Share

Tak Terduga

Meskipun hanya letupan-letupan kecil, tapi jika terus kau usik lalu tersulut, suatu saat ia akan berkobar menjadi letusan besar. Lebih besar. Sangat besar. Dan kau tak lagi punya kendali untuk memadamkan."

_____________

Jemputan datang. Aku memilih duduk di depan bersama driver. Kubilang kalau sedang pusing dan berharap melihat pemandangan jalanan bisa meredakannya. Aroma bunga hutan menguar dari pengharum mobil. Serasa menghidu bau embun di hutan pinus. Sejuk menenangkan, tapi untuk menikmatinya ada perjalanan panjang yang harus kau tempuh.

Begitupun perjalanan hidup, ada jalan panjang menuju damai dan ketenangan. Menikmatinya adalah salah satu cara untuk bersyukur. Menerima dengan dada terbuka, belajar ikhlas dan bersabar sepanjang mata masih terbuka.

"Kalau pusing, itu ada minyak kayu putih, Mbak!" ujar Mas driver.

"Oh iya, makasih ... sudah mending kok."

Dari suaranya, sepertinya dia masih muda. Driver jaman sekarang memang tak bisa diremehkan. Tak melulu bapak-bapak. Banyak mahasiswa, karyawan, pekerja freelance maupun model yang bekerja sampingan menjadi driver. Kulirik sekilas, wajahnya boleh juga. Pipi sedikit chubby dengan hidung bangir dan sudut mata yang tajam. Kutaksir usianya tak lebih dari dua puluh dua. Seperti miriiip ... hmm siapa, ya? Kulirik lagi diam-diam. Ooh ya ya ya. Mirip mantan popcorn semasa SMA. Hi hi hi. Untuk ketigakalinya, kuurungkan niat untuk melirik. He he he. Jitak dikit! Itu zina mata, Rinda! Seorang istri harus selalu menjaga pandangan, dilarang genit apalagi keganjenan.

Sebuah benda kecil dan dingin menyentuh lenganku. Memang, tadi kulepas cardigan yang kukenakan, hanya menyisakan kemeja lengan pendek. Gerah. Padahal kota ini terkenal akan hawa dinginnya.

"Ehh!"

Aku menoleh. Pak Afnan mengulurkan minyak angin aroma teraphy.

"Kamu kan alergi minyak kayu putih," ujarnya.

"Eh, iya. Makasih, Pak!" balasku. Rupanya dia masih mengingatnya. Dengan berat hati kuterima. Meskipun sebenarnya aku tak suka aromanya. Lagipula, aku kan nggak sakit kepala sungguhan. Cuma sekadar alasan.

Satu olesan pura-pura di pelipis kanan, satu di kiri, dan satu olesan sungguhan di tengkuk. Paling tidak, biar tercium aromanya.

~ndaa~

Kami sampai di depan Hotel Bintang. Kulirik Pak Afnan di jok belakang. Masih sibuk dengan gawainya.

Tiga tahun lalu, aku pernah menulis satu cerita indah di tempat yang sama. Tanpa terasa bibir membentuk lengkungan senyum. Teringat kembali masa-masa itu. Aku turun dengan tas jinjing di tangan.

"Lho, Bapak ndak turun?" tanyaku heran. Pak Afnan masih di dalam mobil.

"Untuk?" tanyanya dengan alis sedikit terangkat.

"Bapak menginap di mana?" tanyaku lagi.

"Di rumah," jawabnya acuh.

Astagaaa, Rinda! Ini kan memang kota kelahirannya. Pertanyaan macam apa itu.

Mobil berlalu meninggalkanku setelah kuucapkan terima kasih pada si driver manis dan juga manager baik. Iya baik, karena sudah memberi tumpangan.

Kulangkahkan kaki menuju lobby hotel, mendatangi resepsionis, lalu bergegas mencari kamar setelah kunci sudah di tangan.

"Assalamualaikum," ucapku.

Kata Mas Ichsan, setiap kali masuk suatu ruangan baru, ada maupun tak ada orang, biasakan mengucap salam. Karena kita tak pernah tahu, bisa jadi ada makhluk lain di dalamnya.

Sebuah ranjang besar dengan sprei putih, fasilitas di sini cukup lengkap. Aku melepas sepatu, lalu menggantinya dengan sandal hotel. Lantainya dingin sekali. Tak betah jika harus berlama-lama telanjang kaki. Cuaca di sini memang dingin. Akan ada embun-embun terbentuk di kaca jendela ketika malam hingga pagi menyapa.

Kala itu, saat berlibur di kota ini, aku pernah masuk angin karena mandi sebelum shubuh. Padahal setelah beberapa guyuran merata di seluruh tubuh, kulanjutkan dengan berendam air hangat. Masih saja tubuh manja ini tak kuat. Untung saja ada Mas Ichsan yang selalu berhasil menghangatkanku. Dengan caranya sendiri, cara yang selalu kurindu.

