Share

Fakta

Masih terbayang di benak apa yang dikirim oleh Kaff pagi tadi. Ia berhasil meretas blog milik Mas Ichsan, menelusurinya, lalu mengirimkan beberapa puisi dan curhatan yang tersimpan dalam draft yang tersembunyi di sana.

Suamiku memang suka menulis, kutahu itu sejak dulu. Namun yang ia tulis hanya tips-tips seputar dunia IT. Hobi mereview beberapa produk yang berkaitan dengan bidang keahliannya, baik digital maupun non digital.

Kenyataan yang terjadi berkata lain, Mas Ichsan yang kupikir jauh dari kata melankolis, ternyata sebaliknya. Puisi-puisi miliknya begitu syahdu dan romantis.

Ah, Mas ... padahal sebaris pun tak pernah kau buatkan puisi untukku, istrimu.

Dayu ... Ida Ayu  Ambarukmi. Seseorang yang masih menempati posisi khusus di hati suamiku saat ia menulis puisi itu. Lalu, di mana posisiku sebagai istri? Hanya pelarian semata? Lagi-lagi ujung mataku basah. Kutepis semua ingatan. Ini kesalahan karena mencari tahu tentang sesuatu yang bukan porsiku. Seperti ia yang tak pernah mempermasalahkan masa laluku, seharusnya aku pun begitu.

Curiga dan prasangka hanya akan menjadi duri dalam daging. Menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan menghancurkan rumah tangga kami. Menghancurkan mimpi yang telah kami bangun di atas puing-puing kenangan masing-masing.

Apa yang akan kudapat ketika berusaha mengorek lebih dalam tentang masa lalunya. Bahagia? lega? Salah jika berpikir bahwa mengetahuinya bisa membuat lega, nyatanya malah menambah luka yang kutoreh sendiri dengan belati yang bernama, penasaran.

Sudah, Rin! Anggap saja impas.

*

Kulirik kanan kiri, ruangan sudah kosong. Memang sudah waktunya istirahat kantor. Tadi, Mayang sempat mengajak makan siang bersama, tapi kutolak. Bekal di dalam tas lebih menggiurkan dibanding makanan apapun di luar sana. Plecing kangkung hasil tanaman sendiri, tahu walik crispy dan kakap goreng tepung. Semuanya hasil masakan suami. Maka nikmat manakah yang bisa kau dustakan wahai istri yang gak bisa masak? Hi hi hi.

Aku terkekeh geli. Bagaimana bisa Mas Ichsan lebih pandai memasak daripada istrinya. Akhir-akhir ini dia memang sering memasak, persis seperti dulu, saat belum mengidap penyakit itu.

Memfoto kotak bekal dan mempostingnya di akun F* asli. Arinda Prasetya. Beberapa tanggapan dari teman berhasil membuatku tertawa, tak ada yang percaya saat kubilang kalau itu masakanku. Lalu, seseakun memberikan react love pada postingan itu.

Ichsan Prasetya.

Sejak kapan ia kembali aktif di sosial media?

***

"Assalamualaikuuum." Salamku seraya membuka pintu yang tak terkunci.

Sunyi,  tak ada jawaban. Segera kucari keberadaan suamiku. Apa jangan-jangan ....

Sekuat hati menepis prasangka dan menelusuri semua sudut rumah, tapi tak kutemukan Mas Ichsan di manapun.

Kulirik jam dinding, sudah hampir isya'. Tadi sepulang kantor, Mayang mengajakku ke acara pembukaan salon milik kakaknya. Atas seizin Mas Ichsan, kuterima ajakan Mayang.

Menarik napas dalam-dalam, mengempaskan diri di sofa depan tivi. Tenang, Rin, tenang! Mungkin suamimu sedang jalan-jalan sebentar.

"Assalamualaikuuum."

Terdengar suara lirih suamiku. Aku menghambur keluar.

