"Oh, jadi obat yang diberikan pemilik toko herbal itu obat tidur? Pantas saja saya tidur sampai dua puluh jam. Ya ampun, Sayang, maaf ya, gara-gara saya kita tidak jadi malam pertama. Kamu gak marah'kan, Sayang?" Bari menatap wajah Tiara dengan perasaan yang tidak enak. Ia khawatir istrinya kecewa dengan kebodohan yang ia lakukan.
"Kenapa harus marah? Saya malah bersyukur. Dunia saya aman dari suami mesum," jawab Tiara sambil terkekeh. Bari menggaruk rambutnya yang tidak gatal, lalu tersenyum dengan sangat manis di depan wajah Tiara.
"Ada apa?" tanya Tiara tidak mau membalas tatapan Bari.
"Kamu cantik," puji Bari lagi masih menatap senang wajah istrinya.
"Kamu bau, Mas. Mandi gih! Sebelum aku dan Nara muntah karena bau ketiak dan jigong kamu," balas Tiara sambil mendorong tubuh Bari menjauh.
"Oke, ini juga mau mandi. Bukan hanya kalian, suami tersayang kamu ini pun mau muntah mencium aroma
Segala cara dikerahkan Bari untuk membangunkan Tiara, tetapi istrinya bagaikan mati suri, bukan tidur. Pria itu memutuskan memberi waktu pada Tiara untuk terlelap. Hari ini mungkin istrinya sangat kelelahan mengurus Nara, sedangkan dirinya sudah puas tidur dan benar-benar belum mengantuk.Satu jam lagi ia berencana membangunkan Tiara. Kini Bari berjalan keluar kamar untuk membuat kopi. Secangkir kopi mungkin akan menurunkan sedikit kadar hormon se*s yang benar-benar mengepul di kepalanya.Tunggu! Jika ia minum kopi sekarang, maka permen herbal untuk stamina itu pasti tidak akan bekerja dengan baik. Bari yang sudah meraih toples kopi, kembali meletakkan wadah kopi di tempatnya, lalu ia menuangkan air ke dalam gelas. Dirabanya saku celana, lalu dengan tekad yang sangat bulat, ia memasukkan kapsul herbal ke dalam mulutnya.Tidak hanya dengan satu gelas air putih, tetapi Bari menggunakan dua gelas sekaligus air putih untuk men
"Ma, Helena sudah menyelesaikan semua utang almarhum, Papa. Rumah kita akan tetap menjadi milik kita. Mama cepat sembuh ya. Helena akan lakukan apapun agar keluarga kita baik-baik saja dan Mama lekas sembuh." Helena mengusap air mata yang membasahi pipinya.Wanita paruh baya yang hanya bisa terbaring tak berdaya di tempat tidur karena stroke, memandangi putri bungsunya sambil tersenyum hangat."Terima kasih, Helena, tapi ... bagaimana cara kamu bisa mendapatkan uang sebanyak itu?" tanya wanita itu lirih sambil terus memperhatikan putrinya dari atas sampai bawah. Hampir setahun Helena tidak pulang dan begitu pulang tubuh putrinya menjadi sangat berisi."Payudara kamu kenapa basah, Helena? Kamu b-baru melahirkan? K-kamu punya bayi?" mulut wanita itu terbuka lebar dengan mata melotot. Ia menelan ludah susah payah mencoba menarik kembali tebakannya atas penampilan putrinya.Satu hal yang dilupakan Helena pagi
“Bagaimana, Pa? Papa mau’kan? Bari tidak bisa menikahi Rumi.”“Bari, kamu jangan berkata yang tidak-tidak. Kenapa kamu tidak bisa menikahi Rumi? Kalian saling mencintai dan berpacaran sejak SMA. Sekarang, hanya karena kamu sakit, kamu menyerah. Papa tidak mau kamu seperti ini. Papa akan bayar dokter terbaik untuk menyembuhkanmu. Percayalah, umur, jodoh, rejeki, itu sudah diatur oleh Tuhan.” Angkasa mengusap sayang rambut anak sulungnya yang terbaring lemah karena sakit kelenjar getah bening yang cukup parah.Air mata menetes di kedua pipi Bari. Wajah pemuda berusia dua puluh lima tahun itu sangat pucat dan nampak tidak berdaya. Tubuhnya sangat lemas walau sudah ratusan obat masuk ke dalam tenggorokannya. Tidak mungkin ia bisa menikahi Rumi, umurnya tidak akan lama lagi dan Bari tahu hal itu.“Pa, maafin Bari. Rumi saya rusak. Saya berdosa, Pa. Tolong jangan buat saya semakin berdosa dengan m
Rumi hanya bisa menangis saat mendapat kabar bahwa Bari—calon suaminya yang tiga hari lagi akan menikah dengannya, tengah kritis di rumah sakit. Kakinya masih terlalu gemetar dengan dadanya bak tertimpa batu karang yang sangat besar. Di depannya ada Angkasa—calon ayah mertuanya yang duduk sambil menunduk dan menyembunyikan air matanya.“Minum dulu, Pak Angkasa,” suara Tiara—kakak dari Rumi meletakkan dua cangkir teh di atas meja. Angkasa hanya bisa tersenyum tipis, sambil mengangguk, tetapi tangannya tidak cukup kuat untuk mengangkat cangkir teh yang dihidangkan di depannya.“Pa, saya ingin bertemu Mas Bari. Tolong antarkan saya ke rumah sakit,” ujar Rumi sambil menahan isak tangisnya."Biarkan Pade ikut ya. Pade ingin melihat keadaan Bari," sela seorang lelaki paruh baya, yang tidak lain adalah saudara laki-laki dari almarhum ayah Rumi. Rumah Pade Supri berada persis di sampin
