap mengantarkan pesanan kapan saja.Marisa yang masih termangu akhirnya sadar kalau harus segera berangkat ke kantor. "Maaf, Mbak Hafsah. Saya berangkat kerja dulu ya. Maaf banget nggak bisa nemenin." Marisa tidak enak hati meninggalkan gadis itu. Tapi takut juga terlambat sampai di kantor."Ya, nggak apa-apa, Mbak. Tinggal saja," jawab Hafsah ramah."Hati-hati, Ris," pesan Bu Rahmi. Setelah punggung tanganny