"Waalaikum ... salam," jawabku terbata saat melihat kondiasi lelakiku.

Mas Ichsan duduk di kursi teras dengan kaki kotor dan telanjang. Wajah kuyu, rambut acak-acakan dengan keringat membasahi seluruh badan yang terbalut baju dan celana pendek rumahan. Suamiku pasti tak sadar ketika pergi dari rumah, buktinya ia tak mengganti bajunya lebih dulu.

Mas Ichsan adalah pribadi yang rapi. Cenderung metroseksual. Hidupnya pun disiplin dan teratur. Dalam kondisi stabil, mana mungkin dia keluar rumah dengan baju seperti ini.

Astagfirullahalladzim ... astagfirullahalladzim .... Menghirup napas dalam-dalam.

"Aku baru aja pulang, Mas," kucium tangannya sambil tersenyum.

Dia bergeming, napasnya memburu karena kelelahan. Segera kuambil segelas air putih untuknya.

"Nih, Mas. Minum dulu," ujarku.

Mas Ichsan menenggak segelas air itu sampai tandas. Aku duduk di sampingnya dengan mimik wajah yang dengan sekuat tenaga kuusahakan tetap ceria. Dia menoleh ke arahku, ada kabut tipis di kedua matanya.

"Untung bisa pulang," lirihnya.

Aku tersenyum dan mengelus bahunya. "Pasti bisa, Mas, kan dah janji nggak akan ninggal aku."

"Tadi hampir nyasar," ujarnya sambil menunduk.

"Nggak kira nyasar, Mas kan hapal di mana rumah kita," ujarku menguatkan.

"Tadi ... aku lupa."

"Cuma lupa sebentar, habis tu ingat lagi, kan?"

Mas Ichsan hanya mengangguk.

Kuremas ujung kemeja, mencari sedikit lagi kekuatan untuk tetap tegar.

Ya Tuhaaan, kupikir segalanya telah kembali seperti semula. Nyatanya aku salah. Perjuanganmu belum berakhir, Rin!

"Mas ...." Kusentuh bahunya, kemudian dia menoleh. "Masuk yuk! Di sini banyak nyamuk, nih kakiku gatel semua," bujukku dengan memperlihatkan betis yang memerah.

Mas Ichsan berdiri. Segera kugandeng dan membawanya ke meja makan.

"Aku beli sate ayam. Mas mau makan dulu, atau mandi dulu?"

Dia bergeming. Aku menarik napas, lalu merubah pertanyaan.

"Aku lapeeer ... pingin maem sate ayam sama Mas. Tapi, Mas harus mandi dulu, ya?"

Mas Ichsan menatapku, tersenyum, lalu berangkat mandi.

Ketika ODS sedang berada dalam fase tak stabil, memang tidak semua kalimat bisa ia mengerti. Oleh karena itu, perlu kalimat khusus untuk membuatnya paham tentang apa yang sedang kami bicarakan.

Usai mandi, kami makan sambil berbincang. Kuceritakan kegiatanku di kantor juga di salon bersama Mayang, dia mendengarkan dengan antusias. Lalu ganti bercerita kegiatannya seharian ini di rumah. Kami tertawa ketika ada hal-hal lucu saat bercerita. Sampai kemudian, ia bercerita tentang hal yang sedari tadi membuatku penasaran.

Mas Ichsan menaruh sendoknya. "Rin," ujarnya.

"Hmm?" Aku melakukan hal yang sama, menjeda suapan.

"Tadi aku denger orang manggil aku."

"Terus?" Aku mendengarkannya baik-baik.

"Suara perempuan. Kayak lagi naik mobil."

Mendengar ceritanya, seperti ada yang perih di dalam sini. Aku diam sejenak, berusaha menguatkan hati.

"Terus ... Mas ngejar mobil itu?" tebakku.

"Iya, aku penasaran itu siapa. Kayak suaranya ...."

