Semesta Rain
Aku bergegas lari ke koridor kampus saat mendung tiba-tiba menghitam. Padahal sepuluh menit lalu, langit masih tampak cerah saat aku keluar dari rumah. Sial, kalau saja tahu hujan akan turun, aku lebih baik tidak ikut kelas siang. Biar saja dosen galak dan kejam itu membubuhkan nilai c untuk mata kuliah yang tidak aku ikuti. Toh, satu nilai c tidak akan berpengaruh pada IPK-ku yang selalu cumlaude atau dengan pujian.
Angin kencang dan aroma petrichor yang menusuk hidung membuat tubuhku gemetar. Setidaknya, sebelum rintik pertama jatuh membasahi bumi, aku harus segera sampai di kelas.
Sial, sial. Hari apa sih ini? Bisa-bisanya aku terjebak di kampus saat hari berhujan.
Aku benci hujan. Sangat membencinya sampai-sampai aku ingin menghapuskan hujan dari namaku sendiri. Ya, aku ingin sekali menghapus hujan dari namaku.
"Woo ... santai dong, Rain!" teriak Aruna - satu-satunya teman satu kelas yang aku kenal - saat kami hampir bertabrakan di tikungan koridor.
Sekarang tahu 'kan, kenapa aku ingin menghapus hujan dari namaku? Sebab aku Rain. Rain yang berati hujan yang paling aku benci di muka bumi ini.
"Gimana bisa santai. Mendung gelap bengat. Mana bisa gue jalan sok anggun kayak elo," ucapku sarkas. Aruna hanya memutar bola mata dan mengikutiku yang lebih dulu memasuki kelas.
"Tugas Pragmatik udah selesai belum?" tanya Aruna menanyakan tugas mata kuliah siang yang akan kami ikuti sebentar lagi sambil duduk di sampingku.
Sebagai jawaban aku mengeluarkan buku catatan dan menyerahkannya pada perempuan berambut panjang yang sudah ganti lagi warna catnya. Sebelumnya berwarna ashbrown dan sekarang berwarna red burgundy.
"Dosen killer itu tahu kalau lo nyalin tugas gue. Pinter-pinter aja mana yang perlu ditambah dan mana yang dikurangi. Awas aja kalau sampai lo samakan. Kita berdua bisa mampus."
Gluduk ... gluduk ... gluduk ... daaarrr ...
Suara guntur membelah langit setelah sebelumnya petir menyambar. Bagian pesta yang paling aku benci adalah saat musik terdengar keras dengan lampu blizt yang membuatku pusing seketika. Inilah pesta penyambutan hujan yang paling aku benci daripada sekadar jutaan atau bahkan miliaran rintik air yang jatuh ke bumi. Guntur dan petir membuat nyaliku mendadak ciut. Aku tidak sanggup melakukan apa pun selain menutup kedua telingaku dengan headset dan memutar musik yang lebih keras dibanding suara hujan.
"Oke, gue paham kok. Santai aja, Rain." Suara Aruna terdengar samar. Tentu saja. Sebab musik di telingaku lebih keras terdengar. Saat rinai hujan membasahi bumi, aku sudah benar-benar tidak mendengar apa pun lagi selain musik di telingaku dan suara-suara ribut dalam kepalaku.
Itulah yang selalu aku lakukan saat hujan sejak aku membencinya.
"Rain, astaga. Dipanggil Brenda tuh!" Suara melengking Aruna menyeruak gendang telingaku. Headset sebelah kiri sudah menggantung bebas di leherku.
"Gila lo ya!" makiku keras tanpa sadar tempat. Untung dosen belum masuk kelas, meski sudah ada beberapa mahasiswa yang memenuhi kelas. Suara hujan semakin membuatku tidak nyaman. Namun, Aruna mencegah tanganku yang berusaha menutup kembali telinga yang tidak tertutup headset.
"Buset, gue dikata gila. Eh, elo yang dari tadi gue panggil kagak nyaut-nyaut, malah ngatain gue gila. Noh, dipanggil Brenda. Katanya elo diminta Bu Asri buat ke perpus," kata Aruna tak kalah sarkas. Mungkin sikapnya yang begitu ceplas-ceplos asal bicara itulah yang membuat kami bisa cocok dan cukup melengkapi satu sama lain sebagai teman dekat - jika tidak boleh disebut sahabat.
"Ngapain Bu Asri cari gue?"
"Ya menurut lo? Apalagi kalau nggak ada kaitannya sama lomba atau apalah itu. Secara elo kan mahasiswa tercerdas seangkatan." Aruna mencibir.
Wajahku mendadak pias. Bisa kurasakan darah tiba-tiba berhenti mengalir ke area wajahku. Dan, reaksi itu disusul dengan tubuhku yang semakin gemetar.