Angkasa masih menunggui istrinya di ruang perawatan rumah sakit yang sama tempat Bari dirawat. Kondisi anaknya sudah melewati masa kritis, tetapi belum bisa dibilang pulih sebenarnya. Lalu bagaimana dengan Rumi? Yah, gadis itu seharusnya menjadi menantunya, kini malah sudah resmi menjadi istrinya secara agama. Ia pingsan karena terlalu kaget dengan kabar bahwa Bari sudah kembali bernapas dengan sewajarnya, padahal ia sudah menjadi istri dari ayah pacarnya. Rumit dan memusingkan.Angkasa berulang kali memijat kepalanya yang terasa berat. Mungkin jika Bari meninggal, akan menjadi lain soal, tetapi anaknya masih Tuhan berikan umur yang panjang dan diberi napas kembali untuk meneruskan hidupnya. Apa yang harus ia lakukan pada Rumi? Apa langsung menceraikannya saja? atau menunggu sampai Bari benar-benar pulih, baru ia menceraikan Rumi.Pernikahan bukanlah untuk ajang coba-coba. Begitu juga dengan kalimat talak. Jika hari ini di mata Tuhan sudah mengu
Keesokan harinya, Angkasa tengah mengendarai mobilnya menuju rumah Lana—calon istrinya yang akan dia nikahi setelah satu bulan pernikahan Bari dan Rumi. Namun kini, sebagai lelaki dewasa yang bertanggung jawab, tentu ia akan mengatakan yang sebenarnya pada Lana dan juga orang tua Lana, perihal pernikahannya yang terpaksa dengan Rumi.Wanita cantik berusia tiga puluh dua tahun itu sudah berdiri di depan pagar rumah untuk menyambut sang calon suami. Memang Angkasa mengirimkan pesan pada Lana, bahwa ia sedang dalam perjalanan menuju rumah wanita itu. Begitu mobil Angkasa berhenti di depan rumah, Lana memberikan senyum terbaikya, lalu menggeser pagar—membukanya dengan sangat lebar. Angkasa menurunkan spionnya.“Halo, Sayang. Aku rindu sekali,” sapa Lana dengan senyuman hangat. Hati Angkasa pun semakin gusar. Ia tersenyum canggung, lalu mematikan mesin mobil.“Abang dari rumah sakit? Bagaimana kabar Bari? La
Angkasa pulang dengan wajah merah karena disiram air hangat oleh Lana. Ia sama sekali tidak marah, karena hal lebih buruk dari ini ia siap menerimanya. Semua adalah kesalahan dirinya yang tidak bisa bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil. Angkasa tidak sanggup mendengarkan suara teriakan sekaligus tangisan Lana karena kekecewaan dan kemarahan wanita itu pada dirinya. Semua telah terjadi, mulai kemarin ia sudah resmi menjadi suami dari Rumi dan ia akan meneruskan tanggung jawab itu sampai Bari benar-benar sembuh.Gadis yang sudah engkau anggap sebagai anak, bagaimana bisa engkau perlakukan sebagai istri. Sangat aneh dan pastinya tidak nyaman. Berkali-kali Angkasa menghela napas kasar, sambil terus berusaha fokus pada kemudinya. Hari ini ia harus kembali ke kantor untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang sudah ham;ir seminggu terbengkalai. Di rumah sakit sudah ada Rumi yang menunggui Bari, sehingga ia bisa meninggalkan sebentar untuk bekerja.Se
“Bibik bisa ceritakan kepada saya, ada apa ini sebenarnya?” tanya Angkasa pada Bik Susi yang tengah duduk melantai sambil memilin ujung bajunya karena gugup. Rumi duduk di seberang Angkasa dengan wajah menunduk malu. suatu kecerobohannya karena tidak mengunci pintu, sehingga Angkasa tanpa sengaja melihat tubuhnya yang hanya memakai bra saja.“Begini, Tuan, tadi siang ada Non Tiara, katanya Kakak dari Non Rumi. Kata Mbak Tiara mulai hari ini Mbak Rumi tinggal di sini karena sudah sah menjadi istri Tuan. Maaf, Tuan, karena saya pun diperlihatkan foto ijab qabul di rumah sakit kemarin, saya jadi mempersilakan Non Rumi untuk menempati kamar Tuan. Mana saya berani membiarkan majikan saya tidur di kamar tamu,” terang Bik Susi mencoba menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi.Angkasa hanya bisa menghela napas berat sambil memijat pelipisnya. Tidak mungkin juga dia meminta Rumi untuk pindah ke kamar tamu malam ini. a