Fatimah masih menunggu jawaban Jaka, ada rasa takut pada diri Fatimah. Jaka tidak akan mengizinkan istrinya untuk berzina dengan pria lain. Tetapi Jaka juga tidak ingin menceraikan Fatimah.
"Maaf, Pak. Bukannya itu sama saja zina?" tanya Jaka pada Santo. "Kalau begitu, Fatimah kamu gugat cerai saja suamimu yang tidak berguna ini!" perintah Santo."Apa? Tidak. Aku tidak akan melakukan itu, Pak!" tolak Fatimah.
"Benar Fatimah, gugat saja Jaka. Pria mandul seperti dia hanya akan menyusahkan kita," tambah Aminah.
"Fatimah, apa yang kamu harapkan lagi dari suami mandul? Cinta?" tanya Rani. "Apa dengan cinta saja kalian bisa bahagia? Hah aku rasa tidak," ucap Rani setengah mengejek. "Tidak, aku tidak akan menggugat Mas Jaka. Aku juga tidak akan melakukan zina," tolak Fatimah lalu berdiri dan berlari menuju kamarnya. Dia menutup pintunya dengan kasar karena kesal pada keluarganya. Jaka menyusul Fatimah, dia akan menenangkan Fatimah. Jaka juga tidak akan rela jika Fatimah berzina. Entah mengapa keluarga Fatimah terlalu egois tanpa mempedulikan perasaan Jaka dan Fatimah. "Sayang, jangan menangis!" larang Jaka mendekati Fatimah yang duduk di tepi ranjang dan memeluknya. "Mereka keterlaluan, Mas. Demi ingin mendapatkan cucu dariku, mereka rela menyuruhku berzina," ucap Fatimah sedih. Jaka mengusap lembut pipi Fatimah, air mata telah membasahi pipi mulus Fatimah. "Kita pasti mendapatkan jalan lain, sayang," kata Jaka mencoba agar Fatimah lebih tenang. Di ruang tengah Santo masih tidak menyangka bahwa Fatimah sudah cinta mati dengan Jaka. "Jaka pakai dukun apa sih, kok bisa membuat anakku itu cinta mati sama dia," kata Santo. "Kalau dia tidak mau berzina, kita harus melakukan rencana baru, Pak. Kita jangan kalah sama Jaka, Fatimah itu keluarga kita. Lagi pula mereka tinggal di rumah ini, jadi harus tunduk pada peraturan rumah ini," kata Rani. "Sudahlah sayang, sepertinya susah memisahkan mereka," kata Hasan. "Tidak Hasan, kita harus buat Fatimah hamil. Bagaimana pun caranya itu," kata Santo. Hasan dan Rani pulang, karena belum mendapatkan solusi untuk masalah Fatimah. Rani merasa bahwa adiknya itu sudah gila, mau bertahan dengan pria yang jelas-jelas mandul. "Rani, jangan terlalu ikut campur dengan rumah tangga Fatimah. Biarkan bapak dan ibu melakukannya sendiri. Kamu jangan libatkan dirimu lagi," kata Hasan. "Mas, aku tidak bisa. Fatimah itu adikku," bantah Rani. "Aku tidak mau Fatimah menderita karena punya suami mandul." Rani terus saja membantah.Hasan hanya diam, dia tidak pernah bisa mengalahkan keinginan Rani. Bahkan dalam urusan rumah tangganya sendiri saja dia selalu kalah. Rani selalu saja tidak mau dikalahkan, bahkan dia tidak pernah menghiraukan pendapat dari suaminya. Bagi Rani pendapat dan keinginan dialah yang terbaik.** Fatimah tertidur dalam pelukan Jaka, kini dia terbangun karena haus. Fatimah mengambil air minum ke dapur. Saat melewati kamar orang tuanya dia mendengar pembicaraan mereka. "Fatimah terlalu bodoh, dia bertahan demi suami mandul. Jika seperti ini dia tidak akan hamil," kata Aminah kesal. "Tenang saja, aku akan membuat Fatimah hamil," kata Santo. Fatimah berjalan ke dapur dan mengambil minum. Dia duduk di meja makan, dia memikirkan antara memenuhi keinginan orang tuanya atau tidak. Tetapi berzina sangat tidak mungkin dia lakukan, apalagi menggugat Jaka hanya karena dia mandul. "Fatimah, kamu disini," kata Aminah. "Iya Bu, Fatimah haus tadi," kata Fatimah. Aminah duduk di dekat Fatimah, dia memegang tangan Fatimah. "Fatimah, maafkan kami. Karena kami telah ikut campur dalam rumah