Happy reading, ya! :) Simak terus kisah Aisyah dalam berjuang membesarkan anaknya tanpa seorang suami!
“Maksud kamu?” Hendra melempar senyum tipis, “Saya punya saran, lebih baik kamu membuka usaha dan bisa dikerjakan dari rumah jadi tenaga yang dikeluarkan tidak menyusahkanmu.” “Usaha?” “Iya, menurutmu kamu ahli dalam bidang apa kalau semisal kamu buat usaha?” “Aku? Aku cuma bisa buat makanan,” jawab Aisyah ragu. “Nah, bagus! Kita bisa buka semacam kedai makanan atau jajanan mungkin, bagaimana?” responnya bersemangat. “Kita?” tanyanya sedikit bingung. “E-e iya kita, saya kan sudah bilang saya bisa bantu dan siap membantu … tapi kalau kamu mau,” jawabnya berusaha meyakinkan. “Kamu tidak keberatan Hen?” “Tentu saja tidak, kalau saya keberatan tidak mungkin saya memberikan penawaran ini padamu Aisyah,” tegasnya. “Mungkin saya bisa diskusikam dengan orang tua saya dulu, pendapat mereka juga penting kan.” “Bagus, saya setuju dan alangkah baiknya kamu pikirkan matang-matang juga karena saya tidak mau ada unsur keterpaksaan di sini. Niat saya hanya membantu jika kamu bersedia saya a
“Ini menyinggung masalah masa lalu kamu!” [DEG!] Aisyah mulai kikuk mendengar Hendra melontarkan kalimat seperti itu, napasnya mulai tak beraturan. “Masa lalu sa-ya?” ucapnya terbata. “Maaf Aisyah kalau saya terlalu lancang … tapi jika kamu kurang berkenan tidak apa,” tegasnya. “E … maaf. Saya hanya belum terbiasa saja membicarakan hal itu lagi, tidak apa katakan saja.” “Kamu yakin?” Aisyah memejamkan mata sembari mengangguk petanda setuju. “Baiklah, saya cuma mau tanya. Kamu tidak keberatan kan kalau saya deket sama kamu? Maksud saya … biasanya maaf, jika pernah punya masalah dengan pasangan sebelumnya pasti ada rasa segan atau kurang nyaman berada didekat lawan jenis. Saya sengaja bertanya ini karena saya takut dengan kehadiran saya, kamu merasa tidak nyaman dan saya tidak mau kamu merasa seperti itu,” jelasnya khawatir. Aisyah tersenyum, “Kalau boleh jujur, awalnya memang saya masih merasa kurang nyaman … tapi kata Ibu benar tidak semua laki-laki setelah masalah itu kita me
“Nggak! Kiara nggak mau ke sekolah,” kekehnya. “Ayo lah sayang, sekolah ya. Nanti Mama janji bakalan ajak Kia jalan-jalan,” bujuk Jihan. “Nggak! Pokoknya Kia nggak mau ke sekolah lagi!” Tampaknya bocah itu memendam rasa kecewa yang teramat dalam. “Kok gitu sih sayang, nanti Mama sedih kalau Kia kayak gini terus gimana?” “Kia nggak mau ke sekolah lagi! Nanti Kia diketawain sama temen-temen Kia karena nggak punya Papa lagi.” Jihan sontak terkejut sampai mengelus dadanya, “Gara-gara dia anak gua sampai kek gini,” ketusnya dalam hati. “Kalau Mama mau maksa Kia buat sekolah mending Mama anterin Kia ke rumah Opa sama Oma, aku nggak mau tinggal di sini lagi! Papa sama Nenek jahat!” “Nak. Kia sayang, kamu kan anak pinter jangan gitu ya sayang, Mama sedih lo.” Jihan masih berusaha membujuk Tak sengaja Ajeng-mertuanya, lewat di depan pintu. Jihan menatap Ajeng tanpa melepas pandangannya sedikit pun, “Mama mau ke mana?” “Apa sih kamu! Terserah saya dong mau ke mana, itu bukan
“Kamu kemasi barang-barang kamu dan Kiara sekarang!” “Kita mau ke mana Mas?” “Aku anter kamu ke rumah orang tua kamu, tapi ingat! Ini hanya untuk sementara sampai anak kamu merasa tenang.” “Kamu pikir dengan semua ini kamu bisa memperbaiki semuanya?” “Kamu nggak usah berdebat! Kamu kemasi barang-barang kamu sekarang atau nggak akan pernah aku izinin kamu pergi selangkah pun dari rumah ini!” “Bagus! Udah berani ngancem aku kamu ya!” “Aku harus ingetin kamu atau kamu yang sadar diri sendiri?” Ekspresi wajah Jihan sontak berubah masam. “Inget ya, kamu nikah dengan aku atas persetujuan orang tua kamu dan kamu pasti kenal banget kan sama orang tua kamu, bayangin aja kalau mereka tau anaknya punya masalah dengan aku!” Ada makna tersirat di dalamnya yang membuat Jihan tidak bergeming sedikit pun, mau tidak mau Jihan menuruti apa yang dikatakan suaminya-Bima. Jihan lekas mengemasi barang-barangnya dan juga Kiara. *** “Aku harap kamu inget dengan apa yang aku katakan tadi di rumah!”
