“Maafkan Lana, Rumi. Saya tidak tahu kalau dia sampai nekat membuat keributan seperti itu,” ujar Angkasa dengan perasaan bersalah sekaligus iba. Karena semua yang terjadi bukanlah salah Rumi ataupun dirinya. Ini semua takdir dan kita tidak bisa menolaknya. Angkasa duduk di samping Rumi yang tengah di betulkan kembali rias wajahnya. Baju resepsinya pun telah diganti dengan yang lebih bagus dan membuat Rumi semakin cantik dan memesona.
“Tidak apa-apa, Pa. Jika saya menjadi Tante Lana, mungkin hal lebih nekat dari ini berani saya lakukan. Saya mengerti per
"Pa, boleh saya cium tangan ibu sambung saya?" tanya Bari dengan begitu formal pada Angkasa."Boleh saja, tetapi jangan gunakan perasaanmu," sela Bulan tegas membuat semua mata memandangnya.Wajah Angkasa mendadak membeku begitu pun Rumi. Suasana meja makan yang harusnya hangat, mendadak begini hening dan mencekam. Bari mengambil tangan Rumi, lalu mencium punggung tangan wanita itu dengan begitu hikmat.Rumi gemetar dan bergetar. Tidak bisa ia membohongi hatinya, bahwa hanya Bari yang mampu membuat seluruh saraf di tubuhnya melemah seketika. Bagaikan baru saja tersengat listrik bertegangan tinggi. Bari mencium punggung tangan Rumi bukan dengan hidungnya, melainkan dengan bibirnya. Angkasa tak bisa berbuat banyak, selain memijat pelipisnya yang mendadak sangat sakit."Rumi, ambilkan Angkasa nasi dan ikan. Angkasa suka sekali ikan. Emak rasa kamu tahu itu," titah Bulan mencaikan suasana yang masih saja mencekam."Baik, Mak," jawab R
“Kenapa menangis?” tanya Angkasa bingung. Rumi masih terisak setelah membungkus seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. “Bukankah seharusnya saya yang menangis karena hanya bisa melihat tanpa boleh menyentuh?” tanya Angkasa lagi membuat Rumi semakin gemetaran. Pria dewasa itu tertawa pendek, lalu menyentuh kepala Rumi dengan lembut dan pelan. Layaknya seorang ayah yang tengah menenangkan anaknya yang menangis. “Maafkan saya jika membuat kamu takut. Saat di rumah nanti, saya akan pindah kamar, jika kamu tidak nyaman satu ranjang dengan saya,” kata Angkasa lagi dengan bijak. Lalu ia pun kembali berbaring dengan meletakkan guling di tengah-tengah. Ia tidak mau memaksakan Rumi yang saat ini pasti sangat malu dan ketakutan padanya. Angkasa memilih memejamkan matanya kembali dengan posisi telungkup, karena ia terpaksa menidurkan sesuatu yang tadi sempat bangun. Sungguh sua
“Papa sudah menebak akan hal ini. Hm … baiklah, Papa akan mengalah, tetapi tidak sekarang. Kalau kalian menghormati Papa, tolong jaga marwah Papa di depan semua orang, terutama keluarga. Papa akan mengalah kamu tidak mengganggu Papa dan Rumi saat kami masih berstatus sah sebagai suami istri. Jika kamu masih terus menganggu, maka kalimat talak itu tidak akan pernah keluar dari mulut Papa. Rumi, kamu paham’kan? Ayo sekarang ikut Papa,” ujar Angkasa dengan tegas. Bari bungkam, Rumi pun dengan terpaksa mengangguk dan mengikuti langkah Angkasa. Ia juga pasrah saat Angkasa menggandeng tangannya untuk masuk ke dalam lift. Pintu lift tertutup, Angkasa dan Rumi masih saja diam, tetapi Angkasa tidak melepas genggaman tangannya pada Rumi. Wanita itu sudah panas dingin dengan napas terasa sedikit sesak. Ia sangat takut pada ekspresi wajah Angkasa yang menyimpan amarah. “Apakah saya begitu buruk sebagai seorang lelaki sehingga
Bari termenung di kamar hotel. Sore ini, papanya akan berangkat berbulan madu bersama Rumi dan hal itu membuatnya seperti tidak terima. Sekeras apapun ia mencoba ikhlas, tetap saja belum bisa.Sebuah ide muncul di kepalanya. Jemarinya dengan mahir mengetik pesan pada Nia, bertanya pada adiknya itu perihal tempat bulan madu yang akan dikunjungi oleh papanya. Namun pesannya hanya ceklis satu. Bari pun memutuskan untuk menelepon Nia, tetapi tidak diangkat.Kini Bari mengirimkan pesan WA pada sepupunya yang ikut menginap di hotel. Dia mengajukan pertanyaan yang sama pada sepupu laki-lakinya itu, tetapi kondisinya masih sama seperti Nia. Hanya ceklis satu. Ada enam orang yang ia kirimkan pesan WA, tetapi tidak ada satu pun yang aktif.Dengan menghela napas gusar dan mengumpulkan keberanian, Bari mengirimkan pesan pada Rumi secara langsung. Ia sangat berharap Rumi mau menjawab pertanyaannya. Jika ia tidak bisa mengganggu, paling tidak ia bisa melihat kekasihnya dari k
"Awas kamu, Rumi! Lihat saja pembalasan saya nanti!"Brugh!Lana menabrak tubuh Rumi, saat akan pergi ke kamar mandi. Rumi terhuyung dan hampir saja terbentur dinding penyekat antara kabin dan kamar mandi. Untunglah Angkasa menahan tubuh Rumi sehingga istrinya tidak harus terbentur."Kamu gak papa? Ayo, kita duduk lagi." Angkasa memperhatikan wajah Rumi yang masih memberengut kesal. Ia menuntun wanita itu untuk duduk kembali di kursinya, lalu memasangkan kembali sitbelt."Rumi, kamu gak papa'kan? Itu tadi ... terima kasih," ujar Angkasa dengan hati yang berbunga-bunga."Karena saya sudah menampar Tante Lana. Berarti nanti malam saya tidak perlu tidur memeluk Bang Angkasa ya?" tawar Rumi dengan menyeringai tipis. Angkasa tergelak sambil menggelengkan kepalanya."Untuk hal itu, tidak ada negosiasi. Tetap seperti kesepakatan awal. Lagi, di Lombok itu dingin. Kalau gak pelukan nanti masuk angin loh.""Huu! Modus!"
