Share

Sungguh Tega

"Bu, nggak usah repot lah, bawa makanan kemari."

Kudengar Mas Raka bicara dengan ibu di ruang tamu.

"Memang kenapa? Aisya juga senang aja, kan? Ibu cuma mau memastikan Aisya mengkonsumsi makanan yang bagus untuk diri dan janinnya. Salah?"

Hela napas mas Raka terdengar. Aku yang kebetulan duduk di sofa ruang tengah, dekat pintu sangat jelas mendengarnya. Mungkin Mas Raka pikir aku di kamar, karena memang pamit ke kamar tadi.

"Bu, aku hanya nggak mau Aisya jadi bergantung sama ibu, terus jadi kebiasaan. Nanti malah nggak tahu apa-apa." Ucap mas Raka. Aku tahu ini alasan dia agar ibu tak lagi membawa makanan.

"Jangan salah! Istri kamu itu paket komplit. Masak jago. Beresin rumah juga jago. Nggak mungkin sembilan bulan ibu dan umminya bantu, tiba-tiba nggak bisa apa-apa nanti. Kamu ini, ya...., Bukannya senang ibunya dekat dengan istrinya, malah seolah meminta ibu tak mikirin."

Ibu mertuaku nampaknya tak suka mas Raka melarangnya datang membawa makanan.

"Bu, maksud Raka itu nggak mau ngerepotin ibu."

Kudengar Mas Raka kembali memberikan alasan.

"Ya sudah kalau begitu. Karena ibu merasa tak direpotkan, kamu tak berhak melarang ibu."

Hi...hi.... Jadi lucu, kan. Ucapannya sendiri jadi pembenaran untuk ibu, tetap menyiapkan gizi untukku dan calon cucunya.

"Bu...."

"Sudah sana.... Ojek ibu sebentar lagi datang. Pokoknya jangan buat Aisya stres!" Ultimatum ibu pada mas Raka. "Perhatikan makanannya. Beri dia rasa nyaman menjalani kehamilannya."

Panjang wejangan ibu untuk Mas Raka. Aku yang mendengarnya dibuat senyam-senyum senang.

Tuh, dapat kuliah gratis tentang bagaimana bersikap ke perempuan hamil. Langsung dari pawangnya!

Tak lama, karena aku merasa ojek ibu sudah dekat, aku pun keluar menghampiri.

"Maaf ya, Bu. Aisya lama." Ucapku, duduk di sebelah ibu.

Kulirik mas Raka yang memandangku penuh arti. Tak tahu apa yang sedang dia rencanakan di otaknya itu.

"Biarin! Kamu itu memang harus banyak istirahat. Lain kali kalau mau keluar, jangan jauh dari rumah, ya...."

"Siap, ibu...." Balasku dengan senyum mengembang.

"Eh tuh! Ojek ibu sudah tiba. Ibu pulang dulu. Pokoknya itu makanan di kulkas tinggal dipanaskan!" Kembali ibu berpesan padaku dan pada mas Raka.

"Lusa ibu bawakan menu baru." Ucap ibu sembari memakai sepatunya.

Pandangannya tertuju pada Mas Raka yang pasrah. Wajahnya seperti orang yang kalah selepas berperang.

Ibu sudah pergi. Aku berbalik segera. Namun, baru selangkah, Mas Raka memintaku duduk menemaninya di teras.

Tumben!

"Ibu nanya tentang makanan dua hari lalu?"

"Nggak. Ibu merasa senang, menganggap makanan itu habis oleh kita." Balasku, duduk di sebelahnya.

"Kalau begitu yang ada di dalam, kita bagi saja sama yang lain. Tadi pas pulang aku lewat jalan belakang. Banyak tuh, rumah warga yang sederhana sekali, dipinggiran perumahan ini. Mereka pasti senang kalau diberikan makanan."

Oh, kukira mas Raka akan membahas apa gitu. Ajakan liburan-kah, atau mungkin umroh bareng sesuai janjinya padaku di awal pernikahan. Atau kalau tidak yah membicarakan jangka panjang tentang anaknya ini, yang masih berenang di dalam air ketuban di rahimku.

"Terserah Mas saja mau diapakan. Aku berdebat hal ini pun percuma, mas."

Aku berucap, lalu minta izin masuk ke dalam.

