"Mama!"
Aku segera menghampiri Mama yang kini sudah membuka matanya."Ini lagi siap-siap mau ke mana?" tanya Mama nampak khawatir."Mama tenang aja, kita Cuma mau pindah kamar rawat, “ sahut ku pada akhirnya."Pindah kamar? Ini memang terlalu mahal kayanya," ungkap Mama sambil mengerutkan keningnya."Uangnya dari mana?" Mama menanyakan hal yang Aku takutkan. Ia sangat khawatir kepada ku. "Ayo kita pulang saja!" Ajak Mama lagi.Akan tetapi, obrolan kami terinterupsi dan terpotong karena Mama dipindahkan ke brankar yang baru."Ibu jangan terlalu banyak berpikir ya! Supaya nanti operasinya berjalan dengan lancar dan berhasil,"ucap perawat yang sedari tadi mengurusi Mama.“Operasi?” tanya Mama seraya menatapku penuh tanya. Tapi, perawat lebih dulu mendorong brankarnya, sehingga Ia tak memiliki kesempatan untuk bertanya lebih banyak.Aku mengikuti brankar Mama setelah mengambil satu kantong plastik miliknya. Kami ke rumah sakit tidak membawa apapun selain sebuah kantong plastik yang dibawakan oleh Pak RT, berisi baju-baju milik Mama.“Alea! Alea!” panggil Mama yang merasa semakin khawatir.“Sudah, Bu! Jangan banyak pikiran ya. Administrasi nya sudah dibayarkan, ibu tinggal menjalankan operasi dan harus siap lahir batin.” Tutur perawat yang kini sedang mendorong brankar Mama.Meskipun kekhawatirannya bertambah tinggi, Mama pun kini terdiam tak lagi mencecarku dengan berbagai pertanyaan. Semoga setelah berada di ruangan baru, Mama tak berusaha untuk mencecarku lagi. Mama pasti takut jika uang yang ku peroleh dari hal yang tidak halal.Setelah berada di ruang VVIP, Mama mengedarkan pandangannya. Ia pun merasa kaget karena ruangan yang ia tempati saat ini mirip dengan ruangan hotel berbintang yang sering ia saksikan di televisi. Hal ini sangat berbanding jauh dengan ruangan yang tadi kami tempati, meskipun ruangan yang tadi kami tempati juga lebih bagus daripada ruangan di rumah.“Alea, gimana kamu bisa bayar ruangan ini?” tanya Mama. Bahkan, saat ini pun Ia tak merasakan sakit yang setiap hari menggerogotinya.“Ma, Alea harus shalat dulu ya! Udah adzan subuh. Alea mau ke mushalla, di sini enggak ada mukena. Nanti, Alea bantu Ibu shalat juga, ” ucap ku yang tak dapat disanggah Mama.Sebenarnya, niat ku hanya ingin menghindari pertanyaan dari Mama saja, karena untuk mukena ada milik Mama di kantong.“Tolong bantu Mama dulu ya, Mama mau shalat duluan. Nanti habis Mama shalat, baru kamu ke mushalla. Mama takut Mama meninggal duluan,” pinta Mama.“Husss, Mama jangan bilang begitu!” ucapku, meskipun raga ini tetap saja melaksanakan titahnya.Mama memang selalu menjaga shalatnya. Meskipun dalam keadaan sakit, Ia tetap melaksanakan shalat meskipun sambil tidur. Alasannya, karena Ia tak sanggup berdiri maupun duduk.“Bu, nanti jam tujuh Ibu akan operasi. Ibu juga sudah puasa dari semalam, udah cukup untuk tindakan.”“Dari mana kamu dapat uangnya, Nak?” tanya Mama dengan lembut.Aku menatap manik mata Mama yang menuntut banyak jawab. “Dari yang halal, Ma. Nanti kita bicara lagi, Aku mau shalat dulu. Takut keburu habis waktunya,” ucap ku seraya mencium tangan Mama, kemudian beralih ke keningnya. Aku mengucapkan salam dan pergi meninggalkan Mama. Aku takut akan ada banyak pertanyaan lain yang harus ku jawab dengan hati-hati. Khawatir menjadi sumber pikiran Mama, dan mempengaruhi jalannya operasi.Aku sengaja berlama-lama di mushalla, berada di sana sampai jam enam pagi. Menunggu Mama diurusi agar tak sempat bertanya banyak hal lagi kepadaku.Benar saja, sesampainya di sana, Aku mendapati Mama sudah didorong menuju ruang operasi. Aku pun bernafas lega, kemudian mengikuti brankar Mama agak jauh. Aku tetap khawatir jika Mama masih sadar dan kembali bertanya. Jadi, Aku memilih mengikuti dari jarak jauh.Ku percepat langkah saat melihat ruangan yang berdaun pintu dua, di atasnya dipasangi seperti lampu sirine. Aku berpikir jika itu adalah ruangan operasi yang dimaksud.