Pukul enam pagi, Rumi terbangun dan tidak menemukan Angkasa di sampingnya. Kepalanya menoleh ke kamar mandi dan pintu kamar mandi terbuka. Tidak mungkin suaminya ada di dalam sana jika pintu dalam keadaan terbuka.Rumi menggeser dengan malas badannya untuk segera turun dari ranjang. Sejak semalam darah kotornya sudah tidak ada dan ia memutuskan untuk mandi hadas besar pagi ini.Rumi berjalan ke arah lemari untuk melihat pakaian apa yang bisa ia kenakan, tetapi tidak ada satu pun yang bisa ia pakai untuk turun sarapan bersama suaminya. Rumi akhirnya mengambil baju kaus besar dan juga celana boxer suaminya untuk dibawa ke dalam kamar mandi.Tubuhnya terasa segar dan bertenaga saat air dingin mengguyur rambut hingga kakinya. Rumi membungkus kepalanya dengan handuk bersih, lalu ia berjalan keluar dari kamar mandi."Selamat pagi," sapa Angkasa sambil tersenyum. Rumi menelan ludahnya saat menyadari tubuh gagah suaminya dengan baju olah raga yang pad
Tidur malam paling berkualitas bagi seorang Angkasa. Menduda lebih dari lima tahun dan sempat menjalin hubungan dengan berbagai wanita, tetapi siapa sangka tempat ternyaman malah pacar anaknya. Sangat lucu, tetapi juga seru.Rumi sudah tidak kuat menahan kantuk, sedangkan Angkasa masih terjaga memeluk Rumi sambil memandangi wajah istrinya. Pria dewasa itu mengambil sejumput ujung rambut Rumi yang tergerai, lalu menciumnya.Tangannya meraih ponsel, lalu memotret momen manis Rumi ketika tidur. Angkasa merasa perlu banyak mengoleksi foto istrinya, agar saat ia berpisah nanti, ada foto yang bisa ia jadikan pengobat rindu.Bep! Bep!Tiba-tiba saja, ada sebuah nomor tanpa kontak mengirimkan pesan WA kepada. Padahal sudah sangat larut. Angkasa membukanya dan menemukan semua pesan sedikit memaksa.Bang, kenapa nomor ponselku Abang blokir? Kita perlu bicara. Aku ingin kita bertemu.Melihat isi pesan tersebut, ia yakin bahwa pesan ini diki
"Rumi, kembali ke kamar!" suara berat penuh penekanan milik Angkasa membuat Rumi gemetar dan seketika pucat. Ia berjalan dengan sedikit terhuyung sambil memegang secangkir teh yang diminta Angkasa tadi."Bari, Papa rasa kita harus bicara." Angkasa tidak ingin melihat wajah putranya. Ia berjalan ke belakang rumah, tempat kolam renang berukuran sedang berada. Angkasa duduk di pinggir kolam dengan tatapan lurus. Baru menyusulnya dari belakang dengan perasaan yang resah.Ia mengira hanya ingin menggoda Rumi, tetapi kenapa malah mencium bibir pacarnya yang kini sudah menjadi ibu sambungnya? Bari berdiri di dekat papanya sambil menunduk."Maksud kamu apa mencium istri Papa? Kamu ingin menjadi pebinor? Papa orang tua kamu, Bari. Jangan pernah kamu menjadi durhaka pada orang tua hanya karena cinta. Papa bilang sabar, Papa hanya minta waktu tiga bulan menikmati kebersamaan dengan Rumi. Kamu tahu sudah lama sekali Papa menduda dan Papa gagal menikah hanya kare