tangga kalian. Bagi kami keturunan itu penting, Fatimah. Makanya kami sangat ingin kamu hamil," kata Aminah. Entah mengapa Fatimah merasa bahwa Aminah bersikap lembut karena ada maunya. Semenjak permintaan mereka agar Fatimah berzina, Fatimah selalu berpikir jelek pada kedua orang tuanya. "Fatimah, aku ingin kamu bahagia. Lihat saja teman-teman kamu, mereka sudah punya buah hati dan hidupnya sangat sempurna," kata Aminah. "Jika kamu tidak mau menggugat Jaka, kami terima. Tapi kami harap kamu bisa segera hamil, entah bagaimana caranya," kata Aminah lagi. Setelah mengatakan itu, Aminah pergi meninggalkan Fatimah. Entah mengapa Fatimah tidak peduli dengan masalah buah hati. Bagi dia saat ini kebahagiaannya adalah bersama Jaka.Fatimah masuk ke dalam kamar, dia berbaring di samping Jaka. Dia memandangi wajah suaminya, hingga akhirnya terlelap.** Pagi ini Rani sudah heboh di rumah Aminah, dia membawa undangan dari saudara mereka. "Bu, ini loh Satria dan istrinya mengundang kita ke acara aqiqah anaknya yang baru lahir," kata Rani menunjukkan undangan pada Aminah. "Dia juga mengundang Fatimah dan Jaka, mereka berharap kita semua datang," tambah Rani. Fatimah yang sedang menyiapkan sarapan hanya diam saja. Dia tidak mau nimbrung dengan Rani dan Aminah.Jaka keluar dari kamar dan sudah siap untuk berangkat kerja. Rani mendekati Jaka, dia langsung menyodorkan undangan dari Satria pada Jaka. "Jangan lupa, ajak Fatimah datang." Rani sedikit sinis. Jaka menerima undangan tersebut dan membukanya, lalu duduk di meja makan. "Kita akan datang ke acara Satria, kamu siapkan kadonya saja ya. Ini undangannya," kata Jaka memperhatikan undangan dari Satria. Fatimah hanya tersenyum, mereka lalu makan bersama dengan Santo dan Aminah. "Fatimah beli kado yang bagus, jangan beli kado murahan untuk anak Satria," kata Aminah. "Iya, Bu." Fatimah lalu makan saja tanpa mau menjawab lebih banyak ucapan Aminah. Jaka pamit ke kantor, dia tidak ingin datang terlambat ke kantor. Sesampainya di kantor, Jaka bertemu dengan atasannya. Dia bernama Bu Yunita, dia seorang janda beranak satu. Bu Yunita selalu mengajak putranya ke kantor. Sebagai atasan Bu Yunita orang yang sangat baik kepada karyawannya termasuk Jaka. "Om Jaka!" panggil Jonathan pada Jaka. "Jo, kamu sudah datang anak pintar." Jaka memeluk Jonathan. Jaka biasa memanggil Jonathan dengan sebutan Jo. Jaka dan Jonathan sangat akrab sekali, bahkan orang yang tidak tahu dikiranya Jaka adalah ayah Jonathan. "Om, kapan kita main lagi?" tanya Jonathan pada Jaka. "Maaf Om Jaka tidak bisa untuk saat ini, pekerjaan Om sangat banyak," tolak Jaka. Ada rasa sedih dihati Jonathan, akhirnya Jonathan menghampiri Yunita. "Pak Jaka, maaf jika Jonathan merepotkan Bapak," kata Yunita. "Tidak, Bu. Justru saya senang. Namun, saat ini saya kan banyak pekerjaan," ucap Jaka. Jaka lalu masuk ke ruangannya dan segera kerja. Fatimah pergi membeli kado bersama Rani, mereka terlihat sangat menjaga jarak. "Fatimah belikan baju bagus itu," kata Rani. "Satria itu orang kaya kalau kita beli barang murah nanti nggak di pakai," kata Rani. Akhirnya Fatimah menurut saja pada Rani, setelah itu mereka mampir makan siang di sebuah cafe. Cafe itu dekat dengan kantor Jaka, saat Rani ke toilet dia melihat Jaka di cafe itu. Jaka duduk bersama seorang wanita. "Jaka...!" panggil Rani.Jaka terkejut melihat Rani, dia takut jika Fatimah juga melihat dia dan Yunita sedang makan bertiga dengan Jo.Jaka tidak menyangka akan bertemu Rani, Jaka segera mendekati Rani. "Ada apa, Jaka? Kamu takut jika Fatimah tahu?" tanya Rani ketika melihat