**
"Ya kalo sudah jodoh, mau gimana lagi Bu?! Mau perawan tua, mau perawan ting-ting, semua sama aja di mata Allah." Ilham menjawab lugas, ia terlihat tenang setenang air lautan. Menatap ponselnya sekali lagi, Ilham mengecek baterai ponsel yang tinggal tiga puluh persen."Ya kalo bisa cari yang ting-ting, yang kinyis-kinyis. Kamu tuh ya, masih perjaka, ganteng. Masa iya mau sama perawan tua, miskin lagi. Enggak deh Ham, coba pikirkan lagi niatnya. Kamu pasti mleyot gara-gara belum sarapan tadi." Bu Wiryo berceramah, sesekali menepuk lutut putranya dengan nada bicara yang menggebu-gebu."Buat apa Bu yang ting-ting, yang muda, kalo akhirnya juga kagak bener," timpal Ilham lantas memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket jeans yang ia pakai."Maksud kamu Nela? Udah dong jangan pikirin Nela lagi. Dia memang gadis gak bener, udah dipinang eh malah hamidun sama cowok lain. Bener-bener nggak bener itu bocah," ucap Bu Wiryo sambil menggelengkan kepala dan berdecap."Dia pilihan ibu kan waktu itu?!" Ilham mengomentari membuat Bu Wiryo diam seribu bahasa dan tak mampu berkicau lagi. "Itu menandakan bahwa akhlak yang ting-ting sama yang ayu dan muda tidak kalah baik sama yang perawan tua. Udah deh Bu, jangan ceramah lagi soal jodoh. Ilham puyeng, Ilham mau mengalir aja sama nasib yang diberikan Allah.""Yang mulai kamu duluan kan tadi?" Bu Wiryo menyanggah, meski begitu ia tidak berani menatap wajah putranya."Iya, iya, Ilham yang mulai tadi." Ilham mengalah, ia hanya tidak ingin terdengar berisik di ruang tunggu pasien. "Bu, aku tak pulang dulu ya. Mau mandi ini, nanti agak sorean paling jemput Mbak Sum ke terminal. Kasihan Bu, kita harus nolong orang yang kesusahan.""Lha terus Bu Saritun bagaimana?" Bu Wiryo nampak panik saat Ilham berpamitan ingin pulang terlebih dahulu."Ya Bu Saritun Ibu yang nungguinlah. Bentar aja Bu, aku pulang dulu ya. Assalamualaikum," ucap Ilham lantas menyalami tangan ibunya dan beranjak pergi."Wa'alaikum salam. Nah ini nih! Punya tetangga tua aja ngerepotin banget. Udah pingsan, gotongan, eh masih suruh nunggu. Dasar si Sum, emang anak kagak tahu diri. Hmm..."**Siang itu Sumiyati lantas mengurus ijin untuk pulang kampung, berbekal informasi yang dikirimkan via W******p oleh Ilham, Sumiyati diijinkan pulang dan hanya bekerja selama setengah hari.Sumiyati tak tahu harus bagaimana bersikap, ia tidak ingin menyinggung Susilo tapi ia sendiri juga merasa berat dengan keadaan ibunya. Setelah dipikir cukup lama ditambah lagi pertolongan Ilham, Sumiyati akhirnya nekat pulang untuk menjenguk ibunya yang sakit.Tidak peduli bagaimana Susilo akan marah nanti, Sumiyati tetap pada pendiriannya untuk pulang. Setelah memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam tas ransel yang ia bawa, Sumiyati bergegas pamit pada Bu Retno -si pemilik kos-kosan."Bu, saya pulang kampung dulu ya," pamit Sumiyati pada Bu Retno yang kala itu sedang menyuapi anak kembarnya makan."Kamu mau pulang kampung Sum? Sama siapa? Susilo mana?" tanya Bu Retno sambil berlari ke arah Sumiyati yang berdiri di depan teras rumah."Sendirian Bu, ibu saya sakit di kampung." Sumiyati menjawab pelan, wajahnya murung dan penuh beban."Udah pamit sama Susilo? Ntar dia marah-marah lagi sama kamu?""Udah Bu tapi dia tetep gak mau saya