"Harus sekarang banget ya?" Aku bertanya pada Brenda yang duduk dua bangku di depanku.
Perempuan bersweater warna hijau mint - yang katanya mengikuti tren fashion idol-nya itu, hanya mengangguk pelan. Kami memang tidak cukup dekat bahkan hanya untuk sekadar berbasa-basi. Semua orang juga tahu, jika Brenda menghindariku sebab dialah yang menginginkan peringkat teratas di jurusan satu angkatan kami.
"Kan, ngelamun aja sih lo. Udah buruan sana. Sebelum Pak Djarot masuk kelas. Makin susah lo minta izin."
"Iya, bawel!"
Meski begitu, aku tak juga beranjak dari tempat dudukku. Bagaimana caraku melewati koridor hingga sampai ke perpustakaan? Sementara di luar semakin deras dan menyakiti gendang telingaku. Apalagi, gedung perpustakaan terletak berbeda dengan jurusan tempat aku kuliah.
Sial! Lagi-lagi aku memaki dalam hati. Otakku terlalu buntu untuk berpikir jernih. Apa yang harus aku lakukan dalam situasi saat ini?
Ayolah, berpikirlah!
Aruna menatapku curiga saat aku tak juga bangkit dari kursi. Meski kami sudah lama berteman, Aruna tidak pernah tahu jika aku membenci hujan. Saking bencinya, aku bahkan tidak sanggup mendengarkan suara hujan.
"Lo kenapa sih, mendadak kayak ayam tetelo?" Pada akhirnya Aruna memutuskan untuk bertanya. "Lo lagi dapet?" tanya Aruna lagi. Kali ini dia merendahkan suaranya dan berbisik kepadaku.
"Nggak." Aku menjawab singkat. Kini, bukan lagi tubuhku yang gemetar. Keringat dingin juga sudah mulai merembes di bagian dalam tubuhku.
"Lo kenapa sih, mendadak aneh gini? Kesurupan lo?"
"Sembarangan. Gue ... ." Kalimatku terjeda. Aku tidak tahu harus menjelaskan apa pada Aruna. Sedangkan tatapan perempuan itu begitu khawatir dan berharap sesuatu keluar dari mulutku. Namun, tak ada yang keluar dari mulutku selalu au ... au ... yang gagu.
"Serius nih anak kesurupan deh kayaknya. Nugraha, coba sini lo usir jin yang ada di dalam tubuh Rain. Masa dia tiba-tiba jadi gagu gini?"
Aku tak sanggup mencegah Aruna untuk tidak membuat kehebohan. Gelak tawa tak bisa terhindarkan saat mendengar celotehan Aruna yang menyangka jika aku kerasukan. Ingin rasanya aku menjambak rambut panjang perempuan itu. Namun, aku juga tak sanggup mengendalikan tubuhku sendiri yang semakin gemetar hebat akibat mendengar suara hujan.
"Dia nggak kesurupan bego. Rain, lo sakit? Perlu kita antar ke klinik?"
Nugraha sepertinya lebih peka tentang keadaanku dibanding Aruna. Meski itu tidak sepenuhnya benar. Aku tidak bisa mengatakan pada meraka jika membenci suara hujan sampai membuat tubuhku gemetar ketakutan.
"Lo sakit, Rain?" ulang Aruna sambil menyentuh keningku. Refleks, aku menampel tangannya yang berusaha menyentuh keningku. "Tuh 'kan, Nug. Asli nih anak kesurupan. Mana berani dia nampel tangan gue begini? Udah, lo rukyah aja biar jin di tubuh dia keluar."
Komentar Aruna membuat gelak tawa kembali pecah. Meski begitu, perempuan yang kukenal sejak masih menjadi maba itu, tetap menatapku dengan pandangan khawatir.
"Sori, bisa tolong headset gue," kataku setelah berhasil menguasai tubuhku yang gemetar dan suaraku kembali normal.
"Lah, headset kan ngegantung di leher lo, Rain."
"Iya, gue tahu, bisa nggak lo tutup dulu telinga gue pakai headset, baru kita bicara." Suaraku masih lemah. Aruna menurut. Dia mengambil headset yang menggantung dan memasangnya di telinga kiriku.
Alunan musik membuat kondisiku berangsur pulih. Di secarik kertas aku menuliskan pesan pada Aruna dan Nugraha.
Sori, udah membuat kalian khawatir. Gue nggak apa-apa.
Oh, jadi lo punya doa pengusir setan sendiri di HP lo? Komentar Aruna balas menuliskan di secarik kertas. Namun, sebagai balasan, Nugraha menjitak kepala perempuan itu sampai mengaduh kesakitan.