“Ma!” panggil ku seraya berlari. “Tunggu, Sus!” pinta ku karena tak mendapati kedua perawat yang mendorong brankar Mama berhenti.“Saya mau ketemu Mama saya dulu!” pintaku seraya mendekati Mama.“Maaf, pasien sudah dalam pengaruh bius. Silakan keluarga menunggu di luar!” sahut perawat yang mendorong brankar tersebut, tanpa menghentikan langkahnya.Ada kecewa karena kebodohanku sendiri. Bagaimana bisa Aku meninggalkan Mama sebelum Ia dibius, hanya karena takut dicecar pertanyaan. “Mama, tadi Mama nyariin Alea enggak?” tanya ku berurai air mata, seraya menatap daun pintu yang sudah tertutup rapat.“Maafin, Lea!” tangisku pun pecah beriringan dengan rasa sesal.“Permisi!” ucap dua orang tenaga kesehatan yang sudah menggunakan APD lengkap. Keberadaan ku yang benar-benar berada di depan pintu hampir tak berjarak lah, yang membuatku menghalangi jalan seseorang untuk masuk ke ruang operasi.“Dokter ya? Tolong selamatkan Ibu saya ya Dok!” pintaku memohon. Padahal, Aku tak tahu apakah orang yang berada di hadapanku adalah seorang dokter atau bukan.“Kami akan berusaha semaksimal mungkin, Mbak berdoa saja!” ucapnya penuh kesabaran.“Baik, Dok.”“Jadi, bisa saya permisi?” tanyanya lagi membuat ku tersadar bahwa Aku telah menghalangi jalan.“Ah, iya. Silakan!”Aku pun segera beranjak dari tempat berdiri, memberikan jalan kepada dua tenaga kesehatan tersebut memasuki ruangan tindakan operasi.Aku duduk di kursi tunggu, menundukkan pandanganku. Berpikir dan berdzikir demi keselamatan sang Ibu.“Minum!”Seseorang menyodorkan air mineral botol kemasan 600 ml. Aku pun mendongak dan mendapati Ruslan kini tengah berdiri di depanku.“Terima kasih,” sahutku seraya menerima botol air mineral tersebut, membukanya kemudian meneguknya sampai habis setengah botol.“Yang bayar rumah sakit dan... ““Pak Zen. Beliau yang bayar,” potong Ruslan yang sudah mengerti kemana arah pembicaraanku.“Tapi kartunya... ““Itu disimpan saja, Nona. Untuk bekal,” ucapnya lagi.“Oh iya, ini sarapannya!” Ruslan pun menyodorkan bingkisan lain kepadaku, seraya duduk di sampingku. “Tuan Zen belum bisa ke sini. Urusan rumah dan urusan kantornya cukup genting,” ucapnya lagi tanpa diminta.Aku pun menganggukkan kepala, memaklumi apa yang harus dilakukan Zen. Lagipula, siapa Aku? Dibayarkan untuk pengobatan Mama saja Aku sudah sangat bersyukur.Aku menerima bingkisan itu. Jujur saja, meskipun hatiku sedang kacau, tapi Aku merasakan perut sangat lapar dan melilit. Apalagi, Aku memiliki riwayat penyakit gerd.“Pak Ruslan enggak makan?” tanya ku karena Ruslan tak membuka kotak apapun.“Saya sudah sarapan.”Aku hanya mengangguk saja dan segera melahap makanan itu sampai tandas. Setelah selesai, Aku pun permisi untuk mencari wastafel.Aku berjalan menuju ruang operasi. Namun, Ia dikejutkan dengan keberadaan dua orang polisi yang mendorong seorang lelaki dengan tangan terikat ke belakang.Aku memperhatikan kejadian itu dengan seksama, sampai di satu sisi, Aku jelas melihat siapa lelaki yang ditangkap polisi di rumah sakit ini.“Pak Rafli!” gumam ku lirih.