Mas Ichsan tak melanjutkannya. Seperti sedang berpikir. Melihat mimik wajahnya, aku pun tak berani bertanya lebih jauh tentang hal itu.

"Trus Mas ngejarnya sampai mana?" tanyaku mengalihkan obrolan.

"Jauuh, aku gak tau itu di mana. Pas mau pulang, aku lupa jalannya."

"Mas nggak tanya ke orang-orang?"

"Iya, aku tanya. Kamu bilang, kalau lupa kan harus tanya ke orang," ujarnya polos.

Aku tersenyum. "Trus, Mas jalan kaki?"

"Iya, mau naik angkot nggak bawa uang. Mau nelpon kamu nggak bawa hape."

Aku tertawa lirih. "Nggak papa, olahraga sore!"

"Iya, sampe keringetan."

Melirik ke wajah Mas Ichsan yang mimiknya sudah berubah santai. Berhenti sejenak, menimbang lebih dulu apakah pertanyaanku tepat untuk saat ini.

"Emmm ... dulu nih, ya. Mas kan pernah tuh lupa jalan. Ingat?"

"Kapan?"

"Dulu, yang aku jemput di masjid malam-malam."

Lelaki di hadapku tampak berpikir.

"Ooh iya ya ingat, yang kamu nangis trus peluk aku kenceng-kenceng di depan banyak orang?"

Aku tertawa. "Iya bener. Adegan memalukan ituh. Mas masih inget?"

"Ingetlah ... aku kan gak amnesia!"gerutuannya terdengar ketus. Namun kutahu ia hanya bercanda.

Aku tertawa.

"Waktu itu, Mas pergi karena ada suara kayak gitu juga?"

"Iya, sering aku denger suara itu," jelasnya.

"Kalau tidur sering mimpi juga?"

"Emmm ... kadang iya."

Kulirik mimik wajahnya sebelum melanjutkan pertanyaan. Masih terlihat santai.

"Mas inget, nggak? Suara itu ... mirip punya siapa?" tanyaku hati-hati.

"Bukan mirip. Itu memang suara Dayu."

"Dayu?" Ternyata benar dugaanku!

"Iya, namanya Ida Ayu Ambarukmi, tapi aku panggilnya Dayu," jawabnya santai. Seolah sedang bicara dengan teman curhatnya.

"Ohh ...." Hanya kata itu yg keluar lirih dari bibirku.

Di dalam sini, rasanya seperti sedang menjerang air dan hampir mendidih.

"Di mana ya sekarang ..." lirih Mas Ichsan.

Refleks aku menyahut, "Siapa? Dayu?" Kusadari nada bicara mulai meninggi. Padahal sudah kutahan sekuat hati.

Mas Ichsan mengangguk, matanya terlihat sayu.

Astagfirullahalladzim ... astagfirullahalladzim. Sudah basah, mandi saja sekalian, Rin! Kepalang tanggung. Daripada tersiksa rasa penasaran, lebih baik tuntaskan. Kalaupun akhirnya teramat sakit, kau tahu ke mana harus mencari pertolongan. Kuhela napas, lalu berdeham untuk menormalkan suara.

"Lagi kangen Dayu, ya, Mas?" tanyaku santai- setelah berhasil mengontrol emosi- seolah-olah ini bukan masalah pelik.

"Enggak," jawabnya. 

Aku tersenyum, kali ini bukan pura-pura.

"Eh, Rin ..."

"Hmm?"

"Kalau sering mimpi anak kecil, artinya apa ya?" tanyanya polos.

Aku mengernyit heran, tapi wajah polos suamiku selalu berhasil mengundang tawa. 

"Anak kecil? Bayi? Biasanya mau dapat rejeki."

"Enggak, udah agak gede. Segini," jelasnya menggambarkan tinggi badan dengan menjarak antara lantai dengan tangannya.

Sekitar umur tujuh atau delapan tahun.

