Tara terbelalak saat lampu tiba-tiba saja menyala. Juan berdiri dengan gagah sembari menyelipkan kedua tangannya di saku celana. Tatapan lelaki itu begitu dingin saat melihat istrinya. "Dari mana aja kamu?" "Bukan urusan kamu." Tara menjawab pertanyaan itu dengan ketus. Dia masih sakit hati karena dipecat dari kantor. Padahal wanita itu masih berharap bisa berada di sana untuk jangka waktu yang lama. "Kenapa pesan aku gak dibalas?" "Aku lagi ngobrol sama Mama." Juan berjalan mendekati istrinya hingga kini posisi mereka berhadap-hadapan dalam jarak yang dekat. "Kenapa gak bilang aja yang sebenarnya?" Tara mengangkat wajah dan menatap suaminya dengan lekat. Hal itu membuat jantung Juan berdebar. Sejak dulu, hal itulah yang selalu dia rasakan setiap kali pandangan mereka bertautan, sekalipun tak sengaja. "Sampai kapanpun aku gak akan bilang ke mereka tentang hubungan kita." Tara hendak berjalan menuju kamar ketika lengannya dicekal lembut. Juan bahkan tanpa sungkan memeluk wan
Tara meninggalkan salon dengan perasaan berkecamuk di dada. Dia membatalkan perawatan di salon dan memilih untuk pulang. Perlakuan Amanda tadi membuatnya malu bukan kepalang. Wanita itu hendak mengadu kepada Juan, tetapi niatnya urung. Motornya melaju membelah jalanan ibu kota yang cuacanya mendung hari ini. Rintik hujan mulai turun walaupun tidak deras. Tara memelankan laju motor dan mencari tempat berteduh. Jika dilanjutkan, maka sepertinya dia akan kebasahan. Salahnya sendiri tadi tidak membawa mobil yang Juan berikan. Wanita itu terlalu gengsi untuk memakai semua fasilitas yang suaminya berikan. Sepanjang perjalanan, matanya menangkap sebuah kafe baru di arah seberang. Tara hendak berbelok dan menyalakan lampu sein dengan cepat. Sayangnya, wanita itu hanya fokus pada kendaraan yang lewat di depannya dan mengabaikan yang berada di belakang. Saat Tara begitu yakin bahwa lalu lintas sudah sepi, wanita itu langsung berbelok. Naas, sebuah mobil menyenggol motor hingga wanita itu t
"Hai, Ra. Long time no see."Tara terkejut saat lelaki itu berbalik dan menyapa. Wanita itu mengernyitkan dahi dan mencoba mengingat apakah mereka pernah bertemu sebelumnya. Lalu, wajahnya memucat saat menyadari siapa sosok di depannya sekarang."Kamu lupa ya?" tanya lelaki itu. "Kamu--""Si gentong yang pernah ditolak mentah-mentah waktu upacara bendera." Tara tercengang lalu membuang pandangan. Wanita itu menggosok kedua telapak tangan untuk menghilangkan gugup. Kini posisinya menjadi serba salah. Ingin meninggalkan ruangan itu tetapi tak bisa. "Pak Juan," sapa Tara canggung."Gak usah formal. Panggil Juan aja. Gentong juga boleh."Juan menyeringai saat menatap sosok di didepannya. Tara masih sama seperti dulu, cantik dan anggun. Gadis itu terlahir ningrat sehingga auranya berbeda. Sekalipun saat ini kondisi ekonominya sedang sulit."Itu kurang sopan. Bapak atasan saya," ucap Tara gelisah.Juan mengulum senyum, lalu berjalan santai menuju sofa. Lelaki itu sengaja membiarkan Tara
"Terima, terima, terima!"Tara menatap sekeliling, kepada ratusan siswa yang sedang bertepuk tangan dan bersorak riuh. Gadis itu gelagapan dan tak tahu harus berbuat apa. Di hadapannya kini sedang bersimpuh seorang anak lelaki yang sedang mengulurkan sebuket mawar. Harusnya mereka sudah bubar sejak tadi karena upacara hari ini telah selesai. Sayangnya, ada interupsi dari ketua OSIS mereka agar semua orang tetap di tempat, kecuali para guru."Kalau lo terima gue, lo ambil mawarnya. Tapi kalau lo nolak, buang aja," ucap anak lelaki itu yakin.Tara kembali menoleh ke belakang. Di antara ratusan murid yang bersorak agar dia menerimanya, ada satu sosok yang memilih diam sembari melipat tangan di dada. Dia adalah Rama, ketua tim basket yang sedang dekat dengannya."Juan, gue--""Lo tau kan perasaan gue dari dulu gimana," lirih Juan. Kakinya sudah sakit sejak tadi karena menahan bobot tubuh yang berat dengan bertumpu pada satu kaki."Tapi jangan gini juga."Tara menjadi serba salah. Jika di