Aku mengambil gawai. Belum ada balasan dari Mas Ichsan, tapi ada satu pesan dari Mama. Kata Mama, suamiku sedang tidur. Baru beberapa jam berpisah, aku sudah merindukannya. Padahal, baru tiga hari lagi bisa menemuinya.

Teringat tadi pagi saat aku hendak berangkat.

"Mas, aku berangkat, ya. Baik-baik di rumah. Vitaminnya jangan sampai lupa," pesanku.

Dalam hati, tak henti-hentinya memanjatkan doa. Agar ia tak berulah saat tak ada aku di rumah. Kasihan Mama. Saat ia berada dalam fase tak biasa, hanya ucapanku yang akan didengarkannya.

"Aku minum vitaminnya nunggu kamu pulang kerja!"

Memang, biasanya jadwal minum obatnya setiap aku akan berangkat dan saat pulang kerja.

Sejak dinyatakan cukup stabil secara emosi, dokter meresepkan Risperidone dengan dosis 2x1. Sebelumnya, ada tiga jenis obat yang harus dia konsumsi dengan dosis lebih tinggi.

"Lho, kan aku gak pulang, Mas?"

"Kamu mau kemana?"

Ya salaaam! Padahal sudah sejak beberapa hari yang lalu aku mengatakannya.

"Mau kerja, tapi jauh di Malang."

"Oh iya lupa. Aku ikut?" tanyanya polos.

"Ini urusan kerjaan, pakai mobil kantor, kursinya gak akan cukup kalau Mas ikut."

"Kalau kamu kerja luar kota, biasanya aku juga ikut!" Dia mulai merajuk.

Memang, setiap ada gathering tahunan, aku selalu mengajaknya. Tapi tak banyak rekan kantor yang tahu kalau suamiku bukan lelaki biasa. Dari penampilan luarnya, tak akan ada yang akan menyangka.

"Ini naik mobil kecil, bukan pakai bus wisata," jelasku, "Nanti kita jalan-jalan sendiri aja ya, sama Mama dan Papa juga," tambahku.

Ehh padahal kemarin aku bilang kalau bepergian dengan kereta. Mudah-mudahan dia lupa.

Mengingat semua tingkah konyolnya, menghadirkan senyum di bibir. Bayangkan saja, seorang laki-laki dengan tinggi 178cm, badan proporsional, dan wajah bergaris tegas. Merajuk di depanmu dengan mimik wajah seperti bocah. Lucu dan kadang ... menggelikan.

Gawai yang sedang kuiisi daya berdering, notifikasi WA. Sepertinya suamiku sudah bangun. Kubuka kunci layar, paswordnya tanggal pernikahan kami. Biar selalu kuingat jika aku adalah perempuan bersuami. Jadi, sebucin apapun kelakuan di dunia maya. Tetap ada batasan yang harus kujaga.

"Di mana?" Sebuah pesan dari nomor tak dikenal. DP-nya siluet tangan memegang sebuah buku di kala senja. Foto yang beberapa hari kemarin kukirim pada seseorang di dunia maya.

Kaffah?

Padahal messenger F* sudah kulepas, biar dia tak bisa menghubungiku. Aku lupa jika kami pernah berada di WAG yang sama, grup bedah naskah antologi puisi. Selama ini, tak pernah sekalipun memberi nomor WA kepada teman dunia maya. Kecuali untuk keperluan event dan bedah naskah.

Kuketik balasan singkat. "Hotel." Tanda centang berubah biru.

"Acara apa?"

"Training."

"Acara kantor?"

"Iya."

"Di hotel situ juga?"

"Iya."

"Jam?"

"Tujuh pagi."

Tak ada lagi balasan. Lega, dia tak bertanya di mana lokasi hotel ini.

Setahun yang lalu. Aku pernah jatuh cinta pada puisi-puisinya. Lugas tapi romantis. Entah bagaimana awalnya, akhirnya kami dekat. Tak pernah libur berbalas pesan. Sesekali bertukar pesan suara atau menelepon via messenger. Tapi tak pernah sekalipun melakukan panggilan video.

Hampir tak ada satu hal pun yang luput kuceritakan padanya. Semua tentang keseharian di dunia nyata. Tentang pekerjaan, hobi, keluarga. Meskipun sampai detik ini, satu sama lain tak saling tahu rupa dan nama asli. Dialah Kaff, Kaffah Ar-Rayyan yang mengenalku sebagai Nana, Pesona Senja.

~ndaa~

Acara hari ini lancar dan menyenangkan.  Banyak teman baru dari berbagai kota. Kulirik jam di pergelangan, ada waktu enam puluh menit untuk istirahat makan siang, aku mengambil ransum, berniat salat dan makan di kamar sembari video call dengan Mas Ikhsan.

Aku menuju resepsionis, mengambil kunci yang tadi kutitipkan. Namun seperti ada yang sedang mengamati. Aku meraba tengkuk. Ah, mungkin hanya perasaanku.

Gawai bergetar, panggilan suara WA. Segera merogoh handphone dari dalam tas. Dari Kaff, kukira tadi suamiku yang menelepon. Terima atau enggak, ya. Terima enggak terima enggak terima. Aku menghitung jari tangan kiri. Dasar konyol!

