Share

Ketahuan Makan Malam

Malam telah larut. Dengkuran mas Raka sudah kudengar. Kuelus perutku yang terasa lapar.

Sungguh, kenapa harus aku terjebak dalam kondisi pernikahan model begini. Tak pernah terbayang sebelumnya, ternyata Mas Raka punya sikap dan pandangan aneh begini.

Saking tak tahannya dengan rasa lapar yang menyiksaku, belum lagi terbayang janinku yang andai bisa berteriak mungkin saja dia akan berteriak, maka kuberanikan diri turun dari kasur.

Perlahan menuju pintu. Membukanya perlahan.

Setelah berhasil keluar, aku pun harus menutupnya kembali rapat. Agar tak ada cahaya yang masuk ke dalam kamar. Beruntung Mas Raka setuju dengan permintaanku yang terbiasa tidur tanpa penerangan.

Haaah. Kuatur napasku saat sudah berdiri tenang depan pintu. Membayangkan diri mengendap begini, persis pencuri di rumah sendiri.

Perlahan aku menuju ke dapur. Aku ingat kalau ibu membawa camilan selain makanan berat. Maka, kubuka kulkas kucari roti mariam yang menggugah selera tatkala kelaparan begini.

Kuambil empat biji lalu kupanggang di atas wajan. Tak lupa kuah kari dan sepotong dada ayamnya kuhangatkan. Oh, membaui aromanya saja sudah membuatku menelan ludah.

Begitu beres kutata semua di atas meja. Sebelum duduk aku meraih gelas dan menuangkan air putih ke dalamnya hingga nyaris penuh.

Setelah itu kunikmati makanan di hadapanku, melupakan wajah Mas Raka yang pasti terlelap.

Alhamdulillah, perutku terisi. Kenyang dan dipastikan aku akan tidur nyenyak malam ini.

Tak lupa untuk menghilangkan jejak untuk Mas Raka yang lumayan jeli itu, kubersihkan semuanya dahulu. Kucuci tempat yang kugunakan dan mengembalikan pada tempatnya.

Tak lupa memastikan meja dan tempat memasak bersih seperti semula.

Berharap saat bangun subuh nanti, Mas Raka bersikap manis padaku. Atau setidaknya mengizinkan aku makan apa saja yang aku inginkan.

Yah, semoga.

*****

"Semalam kamu makan, ya?"

Kuangkat wajah, kupandangi Mas Raka. Jelas lehernya dan wajahnya masih berkeringat karena baru saja masuk dari jogging mengitari kompleks.

Kenapa dia bisa tau?

"Aku sebelum tidur sudah menghitung jumlah roti mariam dan karinya. Bahkan semua yang ada di kulkas. Roti mariam berkurang empat dan dada ayam kari tak ada."

Kuturunkan gelas yang telah menyisakan sepertiga dari susu yang kuminum.

"Iya, aku yang makan semalam. Aku lapar." Jawabku padanya.

"Kan sudah aku bilang, batasi dong. Gimana kalau kamu gemuk?! Jangan ngeyel bisa, kan?"

Kutahan greget yang ada sejak beberapa hari lalu. Semakin kesini, Mas Raka semakin menguji kesabaranku.

"Mas sudah deh. Yang aku kandung ini anak Mas bukan anak tetangga. Peduli sedikit dengan perkembangannya memangnya sulit? Okelah aku tak peduli dengan perjanjian itu. Aku gemuk demi anakku. Terserah jika perjanjian itu akan dieksekusi. Kalau memang itu mau Mas, aku terima." Ucapku menatap manik matanya yang menyorot padaku.

Tak peduli lagi dengan apa yang akan Mas Raka lakukan, aku hanya mau peduli dengan perkembangan janin di kandunganku. Aku masih terngiang ucapan Aira tempo hari.

"Semua pilihan ada di kamu. Yang hamil kamu. Yang punya badan juga kamu. Kita tak tahu apa yang menjadi ketakutan suami kamu. Yang terpenting sekarang jangan sampai janin kamu kekurangan gizinya. Jika kamu abai pada janin ini, tak memberikan makanan sehat dan bergizi, serta tak makan teratur, aku khawatir dia akan lahir dengan resiko berat badan rendah." Ucap Aira sesaat setelah mobil sampai di depan rumah. Sebelum aku turun.

"Sayang..., Justru aku peduli sama kamu." Mas Raka mengejar langkahku.

"Mas bukan peduli sama aku, bukan juga sama calon anak kita. Mas hanya peduli sama badan aku, kan?"

Tatapku padanya. Mas Raka terdiam. Bibirnya mengatup. Aku memilih meninggalkan Mas Raka, naik ke lantai dua lalu berdiri di balkon seorang diri. Menumpahkan semua kemelut dihati.

Aku tak pernah stress seperti sekarang ini. Dulu saja saat bekerja, sebesar apa pun tekanan tak buat air mataku tumpah, dadaku sesak seperti dihimpit bebatuan.

Sedang menangis dalam diamku, sebuah mobil Avanza memasuki halaman. Lalu dari dalam turun seorang perempuan berblazer putih dengan hijab yang juga berwarna putih.

Itu Syerin. Adik Mas Raka yang menjadi dokter kandungan di sebuah rumah sakit.

Segera kuhapus air mataku lalu bersegera masuk ke kamar mandi. Memastikan tak ada air mata atau sisa air mata yang menunjukkan kalau aku baru saja menangis.

Sesedih bahkan sesakit apa pun aku tak boleh menampakkannya pada keluargaku, pun pada keluarga Mas Raka.

"Kak Aisya...." Langkah kaki menaiki tangga terdengar. Aku pun keluar kamar mandi, menyambutnya.

"Rin...." Pelukku.

"Syerin baru datang. Kata ibu kakak hamil. Selamat ya, Kak. Dijaga kandungannya, jangan kekurangan asam folat. Pokoknya calon ponakanku ini harus sehat!" Ucapnya lalu izin mengelus perutku.

"Nah, mulai sekarang aku dokter kandungan buat kakak. Kakak belum pernah periksa, kan?"

Aku menggeleng.

"Yah dasar Mas Raka! Nggak peka sih, bawa kakak ke rumah sakit. Ini tiga bulan pertama kehamilan yang sangat menentukan."

Syerin menampakkan wajah kesalnya. Dia pun lalu mengambil langkah cepat, berlari kecil menuruni tangga. Aku cukup memerhatikan dari atas.

Dia menemui kakaknya yang aneh itu, yang kehilangan peka sebab takut aku gemuk.

"Mas, malam nanti bawa Kak Aisya ke tempatku. Sepertinya aku harus memeriksa kehamilannya. Wajahnya pias gitu. Ada masalah?"

Mas Raka memandangku dari bawah. Aku balas memandanginya.

Dipikirku sekarang hanya berharap semoga dia tak salah paham, mengira aku cerita sesuatu pada adiknya itu. Tapi tatapnya jelas mengandung kesalahpahaman.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status