"Mas pingin punya anak, kali!" Aku terkekeh, menjawab sekenanya.

Astagaaa!

Detik berikutnya, amat kusesali apa yang baru saja terucap. Membicarakan tentang anak di hadapannya sama halnya dengan membuka luka. Kuamati reaksi suamiku, syukurlah dia tak terganggu. Mungkin sedang tak fokus mendengarku, sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Aku dulu ... hampir punya anak, tapi nggak jadi," ujarnya lirih.

Aku tersentak. Piring bekas makan di hadapan tak sengaja terdepak. Untung tak jatuh, tapi cukup membuat Mas Ichsan kaget.

Sejak kami menikah, aku tak pernah hamil apalagi keguguran. Itu artinya, ada sesuatu yang ia sembunyikan. Berbagai macam prasangka berkekelabat di kepala. Apa itu bagian dari masa lalu? Atau ... dia selingkuh?

Mata mulai memanas, sekuat hati menahan biar air beningnya gagal mengalir. Kusadari tubuh ini mematung hingga beberapa waktu kemudian. Bingung, kaget, sedih, marah, kecewa. Entah tak bisa lagi mendefinisikan apa yang terasa.

Ya Allah ... nyuwun tambahi sabar lan kekuatan. Haruskah sesakit ini ujian yang harus kutanggung untuk menjadi pribadi yang lebih baik? Seorang perempuan berlumur dosa yang telah bertekad menjadi istri terhormat. Haruskah sesulit ini? Kuatkan hati ini, Tuhan. Jangan sampai kembali ke dalam nikmatnya dosa karena tak lagi sanggup menahan coba.

"Rin." Mas Ichsan sudah berdiri di samping kursi yang kududuki.

Aku mendongak, menggigit bibir kuat-kuat agar tak terlihat bergetar.

"Aku salah ngomong, ya?" tanyanya. Sepertinya ia sudah mulai sadar situasi.

Aku tersenyum, menggeleng, masih dengan bibir terkatup rapat.

"Maaf, Rin. Tadi aku gak sengaja cerita ke kamu," sesalnya.

Kusembunyikan wajah di perut Mas Ichsan dan menuntaskan segalanya melalui air mata. Dia merengkuh kepalaku, napasnya terdengar berat, lalu disusul tubuhnya yang sedikit bergetar. Aku tahu, dia menangis. Tangis pertama yang pernah kulihat sepanjang mengenalnya.

***

Seorang perempuan berambut panjang dalam balutan kebaya biru muda berhias senteng di pinggangnya. Manis. Foto pertama yang kulihat dari puluhan foto yang dikirim oleh Kaff.

"Sekalian tuntaskan, biar nggak jadi beban," bunyi pesan Kaff, dan aku setuju dengannya.

"Aku pingin tau semuanya," balasku.

"Yakin, kuat?" tanyanya memastikan.

"Jangan ngeremehin!" Kutambahkan emot marah. Kuyakin, di sana Kaff sedang tertawa. Dia cukup tahu serapuh apa hati ini.

Berderet-deret foto terkirim padaku.

"Kalau dah nggak sanggup, kamu tau ke mana harus lari."

Dasar raja gombaaal! Aku pura-pura tak mengerti.

"Ke mana?"

"Masih ada satu bantal dan satu guling di sini."

Kaff mengirimkan foto ranjangnya.

"Buaya daraaaaaaat! Gakda ahlak," balasku.

Si Buaya hanya membalas dengan emoticon tertawa. Aku tahu, dia hanya bercanda. Kaff pernah mengakui bahwa dirinya memang buaya. Tapi seliar apapun dia menggali, takkan pernah bermain di lubang yang masih ada pemiliknya.

Mengakhiri obrolan kami, lalu memeriksa puluhan foto yang dikirim oleh Kaff. Beberapa menampilkan seorang perempuan dengan pose yang berbeda dan lainnya berupa hasil screenshoot berbagai halaman yang kuperlukan untuk menjawab semua rasa penasaran.

