Tersadar telah mendapatkan serangan tiba-tiba, Pria itu mendesis marah. Tangan kirinya terangkat memegang bekas tamparan yang terasa panas itu, kemudian menatap dengan mata mendelik ke arah Reanna. "Shit! Apa-apaan kamu ini, hah?!"Sedangkan gadis itu hanya memandang pria di depannya. Tangan kanannya terkepal, dengan tatapannya yang terlihat kecewa."Bahkan kamu sekarang pura-pura tidak mengenaliku!" satu tetes air mata kembali membasahi pipi tirusnya. Ia langsung menghapusnya kasar."Hey, Nona ... apa maksudnya ini?! Aku benar-benar tidak mengenalmu!" pria itu membentaknya keras."Jangan berpura-pura, kamu sudah berjanji akan menikahiku, tapi ... kenapa kamu malah menghamilinya?! Apa salahku, Kalandra?!" Reanna terisak. Ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya, menyembunyikan tangisan yang kembali meledak. Ia menangis tersedu-sedu sehingga membuat banyak orang mengalihkan pandangannya pada Reanna dan si pria. Mereka menjadi pusat perhatian sekarang. Mereka terlihat seper
"Ngghhhh ...." gadis itu melenguh dengan kesal saat cahaya mentari yang masuk melalui celah gorden menyentuh dengan lembut kelopak matanya. Ia menyipitkan mata dengan dahi berkerut, lantas membalikkan tubuhnya; mencari posisi yang nyaman untuk mencoba kembali terlelap, tetapi sesuatu mengejutkannya."Tisha? Kenapa kamu ada di sini?" Reanna memandang sahabatnya—yang masih terbuai di alam mimpi—dengan pandangan bertanya, dan tentu saja tidak ada jawaban dari sosok itu.Reanna bangkit dari posisi tidurnya secara perlahan saat ia merasakan kepalanya terasa berdenyut dan berputar. Dengan gerak refleks tangannya terangkat untuk memijit sumber rasa sakit tersebut. Matanya menelusuri kamar bernuansa shaby itu. Ah, ia baru menyadari jika ia tidak berada di kamarnya, melainkan kamar Tisha."Apa yang terjadi? Kenapa kepalaku pusing sekali?" tanyanya sekali lagi. Kali ini dengan guncangan lembut pada tubuh Tisha yang masih terlelap."Mmhhhh ... sepuluh menit lagi, Bu~" sedangkan Tisha hanya melen
Rumah sakit itu sangat luas, didominasi warna putih pada setiap sudutnya. Reanna melangkahkan kakinya dengan perlahan menuju IGD yang berada di muka rumah sakit itu dengan kedua tangan yang masih meremas pelan perutnya, berharap sakit itu bisa sedikit mereda.Setelah sedikit mengantre, akhirnya ia bertemu dengan seorang dokter yang berjaga di sana. Ia melakukan pemeriksaan awal; seperti mengukur berat badan serta tensi darah, dan pemeriksaan lainnya. Dan atas keluhan yang ia sebutkan, pada akhirnya ia direkomendasikan untuk menemui seorang dokter kandungan yang bertugas di rumah sakit tersebut—yang kebetulan sedang praktik hari ini.Reanna mendesah sebal saat ia berjalan menuju poli kandungan. Apalagi saat ia melihat betapa panjangnya antrean untuk menemui dokter itu, membuat gadis itu menggerutu dalam hati.Kenapa dokter tadi tidak langsung saja memberinya obat dan menyuruhnya pulang saja? Kenapa ia harus menemui dokter kandungan juga?Reanna mendesah lelah, kemudian mendudukkan diri
Rumah itu terlihat megah. Namun, auranya terasa begitu sunyi. Reanna menatap rumah besar bercat tembok putih yang memiliki pilar-pilar besar itu tanpa berkedip dari posisinya berdiri saat ini, berdecak kagum pada bangunan bergaya romawi klasik tersebut. Ia baru saja sampai di kediaman dr. Adams beberapa saat lalu."Ayo kita masuk."Suara yang berasal dari sampingnya membuyarkan lamunan Reanna. Ia menutup pintu mobil hitam itu, lantas mengekori langkah panjang pria pirang yang lebih dahulu berjalan di depannya.Dokter tampan itu membuka pintu rumahnya, kemudian menatap Reanna, mempersilahkan gadis itu memasuki rumahnya terlebih dahulu. "Masuklah."Dan ... ruang tamu bernuansa putihlah yang pertama kali menyambut pandangan Reanna. Terdapat beberapa sofa yang terlihat begitu empuk yang mengitari sebuah meja kaca berbentuk oval di sana, sedangkan pada setiap dindingnya tergantung berbagai macam lukisan artistik, juga terdapat sebuah potret seorang wanita berparas jelita yang mencuri perha