Kuterima panggilan dari Kaff.

"Ha- hallo?"

"Di mana?"

"Di ... hotel!"

"Tepatnya?"

"Lobby."

"Hotel mana?"

Aku diam, bingung harus menjawab apa.

"Na?"

"Ehh iya ...." Kusapukan pandangan, barangkali di sekitar sini ada orang mencurigakan.

"Kamu pakai baju ungu?"

Sekali lagi aku melihat sekitar, tak ada yg mencurigakan. "Eh, kok tau?"

"Favorit kamu."

Tanpa sadar bibir tersenyum. Memang kebanyakan bajuku berwarna ungu, dengan gradasi warna dan model berbeda. Stop menyebutnya sebagai warna janda. Ungu adalah warna esklusif, sangat jarang ditemui secara alami. Secara psikologi, pecinta warna ungu adalah pribadi yang unik, esklusif dan elegan.

"Kamu di mana, Kaff?"

"Aku dah keluar, masih ada urusan."

"Ka ..." baru saja ingin berkata.

"Aku tutup ya, Bye!"

"Bye ...."

Dasar aneh! Sok misterius. Hiss, palingan juga dia kabur. Mungkin karena fisikku tak sesuai espektasinya. Bodo amatlaaah! Toh, perempuan mungil berkulit sawo mentah dengan tinggi tak lebih dari 155cm ini sudah sold out dan cukup banyak peminatnya. Ehhh! Jitak jitak jitak!!!

Aku bergegas menuju kamar, lalu menelpon Mas Ichsan. Pada dering kedua, muncul wajahnya di layar.

"Assalamualaikum, Mas."

"Waalaikum salam," jawabnya. Wajahnya terlihat segar, rambutnya basah. Pasti habis mandi.

"Dah makan?"

"Udah."

"Lagi apa? Mama mana?"

"Mama masih salat, kamu udah?"

"Belum, tar lagi, Mas," jawabku.

"Sana salat dulu! Tak matikan ya?"

"Eh jangan jangan, Mas disitu aja. Aku salat dulu bentar," cegahku. Takutnya jika kututup, dia keburu tidur siang.

Sejak menikah, hampir tak pernah kutinggalkan salat, kecuali kalau ketiduran. Padahal semasa gadis jarang sekali menyentuh mukenah. Mas Ikhsan tak pernah lelah mengingatkanku. Awalnya terasa berat, tapi akhirnya aku terbiasa melakukannya.

"Aku dah wudhu, he he," sapaku sambil memakai mukenah.

"Hmm, sana dah!" perintahnya.

"Ok boss!" jawabku, lalu bergegas ke atas sajadah.

Bermenit kemudian, menyapukan dua tangan ke seluruh wajah. Alhamdulillah, sudah kutunaikan kewajiban siang ini.

"Mas?"

Tak ada jawaban di seberang sana.

"Mas?"

Masih belum ada juga.

Aku sedikit kesal. Waktuku tak banyak, sebentar lagi harus kembali ke ruangan.  Lha kok dianya malah menghilang.

Humffff!

"Tadi masi pipis,"

"Oalaaah ... hi hi hi. Kok gak bilang, sih?"

"Kenapa? Mau ikut?

"

"Iya, ha ha ha."

Di seberang sana, dia juga tertawa. Tawa yang begitu kurindukan.

"Aku sambil maem, ya, Mas," pamitku.

"Iya, maem apa?"

Kudekatkan kotak ransum ke layar handphone. "Mau?"

"Nggak, ada udangnya!"

"Ha ha ha, nggak papa, biar kamu nanti gitaran mulu,"

"Iya, aku lama gak gitaran. Gitarku di mana?"

Astagaaa, gitaran yang kumaksud itu garuk-garuk. Mas Ichsan alergi udang. "Ada di pojokan ruang TV," jawabku sambil mengunyah.

Mas Ichsan mengambil gitar, memandanginya, lalu memetiknya pelan-pelan. "Rin!"

"Hmm?"

"Aku lupa nyanyinya,"

Kulirik jam, waktu istirahat hampir habis. "Nanti sore aku telepon lagi, aku yang nyanyi, Mas yang main gitar. Aku hrs balik kerja," jelasku dengan senyuman.

"Iya, yaudah sana!"

Aku tersenyum semanis mungkin, cup mwah! Kuberikan cium jauh.

"Kamu cantik pakai baju itu." Lalu wajahnya menghilang dari layar setelah mengucapkan salam.

Aku mengambil cermin, berkaca. Rona di pipi masih belum hilang sepenuhnya. Perempuan memang sereceh itu, dengan sedikit pujian saja bisa membuat bahagia. Aku sampai lupa, kapan terakhir kali Mas Ichsan memujiku. Apalagi mengucap cinta. Sudah sangat lama tak kudengar kalimat itu dari mulutnya.

_______

Next

Terima kasih sudah membaca. :)

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status