Juan menatap dua orang yang duduk di depannya dengan tajam. Sejak tadi lelaki itu sudah mamaparkan bukti-bukti yang ada sehingga mereka tak bisa berkutik."Tolong kalian jelaskan ini semua.""Maaf, Pak. Ini memang kesalahan kami. Tapi kami hanya menerima perintah," sesal kepala divisi keuangan. "Tapi kalian ikut menikmatinya, kan?" sindir Juan pedas.Dua orang itu tertunduk lesu. Pasrah jika memang harus dipecat karena kesalahan itu. "Saya hanya ingin tahu. Selain Andreas dan kalian berdua, siapa lagi yang menikmati aliran dana ini?"Sebenarnya sudah sejak beberapa bulan yang lalu, Juan melakukan penyelidikan sebelum memegang cabang ini secara resmi. Lelaki itu mengutus tim audit dari luar untuk memantau perkembangannya. Ada banyak hal yang janggal terutama mengenai laporan keuangan. Ada beberapa kebijakan baku dari perusahaan mengenai proses pembayaran. Misalnya tentang gaji, tunjangan jabatan, bonus dan biaya kesehatan karyawan. Namun, untuk program kerja seperti event, rekruitme
Tara melempar gelas untuk melampiaskan kekesalannya. Gadis itu bahkan tak peduli jika pecahannya bisa membahayakan. Ucapan dan sikap Juan tadi benar-benar keterlaluan. Tara mengambil sebotol air mineral, lalu duduk di kursi dengan napas naik turun. Emosinya belum mereda. Gadis itu bahkan masih teringat akan perbincangan mereka tadi."Jadi pacar aku, Ra. Dan kamu bakal dapat pengecualian .""Kalau saya gak mau?""Siap-siap angkat kaki dari sini," ancam Juan. "Siapa takut!""Ternyata buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Bapak dan anak sama-sama suka ngembat uang haram!"Mendengar hinaan itu, Tara hendak menampar Juan. Sayangnya sebelum itu terjadi, lengannya dicekal erat oleh lelaki itu.Entah bagaimana tiba-tiba saja tubuhnya sudah berada di dalam rengkuan Juan. Tara berusaha melepaskan diri. Namun, cengkeraman lelaki itu begitu kuat."Jaga mulut kamu, ya!" ucap Tara tak terima. Kini dia sudah tak sudi memanggil Juan dengan sebutan 'bapak' lagi. "Aku bicara fakta, Ra.""Papa aku lagi
Satu jam setelah Tara mengirimkan foto papanya dirawat, suasana di kantor menjadi heboh. Sebagian karyawan berinisiatif mengumpulkan dana seikhlasnya untuk membantu gadis itu. Sementara itu, Juan mengamuk karena teleponnya sejak tadi tak dijawab oleh sang sekretaris. Dia bergegas keluar dan menjadi geram saat mendapati gadis itu tidak ada di ruangannya."Tara mana?" tanya Juan saat berkunjung ke bagian administrasi."Tadi info dari HRD, Mbak Tara izin ke rumah sakit.""Ada apa?""Papanya kena serangan jantung. Sekarang lagi koma, Pak. Pulang nanti kami mau ke sana buat besuk. Sekalian mau antar uang bantuan.""Apa saya sudah memerintahkan untuk mengumpulkan dana? Saya aja baru tau kalau papanya sakit," protes Juan."Ini ini cuma inisatitif dari kami, Pak. Kasihan Mbak Tara kan hidupnya susah," jelas yang lain. "Papanya Tara dirawat di rumah sakit mana?"Staf administrasi itu menyebutkan salah satu nama rumah sakit yang letaknya agak jauh dari kantor mereka. Setelah mendapatkan penj
Tara tertegun menatap lembar tagihan sementara yang diberikan oleh pihak rumah sakit. Mereka diminta untuk membayar sebagian dari total yang ada. Gadis itu sudah meminta waktu tenggang sembari memikirkan jalan untuk mencari biayanya. Entah bagaimana, yang pasti dia yakin pasti bisa mendapatkannya."Persiapan untuk meeting besok udah selesai?" Tara tersentak saat melihat Juan yang tiba-tiba saja sudah berada di ruangannya. Dia tak sadar jika lelaki itu masuk karena begitu pusing memikirkan biaya rumah sakit. "Sedikit lagi, Pak," ucapnya berbohong."Coba saya lihat yang ada dulu. Nanti sisanya kamu lanjutin lagi," pinta Juan."Itu ... saya belum, Pak.""Jadi kamu dari tadi ngapain? Ngelamun?" Juan melipat tangan di depan dada dengan tatapan marah. "Saya bikin sekarang juga, Pak," ucap Tara menyanggupi. "Sepuluh menit dan semua harus kelar. Saya gak mau tau. Saya juga harus pelajari materinya sebelum mulai presentasi besok," ucap Juan seraya meninggalkan ruangan.Tara menghela napas