Bismillahirrohmanirrohim, semoga langkah yang kutempuh ini tak pernah salah. Perjalanan menyusun kepingan puzzle sudah dimulai. Dari sinilah akan terjawab semua rasa curiga. Menuntaskan keingintahuan yang menyesakkan dada.

Sebenarnya ingin bertanya langsung pada Mas Ichsan. Tapi kuurungkan. Ada banyak hal yang menjadi pertimbangan. Curiga dan prasangka adalah bom waktu yang suatu saat bisa meledak dan meluluhlantakkan mahligai rumah tangga. Untuk menjinakkannya, diperlukan keterbukaan dan komunikasi dari kedua belah pihak. Saling mengoreksi, jujur, memahami, dan menerima apapun yang terjadi.

Kenyataannya, mana mungkin hal itu bisa  diterapkan dalam rumah tangga yang timpang?

Berkomunikasi dan mencecar Mas Ichsan dengan pertanyaan seputar kecurigaanku pada Dayu. Bisakah? jelas tidak. Terlalu besar risiko yang kupertaruhkan.

Suamiku bukan orang biasa, dia luar biasa. Perlu cara yang luar biasa untuk menyelesaikan hal apapun dalam hidup kami berdua.

Aku terkejut saat sebuah lengan menyodorkan plastik bening berisi box makanan.

"Ehh!"

"Maaf, Mbak. Kaget ya?" Pak Ali terkekeh.

"Nggih, Pak. Saya kira siapa."

Pak Ali menaruh bungkusan plastik di meja kerjaku.

"Lho, saya nggak pesan apapun hari ini, Pak."

Istirahat makan siang kali ini, sengaja kugunakan untuk memeriksa foto-foto kiriman Kaff. Tak sabar rasanya.

"Ini memang buat Mbak, kok!" Pak Ali meyakinkan.

"Lha, tapi ini siapa yang pesan?" tanyaku penasaran.

"Udah, makan aja. Mbak Arin belum makan siang, kan?"

"Belum. Masih kenyang, Pak. Makanya saya malas makan." jawabku.

"Ambil aja, makan nanti kalau dah pulang, Mbak." Pak Ali memberi saran.

"Monggo buat Bapak aja," tawarku.

"Lha, saya sudah makan, Mbak. Menu yang sama," jawabnya.

"Oalaah. Ini dari siapa sih, Pak?" tanyaku penasaran.

"Ambil aja, inshaallah halal." Pak Ali meninggalkannya di meja.

Karena penasaran, kubuka box styrofoam tersebut. Tahu lontong tanpa toge dengan taburan bawang goreng yang cukup banyak.

Wuahhh, menggoda selera.

Seulas senyum datang tanpa diundang saat mengingat seseorang yang dulu selalu protes dengan kebiasaanku makan banyak bawang. Takut kalau ciuman, mulutku bau bawang. Ha ha ha. Ada ada saja. Mungkin dia lupa kalau di dalam tas selalu tersedia permen karet rasa mint sebagai pembersih gigi darurat. Hi hi hi

Kuhentikan tawa saat menyadari seperti ada yang sedang memperhatikan. Tapi ... hanya ada aku di ruangan ini. Tiba-tiba jadi merinding.

Kuedarkan pandangan ke arah luar. Seorang laki-laki berdiri di dekat pintu dengan bibir tersenyum. Manis sekali.

Ooo eem jiii! Kuatkan aku ya Tuhan. Jangan sampai senyumku terlalu lebar. Bisa-bisa dikira ke-ge-err-an, atau lebih parahnya lagi, keganjenan!

Kulihat gerakan mulutnya tanpa suara, menyuruh makan. Aku mengangguk dengan senyum tertahan. Baru kali ini ia menyuruhku makan banyak bawang. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status