ajak pulang kampung. Ya mau bagaimana lagi, ibu lagi sakit dan saya gak bisa abai terus-menerus.""Pulang kampung berapa hari Sum? Kerjaan gak papa ditinggal lama?" Bu Retno nampak serius, sebagai ibu kos dia begitu perhatian pada Sumiyati."Nggak tahu Bu, nanti kalo ibu cepetan pulih ya saya segera balik kalau enggak ya nanti saya kabarin Ibu lagi deh." Sumiyati terlihat menggendong tas ranselnya yang nampak berat.Bu Retno menganggukkan kepala tanda paham. "Ya sudah, hati-hati di jalan ya Sum. Nanti kalo Susilo datang biar aku kasih ceramah orangnya.""Iya Bu, makasih ya. Kalau begitu saya balik dulu ya Bu, assalamualaikum.""Wa'alaikum salam, hati-hati ya Sum." Bu Retno menatap kepergian rekan ngerumpinya dengan tatapan hampa. Ya, selama ini keberadaan Sumiyati memang bermanfaat untuk dirinya. Selain membantu membelanjakan sayur setiap pagi, Sumiyati juga membantunya momong si kembar. Jadi bisa dibayangkan jika gadis itu tidak ada, betapa repotnya Retno setelah ini.Sementara itu Sumiyati lantas pergi menuju ke terminal dengan menaiki angkot. Berbekal uang yang dipinjamkan Ilham, Sumiyati membeli tiket bus dan segera pulang kampung secepatnya.Berterima kasih sekali telah bertemu dengan orang baik seperti Ilham, Sumiyati berjanji akan membalas kebaikan pria itu di lain hari.Rasa lelah yang mendera membuat wanita usia tiga puluh tahun itu terlelap dalam bus, melintasi beberapa kota besar, menempuh perjalanan jauh selama enam jam untuk pulang kampung dan menemui ibunya yang sakit. Semoga saja ibunya segera sadar dan bisa pulih kembali.**Perjalanan jauh dengan menggunakan bus memang melelahkan tapi apa boleh buat Sumiyati harus menempuhnya dengan sabar. Jarak yang membentang dari Semarang ke Wonogiri memang jauh, ia membutuhkan sekitar enam jam untuk bisa sampai ke kampung halamannya.Setelah enam jam berada di dalam bus, tujuan akhirnya telah tiba. Ia membuka ponselnya, memberitahu pada Ilham bahwa ia telah sampai di terminal. Sebelumnya ia sempat mengirim pesan bahwasanya bus yang membawanya pulang telah sampai di dekat kota sehingga Ilham bisa mulai berangkat dari kampung.Setelah mencari hampir sepuluh menit, keduanya akhirnya bertemu di salah satu pojok terminal. Dengan membawa ransel berat di punggung, ia menemui sosok pemuda tampan dengan jaket jeans warna biru yang ia punya."Mas Ilham?" Sumiyati memanggil dengan ragu, ia takut salah sapa dan berbuah malu."Iya, ini Mbak Sum?" Pria itu balas bertanya, menatap Sumiyati dengan bola mata bersinar lebar.Sumiyati mengangguk, ia melepas masker yang ia pakai lantas senyum. "Assalamualaikum Mas.""Wa'alaikum salam Mbak. Bingung nyarinya ya Mbak? Maaf, soalnya tadi mau jemput di dalam nggak dibolehin sama petugasnya. Maaf ya Mbak," ucap Ilham dengan sopan. "Oh ya kenalan dulu biar akrab. Saya Ilham Suntoro Mbak.""Sumiyati Mas," jawab Sum tak kalah ramah. Perlahan ia menjabat tangan pria yang diulurkan kepadanya. "Ibu saya bagaimana Mas keadannya? Maaf ya Mas udah ngrepotin Mas sejauh ini.""Ibu masih belum siuman Mbak, kata dokter ya kita memang harus sabar soalnya Bu Saritun itu sudah tua dan fisiknya juga sudah lemah. Doa saja Mbak semoga Bu Saritun cepat siuman dan pulih kembali. Oh ya, tasnya berat ya Mbak? Sini saya bawain. Pasti capek ya perjalanan jauh dari kota." Ilham