“Hendra kamu?” “Saya tau Aisyah kamu pasti mengerti maksud dari perkataan saya, bukan bermaksud lancang tapi saya khawatir wanita sebaik dan secantik kamu pasti orang di luar sana banyak yang tertarik dengan kamu.” “Saya harap kamu hanya bercanda Hen,” tegasnya. “Tidak, saya tidak pernah bercanda tentang perasaan saya, saya takut ada yang mendahului saya jadi lebih cepat lebih baik jika kamu tau perasaan saya yang sebenarnya. Saya suka sama kamu Aisyah.” Penjelasan Hendra membuat Aisyah sontak terkejut, “Kamu jangan bercanda Hen, emang kamu mau sama janda anak satu seperti saya? Kamu siap jadi omongan orang? Kamu itu seorang dokter Hen, kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dari saya.” “Nggak Aisyah, perasaan itu tidak bisa dipaksakan. Kalau saya suka sama kamu itu artinya orang lain di luar sana tidak spesial di mata saya, lagi pula apa masalahnya jika kamu janda anak satu toh kamu masih manusia kan! Justru saya senang jika kamu mau menerima saya karena saya bisa langsung punya a
“Kesehatan pak Ahmad berangsur membaik, nanti sore beliau boleh pulang dan bisa istirahat di rumah. Obatnya tetap diminum agar kesehatan beliau tetap stabil, jangan kerja atau beraktivitas yang berat-berat dulu,” terang dokter itu. “Alhamdulilah, terima kasih, dok.” “Syukurlah, Aisyah jadi sedikit lega kalau Bapak sudah bisa dibawa pulang, sehat-sehat ya, Pak.” Hendra memberikan kode pada Aisyah, “Iya kenapa Hen?” “Saya boleh mengantar Bapak pulang nanti? Nanti bisa naik mobil, jadi bisa lebih nyaman di jalan.” “Tapi Hen…” “Kalau kamu keberatan, saya bisa sewakan mobil jadi nanti ada yang sopirin tapi bukan saya, kamu tidak usah sungkan semuanya demi kebaikan kita semua. Kasian bapak,” bujuknya. “Lebih baik kamu saja Hen, kalau sewa mobil lagi malah makin merepotkan. Urusan Bapak nanti saya bisa bicarakan dulu.” “Baik, kalau begitu saya tunggu di luar.” “Terima kasih, Hen.” Perlahan tetapi pasti, setiap keinginan pasti butuh perjuangan. Sang dokter Hendra mulai me
“Anak muda jaman sekarang kalau ada maunya memang kelakuannya aneh-aneh!” “Bapak ini! Orang berbuat baik malah disangka yang enggak-enggak.” “Bapakmu ini dulu pernah muda!” “Hust! Udahlah Pak, kasian Aisyah.” Pak Ahmad tidak mudah untuk digoyahkan tampaknya usaha dokter Hendra harus lebih keras lagi untuk meluluhkan hati lelaki senja yang sedikit keras kepala itu. “Aisyah ke sini sebentar, Nak!” “Iya kenapa, Pak?” “Bapak tidak sedang bercanda! Kamu dengar baik-baik pesan Bapak, sekarang kesehatan Bapak tidak ada yang tau mungkin hari ini Bapakmu ini masih bisa selamat tapi tidak tau hari esok …” “Bapak!” Aisyah merasa sedikit kesal “Dengar dulu! Bapakmu ini sayang sama kamu jadi Bapak nggak mau kamu jatuh kepada lelaki yang salah lagi terlebih sekarang kamu tidak sendiri tapi ada anak yang juga tanggung jawab kami sebagai orang tua kamu … kalau Bapakmu ini boleh berpesan kamu jangan dekat-dekat dengan lelaki dulu, Bapak nggak suka!” jelasnya. “Tapi, Pak. Bapak bar
“Ma!” “Mending kamu langsung istirahat, Mama lagi malas berdebat sama kamu!” Bima mendengus lantas melangkahkan kakinya dengan tergesa menuju ke kamar. “Aaaahhhhh.” Bima berteriak sejadi-jadinya, barang-barang yang ada di kamarnya menjadi sasaran empuk kemarahannya, “Kenapa hidup aku jadi berantakan gini, sih! Istri jadi pembangkang, punya Mama kerjaannya ngoceh mulu. Lama-lama stres aku!” *** “Ma, Kia mau papa baru!” “Kia, kok gitu sih ngomongnya sayang?” “Aku nggak suka sama Papa Bima! Dia jahat!” “Sutss! Jangan kenceng-kenceng ngomongnya.” Jihan ketakutan jika orang tuanya mendengar “Tapi kan bener, Ma. Temen-temen aku yang lain Papanya baik-baik semua, aku kan cuma mau Papa yang nganterin aku sekolah tiap hari, mau aku kenalin ke temen-temen dan nggak marahin Mama terus.” “Sayang, Papa Bima baik kok, dia lagi capek aja kan Papa Bima banyak kerjaan di kantor jadi kalau udah nggak capek pasti Papa Bima bakalan sayang banget sama Kia,” bual Jihan. “Mama serius?” “Iya, saya