raut ketakutan di wajah Jaka. "Aku tidak akan memberitahu Fatimah, tetapi ada syaratnya," kata Rani. "Kita bicarakan nanti di rumah," kata Rani lalu pergi. Rani kembali ke mejanya lalu memesan makanan bersama Fatimah. Mereka tidak lupa membungkus makanan untuk Aminah dan Santo.Sesampainya di rumah, Rani menemui Aminah di kamarnya. "Bu, aku tadi melihat Jaka dengan seorang wanita dan anak kecil," kata Rani. "Apa Fatimah juga melihatnya?" tanya Aminah penasaran. "Tidak, Bu. Aku akan gunakan hal ini sebagai senjata untuk mengancam Jaka. Supaya dia mengizinkan kita bisa mencari pria untuk menghamili Fatimah," kata Rani senang. Aminah yakin, jika Fatimah tah
Fatimah hanya membalas pelukan anak itu, entah mengapa memeluk Shaka membuat Fatimah ingin punya buah hati. Namun, segera dia tepis hal itu. Dia tidak mau menyakiti Jaka, cukup keluarganya yang sudah menekan Jaka.Fatimah bermain dengan Shaka, karena Shaka menariknya ke ruang tengah. Disana sudah ada banyak mainan dan seorang babysister. "Fatimah pasti senang dekat dengan Shaka. Aku kasihan dengan Fatimah," ucap Aminah. "Memang ada apa, Te?" tanya Angga penasaran. "Suami Fatimah mandul, padahal Fatimah ingin punya anak. Bahkan dia tidak mau menceraikan Fatimah. Aku heran mengapa Fatimah masih bertahan padahal hatinya sakit," jawab Aminah.Mendengar hal itu, Angga merasa prihatin dengan keadaan Fatimah. Biar bagaimanapun anak adalah penting dalam berumah tangga. "Apa Nak Angga masih suka dengan Fatimah?" tanya Aminah saat melihat Angga melamun.
Jaka merasa aneh, anak kecil itu memanggil Fatimah dengan sebutan Mama. Jaka menatap Fatimah, mencoba mencari jawaban dari Fatimah. "Maaf, Mas. Ini Shaka putranya Angga.Dia sudah pisah dari Mamanya, entah mengapa saat melihat saya dikira Mamanya," tutur Fatimah agar Jaka tidak salah faham. "Baiklah, aku mau ambil berkas," ucap Jaka lalu masuk ke dalam kamar. Setelah itu Jaka langsung pamit ke kantor. Jaka merasa aneh, ada Angga dan putranya disana. Padahal baru semalam mereka bertemu. Jaka takut, jika Angga berusaha merebut Fatimah. Terlebih lagi saat ini mereka dalam masalah. Sepanjang perjalanan ke kantor, Jaka memikirkan Fatimah dan Angga. Dia tidak fokus dengan jalanan. Hampir saja dia menabrak seseorang. "Ah! Kenapa aku jadi memikirkan mereka!" Jaka mengusap wajahnya. Dia berusaha berpikir positif pada Fatimah. Sesampainya di kantor,
Fatimah dan Ibunya segera ke rumah saudaranya untuk menjenguk bayi. Jaka tidak ikut karena ada pekerjaan kantor yang harus dia kerjakan.Sampai di rumah Satria, sudah banyak saudara yang datang. Beberapa anggota keluarga tampak menatap Fatimah. Tatapan mereka sangat menyudutkan Fatimah. "Eh Fatimah sama Aminah, kapan nih nyusul? Nikah duluan kok nggak hamil-hamil," ucap Anita ibu Satria. Anita merupakan adik dari Aminah. Anita menikah dan mempunyai dua anak Satria dan adiknya selly. "Iya nih, Fatimah kok nggak hamil-hamil. Padahal punya anak itu enak loh rumah jadi ramai, iya kan Mbak Rani?" tanya Selly pada Rani yang sudah duduk sambil menggendong bayi Satria. "Iya tuh,mana Fatimah bisa hamil. Suami Fatimah kan mandul," jawab Rani tanpa menutupi kekurangan adik iparnya. "Aku juga pengennya Fatimah menikah sama pria yang bisa punya anak. Tapi Fatimah malah cinta mati sama suaminya," sahut Aminah. "Sudah-sudah, kalian kok malah mojokin Fatimah,"