*Bersambung*Aku terkejut melihat hal itu. Aku pun ketakutan dan tak ingin berlama-lama di sana.Namun sayang, ekor mata pak Rafli melihat keberadaanku yang tak menggunakan masker. Di sekolah, Aku memang pernah mengenakan kerudung saat acara maulid, sehingga tak sulit bagi pak Rafli untuk mengenaliku. Pak Rafli nampak mengatakan sesuatu kepadaku, namun hanya dengan gerakan bibir. Hanya saja, ketakutanku membuat gadis itu tak ingin tahu apa yang diucapkan oleh pak Rafli. Aku hanya ingin kabur dari sana dan tak terseret oleh kasus yang tak sempat Ia geluti. Aku hanya sempat mampir di sana, itu yang selalu Ia tekankan pada dirinya sendiri.“Mbak!”Suara bariton seseorang membuyarkan lamunan Alea yang mengiringi kepergian pak Rafli dan kedua polisi keluar lobi rumah sakit. Kehebohan yang mulai meredup, tak serta merta membuat hatiku kembali tenang.“Mbak!” panggil seseorang lagi. Kali ini, pundakku ditepuk cukup keras.“Iya.” Aku melirik dan men
“O-, masih bisa dicari.”“Tapi hanya bisa nerima dari golongan darah yang sama,” sangkalku. Aku merasa tak tenang saat mendengar hal itu.“Kalau enggak ada, Nona bisa mendonorkan darah Nona,” usul Ruslan membuat ku mengerutkan kening.“Golongan darah kami beda,” ucap ku membuat Ruslan yang kini mengerutkan keningnya.“Beda?” tanya Ruslan seraya menatap ku tak percaya.“Ya... bisa saja Aku samanya kaya Ayah. Kenapa jadi masalah?” ketus ku. Aku cukup kesal dengan Ruslan yang terlalu banyak bertanya.“Oh, enggak apa-apa, Nona. Permisi, saya mau carikan dulu kantong darahnya,” ucap Ruslan seraya berlalu pergi.Aku tak menjawab lagi, hanya menghembuskan nafas kasar, kemudian ku dudukkan bokong di kursi tunggu, tak jauh dari ruang operasi.Sudah hampir dua jam operasi dilakukan, namun tak ada tanda-tanda operasi akan berakhir. Bahkan, lampu yang berada di atas pintu ruang operasi pun masih berwarna merah.“Mb
“Apa, Pak?” tanya Zen semakin penasaran saat melihat keterdiaman pak Fandi.“Gay,” ucap pak Fandi pada akhirnya.“Appa?” pekik Zen setengah berteriak. “Biadab, dasar!” umpat Zen tepat di depan pak Fandi.“Masih mau diam?” tanya pak Fandi seraya menautkan alisnya.Zen menatap manik mata pak Fandi, sahabat almarhumah ibunya itu memang nampak tak suka kebohongan. “Betulkah ucapan Bapak?” tanya Zen lagi untuk lebih meyakinkan.“Nak Zen tahu dan kenal jelas siapa saya,” ucapnya lagi. Kemudian berlalu meninggalkan Zen yang masih mematung sendiri.Setelah tercenung beberapa saat, Zen pun akhirnya melangkahkan kakinya, mengikuti pak Fandi yang sudah berjalan terlebih dahulu.Zen duduk di sofa, tepat di samping pak Fandi.“Baiklah, Saya akan membacakan kembali surat wasiat harta yang sudah dituliskan oleh mendiang... mendiang bu Alisa. Saya hanya khawatir ada yang lupa dengan isinya,” ucap pak Fandi seraya menatap ke arah pak
“Zen mohon sudahi, Pa! Semua ini milik Zen dari almarhumah. Kenapa harus pindah tangan kepada Tante Rima? Zen merasa dirampok. Bukankah mempertahankan harta benda dari tangan perampok bisa mendapatkan pahala syahid?” ucap Zen seraya menaikkan satu sudut bibir nya.“Iya. Lanjutkan saja pak Fandi!” ucap Fatan pada akhirnya. Sungguh Ia merasa dipermalukan oleh Zen, meskipun di sisi hati lainnya Ia mengatakan bahwa ucapan Zen benar.“Enggak bisa, Pa...!” seru Rima dengan amarah yang mulai Ia perlihatkan, yang selama ini tertutupi oleh kepura-puraan.“Ssstt...!” Pak Fatan memberi isyarat agar istrinya diam dan tak menambah masalah.“Enggak. Jangan nyuruh Bunda diam sedangkan mulutnya anakmu itu kaya tempat sampah. Beraninya mengatakan saya perampok, padahal... “Plakkk...Tanpa sadar, Fatan menampar pipi Rima hingga menimbulkan suara yang cukup nyaring. Semua orang yang berada di sana terdiam, tak pernah membayangkan bahwa pak Fatan y
