"Kamu tidak berubah, Aksa. Selalu menjelekkanku di depan wanita yang aku suka," sahut Mas Sean tersenyum tipis. Pria itu begitu tenang menghadapi amarah Mas Aksa."Sean, sudah aku peringatkan jangan dekati Aira. Sampai kapan pun aku tidak akan melepaskannya!" ujarnya dengan intonasi sedikit ditekan.Mas Sean tersenyum miring. "Kenapa kamu begitu takut, Aksa?""Diam, kamu tidak akan bisa memisahkanku dengan Aira.""Aku tidak akan memaksa Aira untuk memilihku dengan cara licik seperti yang pernah kamu lakukan, Aksa. Aku ingin Aira mencintaiku dengan tulus tidak perlu dipaksa.""Hahaha, Aira hanya mencintaiku. Sean kamu harus sadar wanita yang kamu suka lebih memilihku," ucapnya ponggah.Mas Sean melangkah mendekati Mas Aksa hingga jarak mereka hanya sejengkal. Pria itu membisikkan sesuatu ke Mas Aksa, detik berikutnya tubuh suamiku membeku dengan wajah pias."Tidak, kamu jangan mengatakan apa pun. Dasar licik! Kalau sampai itu terjadi aku akan membuat kamu menyesal, Sean," ancam Mas Aks
"Aku tidak mau, mas tidak bisa memaksaku," tolakku keras."Kalau kamu tidak mau di rumah ibu biar mas yang ikut tinggal bersama kamu, Sayang. Mas tidak mau jauh dari kamu," rayunya."Kamu memang keras kepala, aku tidak mau kembali sama kamu, Mas. Tolong jangan siksa aku seperti ini," mohonku dengan menangkupkan kedua tangan di dada. Aku sudah lelah menghadapi sikap Mas Aksa yang begitu egois."Yang keras kepala itu kamu, Ai! Aku hanya ingin mempertahankan pernikahan kita," ujarnya. Mas Aksa merangsek mendekat kearahku lalu mencekal pergelangan tangan ini. Sungguh kesabaranku sudah di ambang batas. "Lepas!" Aku berusaha menepis cekalan tangannya."Aku tidak akan melepaskan kamu sebelum kamu mengiyakan untuk pulang ke rumah ibu atau aku ikut pulang bersama kamu.""Aksa, lepaskan. Kamu tidak boleh memaksa, Aira!" Sebuah bentakkan terdengar dari depan pintu."Kamu tidak usah ikut campur ini urusan rumah tangga kami," bentak Mas Aksa."Aku bisa laporkan kamu dengan tuduhan kekerasan dalam
Setelah berbincang-bincang cukup lama dengan Mbak Dian aku pun pamit pulang. Tubuh ini masih sakit, rasanya ingin secepatnya merebahkan diri di atas kasur yang empuk.Tiba di rumah aku disambut Bik Surti, wanita paruh baya itu menangis melihatku dalam keadaan terluka walau tidak parah."Apa yang terjadi dengan Non Aira?" tanya Bik Surti dengan wajah penuh kekhawatiran."Semalam aku kecelakaan, Bik. Tapi Bik Surti tidak usah khawatir cuma luka ringan," jawabku tenang sambil cengegesan. Aku tidak mau wanita yang sudah mengurusku cemas memikirkan keadaanku."Syukurlah, bibik khawatir semalam Non Aira tidak pulang. Ya sudah, bibik bikinkan makanan kesukaan Non Aira, ya," tawarnya."Boleh, Bik. Kebetulan aku sudah lapar, kalau begitu aku ke kamar dulu mau istirahat.""Nanti kalau sudah matang masakannya, bibik panggil Non Aira.""Ok, Bik." Aku mengacungkan jempol kearah Bik Surti.Kulangkahkan kaki menuju kamar. Sejenak terdiam melihat barang-barang Nadia masih ada di dalam kamar. Aku haru
Dari kejauhan aku bisa melihat suasana semakin memanas. "Aksa, cepat kamu telepon Aira. Ini semua karena dia!" titah ibu terdengar emosi.Dari atas aku bisa melihat Mas Aksa sedang mengambil sesuatu dari dalam sakunya, pasti dia akan menelponku."Lebih baik kalian pergi dari sini, kami mau arisan," usir Mbak Dian."Eh, enak saja mengusir kami. Ini rumah Aira menantu saya, seharusnya kamu yang pergi!" bentak ibu."Ya ampun, nenek tua ngeyel banget. Sudah dibilang ini bukan rumah Mbak Aira, atau kalau kalian tidak mau pergi aku akan menyuruh Moly yang mengusir kalian," seru Mbak Dian."Siapa Moly? Kami tidak takut, ini rumah menantu saya kamu tidak berhak mengusir kami," jawab ibu masih bersikukuh dengan pendiriannya."Pergi sana pelakor," usir Ibu Indah yang sejak tadi diam menyimak berdebatan mereka."Hei, Bu. Sudah kubilang aku bukan pelakor!" balas Selena geram."Mana ada pelakor ngaku," sahut Ibu Indah mengejek.Plak!Gegas aku berdiri ingin melihat apa yang terjadi. Terdengar sua
