Share

APAKAH INI TAKDIR

Aku melihat Bi Sari masuk dengan menenteng 2 kantong plastik berisi makanan, minuman dan buah-buahan segar.

"Biar aku yang nyiapin, Bi!" ucapku sembari melipat mukenah.

"Gak apa-apa, Nak. Biar bibi saja!" Tangan Bi Sari mulai menyiapkan bubur untuk Bunda makan.

"Zahra, Kamu temui Alvin saja diluar" suruh Bunda.

Aku hanya mengangguk patuh, kaki ini kulangkahkan ke arah pintu.

Meski terasa berat, karena yang akan aku temui di balik pintu adalah seseorang yang menggores luka begitu dalam dan meninggalkan bekas hingga sulit untuk diobati.

Kulihat kak Alvin duduk di tengah kursi panjang di samping pintu. Melihat kedatanganku, dia seakan mengerti kenapa aku hanya berdiri.

Ia menggeser tubuhnya hingga menjauh di ujung kursi, dirasa sudah ada jarak, aku pun duduk di ujung satunya lagi.

Seandainya dulu kak Alvin mengerti seperti ini, aku memukul-mukul punggungnya manakala kepala kak Alvin mulai menyelusuri bagian depan tubuhku.

Harapan gadis berusia 18 tahun yang bercita-cita menjadi dokter mungkin tidak akan pupus begitu saja.

"Kalau kamu belum siap untuk menjawab, aku akan menunggu," ucap kak Alvin memecah kebisuan diantara kami.

"Sebelum menjawab, boleh aku bertanya?" meski terasa kelu bibir ini berucap, namun aku harus meyakinkan hati ini.

"Boleh," jawab kak Alvin sekilas mengalihkan pandangan ke arahku.

"Saat aku bilang, kalau aku sudah tidak perawan lagi, kenapa Kakak langsung menerimaku? Padahal kakak belum tahu kalau aku adalah gadis yang malam itu kakak nodai?"

Kutundukan kepala, jari jemari ini tidak berhenti memelintir ujung hijabku.

"Waktu aku sadar dari koma, aku malah tidak bisa tidur dengan nyenyak. Aku selalu dihantui rasa bersalah, telah menghancurkan kehidupan seorang gadis. Satu tahun aku mencarimu, aku ingin tahu bagaimana keadaanmu, aku ingin bertanggung jawab."

Kak Alvin menghela napas.

"Namun sayangnya, tidak ada yang tahu ke mana kamu pindah. Aku hampir putus asa. Hingga akhirnya atas saran Bi Sari aku memutuskan untuk hijrah, hidupku menjadi sedikit lebih tenang dan damai."

Kulihat kak Alvin mengusap pipinya yang mulai basah oleh air mata.

"Kamu mencari tahu tentang keadaanku? Inilah keadaanku saat ini, Kak. Sekarang aku gadis yang diliputi rasa takut akan bayangan masa lalu. Kamu membuka paksa hati ini menyelam ke dasar sukma hanya untuk menoreh luka. "

"Hingga Ustadz iman guru ngajiku, menyuruh untuk berta'aruf agar ibadahku untuk berjalan di jalan Allah lebih sempurna dengan menjadi suami yang baik. Saat kamu bilang, kalau kamu sudah tidak perawan. Aku merasa Allah sedang memberiku jalan terbaik, menghadirkanmu yang soleha, karena hanya wanita berhati besar yang mau mengakui kekurangannya di depan calon suami."

Kak Alvin menghadapkan tubuhnya ke arahku.

"Apapun keputusanmu, aku ikhlas. Tapi aku mohon, Zahra! Maafkan aku, beri aku kesempatan untuk menebus perbuatanku padamu. Aku benar-benar menyesal!"

Entah apa yang aku rasakan saat ini. Aku sedang belajar berlayar dengan ridho Allah agar kelak perahuku sampai pada syurgaNYA.

Namun, sebesar inikah ombak yang harus aku hadapi? Kenapa harus pemerkosa itu yang hadir menawarkan diri sebagai nahkoda?

Mampukah kami kelak mengarungi samudera bersama, sementara dulu kak Alvin pernah menenggelamkan perahuku,....

Kupejamkan mata ini, berdamai dengan hati dan pikiran. Jika jalan hijrah yang Allah beri memang seperti ini. Bismillah....

"Aku bersedia melanjutkan ta'aruf ini!" lirihku, menegaskan jawaban akan pertanyaan kak Alvin tentang kelanjutan hubungan ini.

"Terima kasih, Zahra. Terima kasih!"

Aku tidak tahu akan seperti apa kehidupanku kelak, menjalani hari-hari dengan raga yang menghancurkan jiwaku. Namun aku percaya satu hal, Allah begitu sayang kepadaku.

****

Seusai sholat isha berjama'ah, kak Alvin dan Bi Sari pamit untuk pulang. Awalnya kak Alvin ingin menemaniku di sini, tetapi Bunda tidak mengizinkan dan menyuruhnya untuk pulang saja.

"Apa kamu menerima Alvin?" tanya Bunda.

Aku yang sedang memijit kaki Bunda hanya menjawab dengan anggukan, disunggingkannya sedikit senyum dari bibirku, agar Bunda tidak merasa khawatir akan keadaanku.

"Alhamdulillah."

Bunda langsung memeluk dan mengelus pundakku.

"Zahra, kamu tahu kenapa Allah memberimu ujian seberat ini?" Dilepasnya pelukan Bunda, lalu menatap lekat wajahku.

Aku menggeleng.

"Itu karena kamu wanita pilihan. Hanya wanita istimewa yang mampu menghadapi ujian berat dari Allah dengan terus bertawakal padaNYA. Allah mengujimu, karena Allah yakin kamu bisa. Bunda sayang sama Zahra!" Dengan lembut Bunda mengecup kening ini.

"Zahra juga sayang Bunda."

Malam semakin larut, Bunda sudah terlelap, begitu pun mata ini yang mulai mengantuk. Ayat demi ayat dalam Al-Qur'an yang sejak tadi aku baca membuat rasa damai dalam hati, hingga membisikan mata agar terpejam menikmatinya. Aku pun tertidur di sofa panjang dalam ruangan itu.

***

Kak Alvin mendekatiku dengan tatapan kotor, jemarinya membuka satu per satu kancing yang mengait kemeja putihnya. Ditarik tangan ini lalu dengan kasar melepas hijab dari kepalaku.

"Apa berhijab bisa menjadikanmu gadis yang suci? Kamu lupa, kalau kesucianmu sudah aku renggut?"

Tangan kak Alvin merengkuh pinggangku hingga jatuh ke pelukannya.

"Malam itu dress kuning minimu menggairahkan hasratku yang sedang patah hati, jadi jangan salahkan aku, jika aku tergoda oleh lekuk indah tubuhmu yang lewat di hadapanku seakan menggoda."

Kak Alvin mendekatkan bibirnya ke wajahku.

"Aku mohon jangan, lepaskan aku, kak Alvin lepaskan aku, lepas!"

Aku terduduk dengan keringat bercucuran membasahi hijab berwarna merah yang aku kenakan malam ini.

"Astagfirullah!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status