menawarkan bantuan pada Sumiyati yang nampak tidak nyaman menggendong tas ranselnya."Nggak papa Mas, nggak berat kok." Sumiyati menggeleng, segan untuk mengatakan yang sebenarnya."Nggak papa Mbak, sini saya bawain." Ilham tak mau kalah, ia lantas meraih tas Sumiyati dan mau tak mau Sumiyati merelakan tas itu kini berada di gendongan punggung Ilham."Kebetulan saya bawa mobil tapi maaf Mbak mungkin mobilnya jelek jadi nanti klo tidak nyaman, maaf ya Mbak.""Nggak papa Mas, saya berterima kasih sekali Mas Ilham sudah bantuin saya sejauh ini. Nanti kalo tiba hari gajian, saya balikin lagi ya uangnya.""Mbak ini bicara apa sih?! Jangan bicarakan hal itu di sini Mbak, saya jadi nggak enak. Sekarang kita pulang atau makan dulu? Saya lihat Mbak kayaknya lelah gitu. Istirahat aja dulu gimana Mbak?"Sumiyati terdiam, ia nampak segan dengan segala keramahan yang ditawarkan Ilham kepadanya. Sudah tampan,muda, ramah, perhatian lagi. Sikap Ilham terbanding terbalik dengan sikap Mas Susilo.Astagfirullah! Sumiyati menggeleng pelan, ia memejamkan mata sejenak untuk mengusir pikiran buruknya terhadap susilo-calon suaminya."Gimana Mbak? Kok malah diam? Kita istirahat dulu ya, makan atau minum dulu. Saya lihat wajah Mbak pucat banget, Mbak tadi pasti belum makan. Iya kan?!" Ilham nampak khawatir, ia berjalan bersandingan dengan Sumiyati menuju ke luar terminal.Sumiyati masih diam, gadis itu bingung harus berucap apa. Kebaikan ilham memang tiada terkira jumlahnya. "Mas-""Iya Mbak?""Makasih ya untuk semuanya. Saya beruntung sekali memiliki tetangga sebaik Mas di kampung. Saya janji akan balas kebaikan Mas suatu hari nanti."Ilham tersenyum lalu menggeleng. "Nggak usah kayak gitu Mbak, tetangga tugasnya memang saling membantu. Tapi, ngomong-ngomong dimana calon suami Mbak? Kok nggak ikut? Apa dia sudah tahu kalo Bu Saritun sakit?"***Sumiyati hanya diam, wajahnya terlihat murung ketika pemuda yang baru saja ia kenal itu menanyakan tentang calon suaminya yang tidak ikut pulang bersamanya. Gadis itu mengenakan kembali masker duckbill yang ia pakai, kekecewaan yang tergambar di wajahnya tersamarkan ketika ia mengenakan kembali masker tersebut."Ah, pasti calon suami Mbak sibuk ya?! Dia pasti punya pekerjaan mapan sehingga tidak bisa pulang ke kampung sama Mbak. Wah beruntung sekali punya calon imam seperti itu," ucap Ilham meneruskan ucapannya ketika tahu Sumiyati tak bisa menjawab apa yang menjadi pertanyaannya. "Ayo Mbak, itu mobil saya yang warnanya hitam."Ilham tersenyum, ia menunjuk pada mobil sedan mulus warna hitam yang terparkir rapi di luar terminal. Sekali lagi Sumiyati merasa rendah sekaligus takjub, pemuda yang sangat ramah itu bahkan memiliki kendaraan pribadi yang cukup bagus untuk ditumpangi."Itu-itu mobilnya Mas?" Sumiyati bergumam lirih, merasa ragu untuk mengikuti langkah Ilham."Iya Mbak, kenapa