Sedangkan aku, mulai berangsur-angsur pulih. Walaupun tetap tidak tahu bagaimana caranya menuju perpustakaan tanpa sedikit pun terkena air hujan.
Semesta Rain"Asli lo aneh banget hari ini. Kenapa sih?"Aruna bertanya penasaran saat aku memintanya menemani ke perpustakaan menemui Bu Asri. Tidak biasanya memang, aku memintanya hanya sekadar untuk mengantar ke perpustakaan. Bagi Aruna, aku adalah orang paling mandiri yang pernah dia kenal. Tak pernah sekalipun aku meminta bantuannya. Apalagi hanya sebatas menemui Bu Asri yang justru lebih sering kutemui daripada mengiyakan permintaannya untuk mengantar ke pusat perbelanjaan."Nggak, itu sih lo aja yang rese. Pake teriak panggil Nugraha segala. Gue kan yang jadi malu.""Bego, lo aja tiba-tiba jadi aneh gitu. Siapa coba yang nggak panik. Bocah gila!"Aku tak mengacuhkan pernyataan Aruna. Setidaknya hujan tak lagi sederas sebelumnya dan petir ataupun guntur tak lagi terdengar suaranya. Beruntung pula kuliah dibatalkan karena dosen yang seharusnya mengajar mata kuliah Pragmatik tidak bisa hadir karena ada kerabatnya meninggal dunia. Namun, e
Semesta AksaraTidak biasanya Bu Asri memanggilku, terkhusus memintaku untuk mewakili kampus untuk mengikuti lomba. Bukan berarti selama ini aku tidak berprestasi. Sebagai mahasiswa yang aktif berkegiatan di kampus ataupun di luar kampus, namaku cukup diperhatikan. Halaman koran sering kali mencetak namaku di kolom esai ataupun sastra. Hanya saja terkadang aku malas mengikuti kompetisi demi kepentingan almamater. Apa untungnya bagiku? Kampuslah yang akan lebih banyak disorot jika aku berhasil meraih juara.Itu pula mengapa pihak kampus juga tidak pernah memintaku untuk mengikuti jenis lomba apa pun. Bahkan ada peraturan tak tertulis yang menyatakan,"Jangan pernah libatkan Aksara dalam hal yang hanya akan membuatmu malu!". Mengikuti lomba salah satunya. Sebab, jika itu tidak sesuai keinginan, sudah tentu bakal memalukan kampus."Jadi Ibu meminta saya mengikuti lomba baca puisi?" tanyaku meyakinkan Bu Asri yang duduk di hadapanku. "Atas pertimbangan ap
Semesta AksaraPenjelasan Bu Asri tentang lomba yang akan kami ikuti sama sekali tak sanggup keterima dengan baik. Pikiranku penuh dengan sosok perempuan yang duduk di sampingku. Tetap tanpa ekspresi.Sebenarnya sudah lama aku memperhatikan gadis manis yang duduk di sampingku itu. Lebih tepatnya saat malam akrab jurusan dua tahun lalu.Sebagai ketua Himaprodi yang bertanggung jawab pada kegiatan, aku memperhatikan setiap maba yang mengikuti acara. Tidak ada seorang pun yang luput dari pantauanku. Bahkan aku benar-benar memastikan apakah ada maba yang kabur dari rumah demi mengikuti kegiatan dan memalsukan tanda tangan persetujuan orang tuanya.Atau yang paling parah, kabur di tengah-tengah acara demi bertemu pacar maupun gebetan. Dari semua kemungkinan yang bisa saja terjadi, kasus terakhir adalah hal yang paling rawan dan tak bisa kubiarkan begitu saja.Meski begitu, dari semua maba yang mengikuti kegiatan, hanya Rain yang bisa memikat
Semesta RainPerasaanku mendadak tidak enak saat mendengar suara yang tidak asing sedang berbicara dengan Bu Asri, ketika aku sampai di perpustakaan. Suaranya yang dalam dan berat akan mudah dikenali oleh siapa pun. Apalagi, suara itulah yang sering kali menggerakkan mahasiswa untuk turun ke jalan pada momen-momen tertentu. Sang orator yang lebih dikenal slengekan ketika berada di kampus dan manusia paling absurd satu jurusan, terlebih ketika turun hujan.Benar saja dugaanku. Laki-laki itu duduk di sana. Saling berhadapan dengan Bu Asri yang terlihat kesal. Aku melihat beliau memukulkan sebuah buku yang sedang dibaca dan dihindari oleh laki-laki itu.Aksara. Wakil presma sekaligus ketua himpunan mahasiswa program studi di jurusanku itu selalu membuat ulah saat berhadapan dengan siapa pun. Tak heran jika Bu Asri terlihat kesal kepadanya. Lihat saja sikap usilnya itu, ingin rasanya aku menendang tulang kering laki-laki itu agar berhenti menggoda Bu Asr