Sebenarnya aku tak yakin alasannya agar aku tak gemuk hanya karena tak enak di pandang. Pasti ada yang lebih dari itu. Ingin ditanyakan, takut dia tersinggung.

"Sayang, tolonglah. Aku tak mau pernikahan kita harus berakhir sesuai perjanjian yang kita sepakati."

Mas Raka rupanya mengejar langkahku. Tunggu! Dia bilang Kita sepakati? Aku nggak salah dengar, kan?

Refleks aku berbalik. Mas Raka terkejut.

"Mas, sejak kapan perjanjian itu KITA SEPAKATI? Aku menyepakati itu karena Mas yang minta tanda tangan. Lagian kalau memang harus berujung seperti yang Mas tulis, itu kan, Mas yang tulis sendiri. Memang aku dilibatkan?" Tanyaku dengan alis terangkat, tetap dengan tenang, memandangi mas Raka tanpa sedikitpun memandangnya remeh.

"Makanya, makan kamu direm, dong," ucap Mas Raka, lagi-lagi tak mempertimbangkan ucapannya.

"Mas, aku tahu mas berilmu. Mas tahu apa resiko jika aku menahan napsu makanku ketika aku ingin. Jika saja aku tak hamil, mungkin aku bisa. Tapi, aku mengandung calon manusia. Dia butuh asupan untuk bertumbuh. Mas sadari itu??"

"Iya, aku sadar. Tapi, bisa kan tidak harus gemuk kiri-kanan? Ada kok orang yang hamil malah nggak nampak dia hamil."

Mulai...

Mas Raka mulai membandingkan kehamilanku dengan perempuan lain di luaran sana. Memang enak rasanya??

"Kalau begitu kenapa nggak cari modelan begitu? Memang sama setiap kondisi dan fisik orang? Please deh, Mas. Bisa tidak untuk tak lagi membahas hal ini?" Pintaku memelas. Aku capek sekarang.

"Okelah! Aku janji tak bahas itu. Tapi, ingat ya terserah kamu mau apa aja, asal tidak untuk satu itu. Satu yang merubah fisik kamu menjadi gemuk atau gendut!"

Kuhela napas berat, lalu kutinggalkan mas Raka. Aku tidak masuk ke kamar, melainkan masuk ke kamar tamu yang biasa ditempati ummi abah jika menginap.

Aku jadi kangen ummi abah yang tak pernah melarangku makan apa saja. Justru abah dan ummi akan marah kalau aku diet dan seterusnya.

Kupandangi jalan di depan rumah yang ramai. Rumahku besar, namun rasanya sumpek! Serba salah. Sementara aku sadar perutku mulai merasa lapar kembali.

"Sayang, jangan marah dong...."

Mas Raka muncul, langsung memeluk pinggangku.

"Mas, aku butuh sendiri." Ucapku, berusaha melepas kait tangannya yang kokoh itu.

"Sebentar saja. Aku kangen kamu." Bisiknya di belakang telingaku.

Maka kubiarkan dia memelukku. Kurang lebih lima belas menit dalam posisi itu, mas Raka lalu melepas tangannya.

"Aku lapar. Buatkan makan, ya...." Pintanya.

Tanpa memberikan jawaban, aku pun langsung bergerak ke dapur.

Kubuka kulkas lebar, lalu mencari food container yang berisi ayam lengkuas yang siap goreng. Salah satu bawaan ibu selain bakso.

Setelah ayam lengkuas jadi, aku pun menghangatkan untuknya sup kimlo agar mas Raka makan tak kering-kering amat. Barulah setelah semuanya siap, aku memanggilnya ke kamar.

"Mas, makannya sudah siap." Ucapku duduk di meja riasku.

"Temani aku makan, ya...."

Kupandangi dia. Yah seperti yang kubilang kadang mas Raka itu berubah manis, jutek, bahkan sekarang seperti bocah minta di temani ibunya makan.

Mau tak mau aku mengangguk juga.

"Kamu temani aku, cukup duduk saja. Tak perlu ikut makan. Sudah makan, kan tadi?!"

Mas Raka memandangku. Benar menyebalkan Mas Raka ini. Teganya dia bilang begitu untuk mengingatkan aku kalau dia minta ditemani bukan makan bersama.

"Yaa Allah, Mas..., hanya nggak mau aku gemuk, kamu sampai tak memikirkan perasaanku??"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status