Sesampainya Sumiyati di rumah sakit, wajah gadis itu nampak menegang. Keadaan ibunya yang tak kunjung siuman menjadi beban tersendiri untuknya.Setelah memakai seragam berwarna biru untuk menjenguk ibunya yang masih dirawat di ICU, air mata Sumiyati sama sekali tidak bisa terbendung melihat kondisi Bu Saritun yang pucat dan terbujur tak sadarkan diri di atas ranjang putih."Assalamualaikum Bu, Sumiyati pulang. Ibu bangun ya, bukankah Ibu kangen banget sama Si Sum?" bisik Sumiyati di telinga kiri ibunya. Gadis itu menghapus air mata yang merembes di sudut mata kirinya. Kesedihan yang ia rasa akibat melihat ibunya seperti itu sama sekali tidak bisa dibendung.Hingga sang dokter jaga datang, meminta untuk Sumiyati keluar dan berjaga di luar sana. Sumiyati menarik napas, menerima perintah dokter meskipun ada berat yang terasa.Berjalan keluar dari ruangan Bu Saritun, Sumiyati harus menghadapi Bu Wiryo—ibu kandung dari Ilham Suntoro."Terima kasih ya Bu sudah bantu Ibu saya pergi ke rumah
Malam itu menjadi malam yang panjang bagi Sumiyati untuk merenung. Semua cerita yang disampaikan Bu Wiryo begitu jelas dan masih terngiang di kedua telinganya.Sumiyati tidak mampu terpejam, cerita yang diberikan Bu Wiryo benar-benar menguras energinya saat ini. Gadis itu menelan ludah, tidak terpikirkan bagaimana penderitaan ibunya kala itu. Rasa sakit yang menimpanya hingga kehilangan salah satu saraf yang berakibat fatal.Sekarang, setelah tahu semuanya, apakah Sumiyati berani untuk meninggalkan ibunya barang sejenak?! Gadis itu menarik napas, ia merasa gelisah luar biasa. Kata dokter yang ia temui beberapa jam yang lalu, kemungkinan untuk Bu Saritun sembuh hanya beberapa persen saja. Beliau memiliki luka dalam yang seseorang tidak pernah tahu betapa sakitnya penderitaan itu.Andai saja Allah memberi Sumiyati kesempatan maka Sumiyati akan menggunakan kesempatan itu sebaik mungkin. Ia tidak akan mengumpat ibunya lagi walau dalam hati, ia bahkan ikhlas lahir batin jika diminta untuk
Sumiyati melangkah cepat memasuki ruang ICU, mengabaikan perasaannya yang buruk terhadap telepon Susilo yang baru saja memporak-porandakan perasaannya. Tersenyum manis pada wanita tua yang telah mensgndungnya tersebut, Sumiyati menggenggam tangan Bu Saritun dengan penuh cinta."Assalamualaikum Bu, selamat pagi." Sumiyati menyapa ibunya di pagi yang cerah dan mulai panas tersebut. Sebuah senyuman ia haturkan pada sang ibunda yang lambat laun baru disadarinya telah berkorban banyak dalam hidupnya.Wanita tua dengan kepala dibalut perban itu tersenyum lemah, perlahan tangannya yang ringkih menyentuh pipi Sumiyati dengan lembut. "Wa'alaikum salam, Nduk. Selamat pagi."Keduanya terdiam seribu bahasa, hanya saling menatap satu sama lain seolah tidak ingin terpisahkan oleh jarak dan juga waktu.Menarik napas panjang, Sumiyati duduk di kursi yang sudah disediakan di dalam ruangan itu lalu menatap ibunya lekat-lekat. "Maafin Sum ya Bu, Sum bahkan tidak memiliki perhatian lebih untuk Ibu. Bahka
"Mas Ilham—" Sumiyati tertegun saat sosok berperawakan kurus tinggi dengan wajah tampan itu menyodorkan sebuah tisu ke arahnya. Dengan senyuman manis yang terlukis di bibirnya, Ilham mencoba memahami apa yang tengah terjadi pada diri Sumiyati saat ini. "Ambil tisu ini, hapus air mata yang sudah jatuh ke pipi. Saya tidak tahu kesedihan apa yang membuat kamu menangis, hanya saja saya peduli dan ikut bersedih saat melihat kamu menangis."Sumiyati menatap tisu berbungkus plastik warna pink tersebut dengan tatapan ragu, tisu dengan harga seribuan itu perlahan ia ambil dari tangan Ilham. "Terima kasih Mas."Gadis itu menunduk, mencabut tisu dari bungkus plastik lalu mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan lembut.Ilham menarik napas, ia duduk di sebelah Sumiyati dengan gusar. "Kamu lapar tidak? Sembari menunggu Bu Saritun pindah kamar, bagaimana jika kita jajan bubur ayam di depan rumah sakit? Aku dengar bubur ayam di pojok rumah sakit rasanya nikmat dan juga murah."Sumiyati meng