Aku pun memutuskan memakai pengacara keluarga Ibu Indri, pengacara yang aku sewa rekomendasi Nadia belum juga ada kabar kejelasannya. Aku juga sudah memberikan berkas dan bukti perselingkuhan Mas Aksa. Semoga proses perceraian bisa cepat selesai.Mas Aksa tidak akan dapat harta gono-gini karena semua harta yang aku punya milik orang tuaku tidak termasuk ke dalam pembagian harta gono-gini. Sebenarnya bisa saja aku menuntut hak, sebab selama ini suamiku tidak memberikan nafkah layak selama kami menikah.Bersyukur aku belum memiliki anak dari Mas Aksa. Mungkin ini juga teguran untuk Mas Aksa karena telah menelantarkan anak dari wanita di masa lalunya. Sudah seminggu aku hidup tenang, aku juga sudah bilang ke Security perumahan agar melarang Mas Aksa dan keluarganya masuk ke dalam kompleks perumahan. Menurut Laras, Mas Aksa beberapa kali ke resto mencariku. Ibu Indri juga mengatakan suamiku sudah tidak lagi bekerja karena sudah di pecat. Aku yakin Mas Aksa dan keluarganya tidak akan dia
"Maaf, aku tidak bisa membantu kamu, Mas. Sebentar lagi kita akan jadi mantan, tunggu saja surat sidang pertama perceraian kita," tegasku."Bagus, Mbak Aira. Pria mokondo seperti itu harus dibuang." Tiba-tiba pengunjung disebelahku menyindir Mas Aksa. Kebanyakan pengunjung resto anak muda yang sedang nongkrong, karena menu resto tidak hanya ayam bakar madu saja tapi merambat menu yang sedang digandrungi anak muda.Suara riuh dan sorak dari pengunjung membuat wajah Mas Aksa memerah menahan malu, salah sendiri kenapa dia berlutut seperti itu."Ai, kita bisa perbaiki semuanya. Kamu masih mencintai mas, kan, Sayang," ucapnya tanpa memperdulikan omongan sumbang pengunjung resto.Tawaku seketika pecah. Cinta, dia bilang aku masih mencintainya? Hanya wanita bodoh setelah dikhianati masih mencintai suaminya. "Mas, jangan geer. Cintaku sudah terkikis saat kamu membawa Selena ke rumah. Jadi, jangan pernah mengatakan cinta," ujarku kesal."Huuuh! Mamam, tuh, cinta," celetuk seseorang dari belak
Kuluncurkan mobil menembus jalanan yang padat merayap. Selena duduk di bangku belakang sembari memangku kepala sang ayah. Wanita itu terus menangis melihat cinta pertamanya tidak merespon ucapan putrinya.Aku menyuruh Laras ikut denganku. Resto sementara di handle Roni. "Mbak, memangnya apa yang terjadi?" tanya Laras pelan."Ini semua karena bos kamu ingin membunuh papaku," sahut Selena lantang di jok belakang.Laras nampak kaget, aku yakin dia pasti berpikir apa yang dikatakan Selena benar."Nanti aku ceritakan, kamu jangan dengar omongan iblis di belakang," sahutku kesal. Laras menutup mulutnya, dia tidak berani bertanya lagi. Semoga Laras tidak terpengaruh dengan omongan Selena.Sebenarnya sisi jahatku mengatakan ingin menurunkan mereka di jalan tapi hati nuraniku tidak tega meninggalkan Pak Raja yang sedang bertarung nyawa. Masalahku dengan putrinya tidak boleh disangkut pautkan, anggap saja demi kemanusiaan aku menolong Pak Raja.Kendaraan roda empatku memasuki pelataran rumah
Setelah mempertimbangkan matang-matang, akhirnya aku mau menemui Mas Aksa. Ratu begitu bahagia karena aku mau menemui kakaknya. Kedatanganku kesana juga untuk menyampaikan salam perpisahan karena sebentar lagi kami akan menjadi mantan.Selama di mobil Ratu hanya diam, netranya terus menatap keluar kaca jendela mobil."Ratu, sebenarnya apa yang terjadi?" tanyaku memecah keheningan."Kami sudah jatuh miskin, Mbak. Semuanya tidak tersisa, sungguh aku menyesal sudah jahat dengan Mbak Aira," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan menatap keluar jendela mobil."Syukurlah, kalau kalian sudah menyesali apa yang kalian lakukan. Oh, iya, Ratu. Mbak pernah melihat ibu di lampu merah depan sana," ucapku.Ratu mengalihkan pandangan menatapku kaget. "Mbak Aira, melihat ibu di lampu merah?" tanya Ratu balik bertanya."Iya, dua hari yang lalu. Ibu ada di sana." Aku menunjuk trotoar di samping lampu merah."Kami sedang mencari ibu, Mbak. Sudah tiga hari ibu meninggalkan kontrakan, ibu tidak terima karen