"Ini tasnya. Handphonenya masih ada di dalam. Kamu boleh mengeceknya terlebih dahulu." Tangan besar itu menyodorkan tas milik Reanna pada pemiliknya.Dan dengan sigap Reanna menerimanya. "Tidak perlu. Sekali lagi terima kasih, Pak dokter. Berkat Anda, saya bisa kembali menemukan tas saya beserta isinya."Gadis manis itu menghela napas lega. Handphone di dalam tas itu sangat berharga baginya, karena hanya handphone itulah yang bisa menghubungkan dirinya dengan keluarganya yang tinggal di kota kecil yang jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggalnya sekarang.Ia anak rantau. Ia datang ke kota besar ini beberapa tahun yang lalu untuk meneruskan pendidikannya berkuliah di universitas terbaik di kota ini. Dan beberapa bulan lalu ia baru saja lulus dari dunia perkuliahan.Ia sudah menyebar beberapa Curriculum Vitae ke berbagai perusahaan di kota ini. Namun, sampai detik ini tidak ada satu pun panggilan kerja untuknya.Yah, mencari pekerjaan memang begitu sulit di jaman sekarang, hingga ia ak
Mobil hitam itu melaju dengan pelan, perlahan-lahan menepi kemudian berhenti tepat di depan sebuah toko bunga, Carnation florist. Sesaat kemudian keluarlah seorang pria dengan menggendong putrinya dari dalam mobil tersebut. Langkah panjangnya tergesa memasuki pintu kaca toko, membuat lonceng yang terpasang di atas daun pintu itu berbunyi. Sepertinya ia sedang terburu-buru.Tisha yang berjaga di meja kasir segera menyambut calon pelanggannya dengan senyuman cerah andalannya."Selamat datang di Carnation florist. Ada yang bisa kami bantu, Tuan?" sapa gadis itu, ramah.Ketika mata biru itu menatap tepat pada kedua iris mata Tisha, gadis itu terdiam. Ia seperti pernah melihat pria itu sebelumnya."Saya ingin memesan sebuah karangan bunga," ucap pria itu, menyentak Tisha dari lamunan."Ah, iya. Baiklah." Tisha berucap dengan sedikit kikuk, tangan kanannya mengangsurkan sebuah buku kecil beserta pulpennya pada pria di depannya. "Silakan tulis nama pengirim, nama penerima, alamat tujuan, ser
Suara getaran handphone di sisinya mengalihkan perhatian Reanna. Gadis itu segera meraihnya, menatap layar lcd yang menyala. Ada satu pesan masuk di dalamnya, Reanna tak membuang waktu untuk langsung membukanya.'Saya akan sampai sepuluh menit lagi.' Begitulah isinya.Ia sudah menduganya, tentu saja dr. Adams yang mengirim pesan. Seperti kata pria itu tadi pagi, dokter itu selalu menghubunginya satu jam sekali hanya untuk menanyakan keadaan putrinya."Kamu masih lama, Re?" pertanyaan Tisha membuat gadis itu mengalihkan perhatiannya dari ponsel pintarnya."Papanya akan sampai sebentar lagi," jawab Reanna. Tangan kirinya yang bebas kembali mengelus pelan rambut lembut Kia yang tertidur berbantalkan pahanya."Sepertinya dia kelelahan." Tisha turut mengamati wajah tertidur itu. Kia terlihat seperti seorang putri kerajaan yang cantik jelita di matanya. Lihat saja, bahkan ia masih terlihat begitu cantik ketika terlelap."Sepertinya begitu. Dia banyak bermain tadi." Reanna membenarkan ucapan
Suara dentingan lonceng menyita atensi ketika pintu kaca itu terbuka, disusul dengan masuknya sosok jangkung yang menggendong gadis kecil berkuncir dua—yang terlihat menangis terisak—pada lengan kirinya.Tisha yang berjaga di meja kasir sudah terlihat sibuk pagi ini. Kepalanya menunduk dengan kedua tangannya sibuk meneliti sebuah catatan kecil di mejanya. Saat ia merasa seseorang memasuki tokonya, ia menyapa tanpa melihatnya."Selamat datang di Carnation florist, ada yang bisa kami bant–" ketika gadis itu mengangkat wajah, ia tidak jadi melanjutkan ucapannya setelah menyadari siapa orang yang berdiri di hadapannya. "Ah, Pak dokter datang lagi.""Reanna sudah datang?" tanya pria itu, langsung pada tujuannya. Tangan kanannya sibuk mengelus punggung Kia yang sesenggukan karena menangis."Itu dia." Jari telunjuk lentik itu menunjuk salah satu sudut tempat itu, pada sosok Reanna yang sedang merangkai bunga imitasi di pojok ruangan.Setelah pandangan mata biru itu menemukan sosok yang ia car