Semesta RainPria menyebalkan!Itulah kesan yang melekat setiap kali bertemu dengan Aksara. Bermula sejak dua tahun yang lalu saat malam akrab jurusan.Bukan tanpa sebab, kakak kelas yang berada tepat satu tingkat di atasku itu, bersikap sok senioritas yang membuatku ingin sekali menendang tulang keringnya.Saat itu, hampir menjelang pukul dua belas malam. Serangkaian kegiatan malam keakraban dan pementasan baru saja tuntas dan harus ditutup dengan ceramah panjang yang menunjukkan betapa sombongnya laki-laki itu.Dengan gayanya yang sok keren - kemeja flanel, celana jeans sobek di bagian lutut, serta rambut panjang yang dicepol berantakan - dia mengenalkan namanya di atas panggung mini yang disiapkan panitia. Panggung yang sama untuk pementasan sebelumnya.Baruna Aksara. Harusnya menjadi nama yang bagus jika yang menyandangnya bukan laki-laki itu. Laki-laki yang sejak pagi hanya bisa marah-marah sambil mengatur
Semesta Aksara "Aduh, siapa sih nendang kerikil nggak lihat kanan kiri?" Aku menggerutu saat sebuah kerikil mengenai kepalaku saat berusaha mencari keberadaan Rain. Aku melihat perempuan itu keluar dari pintu belakang kafe saat aku tidak sengaja akan menuju kamar mandi. Rasa penasaran dengan apa yang dia lakukan tidak bisa aku hindari dan mengikuti gadis itu yang tiba-tiba entah menghilang ke arah mana. Tidak, tidak. Aku tidak segabut itu hingga harus membuntuti Rain. Aku hanya ingin mengobrol dengannya. Lebih tepatnya aku ingin membicarakan dengan gadis itu tentang proyek dari Bu Asri yang meminta kami mengikuti lomba baca puisi. Aku tidak bisa menundanya lebih lama lagi jika tidak ingin berurusan dengan Rain. Atau ... Sebenarnya aku bimbang dengan perasaanku pada perempuan itu. Di satu sisi aku ingin mendekati gadis yang terkesan cuek dan menantang itu. Aku penasaran, apa yang membuatnya begitu dingin dan tidak tersentuh. Terlebi
Semesta AksaraRain sudah tak terlihat begitu pria paruh baya yang baru saja menghampiri kami, melangkah pergi. Perempuan itu melarikan diri dengan cepat dan bersembunyi entah di mana. Aku yakin dia tidak mungkin kembali ke dalam kafe. Sebab, aku pasti melihatnya jika dia berari ke arah kafe tempatnya bekerja. Perempuan itu masih bersembunyi di sekitar taman. Hanya saja dia terlalu pandai bersembunyi sampai aku tak bisa menemukan di mana dia menyemunyikan tubuhnya yang mungil itu. "Sial," umpatku saat tak juga menemukan Rain di mana pun. Sedangkan aku tidak lagi memiliki banyak waktu. Kesempatanku untuk membicarakan perihal lomba dengan Rain hanya sampai hari ini. Sebagai Ketua Hima sekaligus Wakil Presiden Mahasiswa, kegiatanku tidak cuma iseng mengikuti lomba saja. Masih banyak kegiatan lain yang harus aku selesaikan. Sialnya, si bocah tengil itu, justru sengaja ingin bermain-main denganku. "Rain, kita mesti bicara! Gue nggak ada waktu buat ladenin main petak umpet sama lo ya
Semesta RainAku baru saja meletakkan tas di atas meja saat ketukan di pintu mengalihkan perhatian. Tak lama, wajah Paman Bara muncul dari balik pintu. "Kau sudah makan? Paman membeli ayam kalau kau belum makan. Masih ada nasi di dapur," ucap pria awal empat puluhan tahun itu dengan ekspresi muka datar. Setidaknya aku bersyukur tidak mencium aroma alkohol dari tubuhnya. Itu berarti dia cukup waras hari ini dan tak mungkin bertindak brutal. Artinya, aku juga tidak perlu bersembunyi dari incaran amukannya setiap kali pria itu berada di bawah pengaruh alkohol. "Ya, Paman. Aku bakal makan sebentar lagi."Senyum samar membingkai wajah suram Paman Bara. Sudah biasa, sejak kematian bibi bertahun-tahun lalu, tak ada lagi senyum yang membingkai wajah pria itu. Kalaupun terpaksa tersenyum, tetap tak bisa mengubah raut muka suram Paman Bara. Ia hanya tersenyum sekadarnya. Setidaknya itu lebih baik ketimbang saat ia mabuk sepanjang malam dan menjadikan aku sebagai pelampiasan. Ya, pria itu