“Anak kesayangan Papa, kelihatan aslinya,” celetuk Zen membuat pak Fatan menarik nafasnya dalam-dalam.“Dia hanya membela Papa,” sahut lelaki paruh baya yang menjadi penyebab lahirnya Zen ke dunia.“Apapun yang Aku katakan tak akan pernah didengar, jadi buat apa lagi Aku harus menunjukkan kebenaran. Biarlah, nanti juga akan terbuka siapa yang benar dan siapa yang salah,” sahut Zen tak ingin memperpanjang perdebatannya lagi dengan pak Fatan. Ibaratkan ceret yang tertutup, diisi air apapun ia tak akan mampu menampungnya. Berbeda jika tutupnya dibuka, maka air apapun akan masuk, terkecuali si pemilik memilah dan memilih air apa yang akan diterima ceret. Seperti itulah, pola pikir dan hati manusia.“Bukannya begitu Zen... ““Tolong dilanjut, Pak! Ini sudah hampir tengah malam. Kita semua tentu butuh istirahat.” Zen memotong ucapan pak Fatan yang Ia yakini hanya ucapan pembelaan saja.Pak Fatan menutup mulutnya kembali. Ia sadar betul bahwa Ze
Zen mengeratkan kepalan tangannya karena sakit hati dengan apa yang diucapkan oleh pak Fatan. Bahkan, Ia masih mengingat wajah sinis dan penuh kemenangan dari wajah Renisa.Zen merasakan ada telapak tangan yang menenangkan di pundaknya. Ia pun menoleh ke arah pak Fandi yang berusaha menenagkannya. “Saya sendirian, Pak. Saya sebatang kara,” lirih suara Zen, namun masih jelas terdengar di telinga pak Fandi.“Nak Zen tenang saja, ada Saya di pihak nak Zen. Juga... Jangan lupa, saat ini nak Zen sudah punya istri.”Zen tersenyum kecut, kemudian melangkahkan kakinya untuk keluar dari rumah itu lebih dulu.“Bapak lupa, Saya belum mengenal siapa istri Saya. Apa pernikahan ini juga akan berhasil atau tidak,” ucap Zen seraya terkekeh. “Sudahlah Pak, jangan terlalu menghibur Saya. Tapi... “ ucap Zen seraya menghentikkan langkahnya sesaat, menatap ke arah pak Fandi. “Saya mengucapkan banyak banyak terima kasih, Pak! Jasa Bapak sangat besar buat saya, dan Saya
Pletakkk...“Awww... “ keluhku saat sesuatu terasa menghujam di kening. Rasanya seperti palu godam yang mengayun ke arah kening.“Hahahahahaha... “ rasanya ada suara buto ijo yang terdengar begitu membahana, sangat dekat denganku.“Hey, bangun!” lirih suara Santi, teman satu bangku denganku seraya mencubit pahaku cukup keras. Sungguh berbanding terbalik dengan suaranya yang tak mungkin terdengar sampai ke depan kelas.“Awww... “ teriakku, membuat tawa seisi kelas kembali membahana.“Lea! Lea! Jangan karena kamu bisa mengerjakan semua soal, membuat Saya memaklumi kebiasaan barumu. Jangan tidur di kelas!” gelegar suara pak Yahya begitu memekakan telinga.“Ya ampun, Aku masih di kelas ya?” tanyaku begitu polosnya.“Huuuuuu... “ sorak membahana dari seisi kelas.“Mentang-mentang ini hari terakhir pemantapan, kamu seenaknya tidur di kelas, sedangkan Saya berpeluh banyak karena berupaya keras membuat kalian semua paha
“Bagaimana kabarnya, anak-anakku?” tanya bu Salsa dengan suara yang bergetar.“Baik, Bu!” jawab kami serempak.Kulihat bu Salsa tak seperti biasanya yang galak dan judes pada siswa. Wanita cantik berhijab nude itu selalu tak suka apabila mendengar kelas berisik, atau melihat sampah permen, pasti semua siswa yang berada di sekitarnya akan terkena dampak cabutin rumput lapangan atau taman. Tapi kali ini, nampak sekali jika Ia sedang tertekan.Keringat besar sudah mengalir dari dahiku saat Ku lihat sosok yang menemani bu Salsa, kini ikut masuk dengan gagah.“Selamat siang!” ucapnya dengan tersenyum ramah, namun tak serta merta membuat kami balas beramah tamah.“Kok pada tegang banget, enggak ada yang jawab sapaan Saya?” tanya petugas berbaju coklat itu. Di dadanya, tertulis nama Irwan P.“Siang!” jawab teman-temanku serentak, kecuali Aku.“Silakan Bu, sambil duduk saja!” Pak Yahya menyodorkan kursi miliknya kepada bu Salsa.