"Mau pinjam uang Bu?" Susilo mengulangi apa yang baru saja ia dengar dari ibunya. Rasanya ia menyesal karena telah mengangkat panggilan ibunya yang selalu saja terkait dengan uang."Iya, pinjam uang. Kamu ada 'kan? Kalo misal kagak ada coba deh kamu minta bantuan sama Sum. Demi adik iparnya, Ibu yakin kok Sum pasti mau. Dia kan baik hati, Sus.""Empat juta mana ada Bu?! Ibu tahu sendiri 'kan kalo aku sama Sum kerja mati-matian untuk biaya nikah kami akhir tahun ini." Susilo memberi pengertian, sedikit keberatan jika wanita yang sudah melahirkannya itu meminjam duit sebegitu besarnya."Kan masih akhir tahun, masih ada waktu tiga bulan lagi buat kembaliin duitnya. Lagipula duit segitu pasti kecil-lah buat Sumiyati, dia kan kerja di pabrik obat, gajinya besar setiap bulan. Harusnya Sum itu kasih duit sama Ibu jadi Ibu nggak perlu lagi minjam-minjam sama dia kayak orang lain."Susilo terdiam, ia terpaku sesaat dan bingung harus menjawab apa pada perkataan ibunya. Haruskah ia meminjami wan
"Apa Sum? Menunda pernikahan?" Susilo melebarkan bola matanya. Pria berusia dua puluh tujuh tahun itu mengatupkan bibir dan berwajah masam. "Kamu tidak bisa memutuskan dengan sepihak seperti itu Sum, kita sudah berjuang selama ini. Hanya karena ibumu sakit kamu rela menunda pernikahan kita? Hmm.... Aku sungguh tidak percaya.""Kalau begitu kirimkan saja uangnya Mas, nyawa ibuku jauh lebih penting dari apa pun." Sumiyati bersikeras, kali ini ia tidak ingin kalah dari Susilo. Ya, setiap kali Sumiyati meminta uangnya untuk hal-hal mendesak pasti Susilo tidak pernah memberinya. Tentu saja Sumiyati harus berhutang pada teman-temannya hingga akhirnya ia dijuluki si ratu hutang."Tapi Sum, uang itu—uang itu tidak ada," jawab Susilo mulai merendah. Ada nada bingung yang mampu ditangkap oleh Sumiyati sekarang. "Kalo kamu minta empat juta aku belum bisa kasih sekarang Sum.""Kenapa Mas? Uangnya tidak ada, tidak ada gimana maksudnya?" Sumiyati tercengang, jantungnya seolah dipukul palu besar. Ia
"Memangnya kalau ingin berbuat baik harus memiliki alasan ya Mbak?!" Ilham tiba-tiba membalik pertanyaan Sumiyati. Pertanyaan yang membuat Ilham bingung harus menjawab apa sebelumnya. Sumiyati hanya diam, ia menggelengkan kepala lalu kembali menunduk. Sepertinya ia terlalu lancang jika menanyakan alasan pribadi kenapa Ilham begitu ringan tangan terhadapnya. Mungkin saja Ilham memang memiliki sifat murah hati tersebut kepada siapa pun."Maaf Mas, saya cuma tanya aja. Mungkin sudah menjadi sifat Mas kali, suka menolong sesama." Sumiyati lantas meminta maaf atas apa yang sudah ia katakan sebelumnya. Ia tidak ingin Ilham merasa sungkan terhadapnya hanya karena pertanyaan aneh dan abstur tersebut."Kalo bisa kalau mau nolong itu jangan ada alasan Mbak, nanti Allah nggak ridho." Ilham lagi-lagi berkata dengan benar, perkataan yang membuat Sumiyati merasa bersalah luar dan dalam. Sumiyati menyadari kekeliruannya, gadis berambut panjang itu memilih untuk menganggukkan kepala tanpa menatap k