Fatimah mendekati Rosi, "Aku bukan selingkuh, jangan menuduh! Aku pergi atas izin Jaka," kata Fatimah. Rosi merasa Fatimah telah berubah, meskipun dulu dia sering menjelekkannya di depan Jaka, Fatimah tidak pernah membentaknya. Bahkan dia sangat sabar, tapi kali ini dia sudah berani membantah. "Dulu kamu pernah menuduhku mandul saat aku datang ke rumah Ibumu. Aku hanya diam, tapi sekarang aku tidak mau harga diriku dijak-ini," kata Fatimah. "Sudahlah, kita pergi saja!" ajak Angga menarik lengan Fatimah. Mereka pergi meninggalkan Rosi sendirian. Rosi mengambil ponselnya dan memotret Angga yang masih memegang tangan Fatimah. "Akan ku adukan kamu pada Mas Jaka," kata Rosi licik. Dia mengirimkan sebuah pesan pada Jaka. Sejak dulu Rosi tidak suka dengan Fatimah, bahkan dia sering menuduh Fatimah mandul. Nyatanya kini Jaka malahan yang mandul. Tetapi, Rosi tidak pernah percaya. ** Ada sebuah pesan masuk ke ponsel Jaka, dia baru saja selesai rapat. Di buka
Jaka merasa was-was, Fatimah merasa bersalah. Jika Jaka kehilangan pekerjaannya, maka dia tidak lagi dihargai di keluarga Fatimah. Selama ini saja dia di jadikan bulan-bulanan. "Mas, maafkan aku! Aku akan meminta maaf pada Bu Yunita!" ucap Fatimah. "Kita lihat saja nanti. Harusnya kalian tidak asal menuduh begitu saja. Memang aku sering makan siang dengan beliau tapi itu atas permintaan Jonathan putranya," kata Jaka. Anisa kembali masuk ke kamar, sementara Rani dan Aminah asyik menonton televisi. Sore ini Fatimah tidak memasak, Aminah menyuruh Jaka memasak. Jaka sudah terikat dengan perjanjian, sehingga dia harus masak sebisanya. Saat melihat Jaka memasak, Fatimah hanya diam saja. Entah mengapa tidak ada niatan untuk membantu. "Dek, nggak mau bantu aku memasak? Aku takut nggak enak," ucap Jaka. "Aku capek, mau istirahat. Sekali-kali kamu masak, Mas. Biar tahu kerjaan istri di rumah," jawab Fatimah lalu meninggalkan Jaka. Jawaban Fatimah
Merasa terganggu, Fatimah segera bangun. Dia berjalan menuju dapur. Fatimah melihat Rani panik mengobati kaki Aminah. "Ibu kenapa?" tanya Fatimah heran. "Ibu ketumpahan minta panas! Sini kamu bantu aku!" perintah Rani. Fatimah membantu Rani mengangkat Aminah ke sofa. Kaki Aminah terlihat memerah hingga paha. "Kok bisa sampai begini sih?" tanya Fatimah. "Kamu sih suruh kita masak, kan jadi begini. Ibu terpeleset saat membawa minyak panas dan terkena kakinya," jawab Rani menyalahkan Fatimah. "Kenapa nggak di biarkan aja di atas kompor biar dingin dulu?" tanya Fatimah. "Sudah kipasin! Jangan banyak bicara. Semua karena kamu! Kamu jahat sekali menyuruh Ibu sama Rani memasak!" bentak Aminah. "Ibu saja yang kurang hati-hati," omel Fatimah. Aminah menjitak kepala Fatimah. Dia sangat marah, Santo terkejut saat melihat kaki hingga paha sang istri melepuh. "Ini kenapa?" tanya Santo. "Gara-gara Fatimah," jawab Rani
Rani tidak merasa bersalah bahkan ia malah cengengesan. Sugito duduk, dia meminta Rani dan Hasan juga duduk. "Ran, Ahmad bercerita, katanya kamu jarang masak. Bersih-bersih rumah juga paling nyapu ngepel. Sudah gitu Ahmad bilang kamu mengabaikan dia. Dia jarang makan siang, pulang sekolah pun selalu bareng temannya," kata Sugito. "Kamu kan nggak kerja? Lalu apa yang kamu urus selama ini? Sekali-kali beli makanan di luar boleh, asal jangan keseringan. Kalau pagi Ahmad dan Hasan juga jarang sarapan," lanjut Sugito. "Omongan Ahmad jangan di dengar, Pak. Dia tidak tahu kalau saya di rumah sibuk. Dia kan sekolah mana tahu kalau Mamanya sibuk," bantah Rani. "Bukan Ahmad saja yang bilang. Tetangga kamu juga tadi cerita sama saya. Kamu sibuk apa? Cucian ya kamu Laundry?" tanya Sugito. "Itu, Pak. Bantu-bantu di rumah Ibu. Ibu kam sudah tua jadi saya kesana bantu beberes rumah," jawab Rani bohong. "Di rumah Ibu kan ada Fatimah. Dia lebih rajin dari pada kamu. Ka