Share

Part 4

Kiara terlihat sangat kaget ketika melihatku sedang duduk tenang di samping Della, tapi aku harus kembali membuat dia tenang. Sebagai suami, tanggung jawabku tentu sangat besar terhadapnya.

"Kenapa Sayang? Apa kau lelah selama ini merawat rumah dan Della?" tanyaku baik-baik dan lembut.

Aku mohon ya Allah, jangan biarkan emosi menguasai diri ini dan membuatku kehilangan kendali. Karena kutahu, tidak ada perbuatan yang baik jika diawali dengan yang tidak baik.

Hanya uang yang ia hilangkan, menurutku masih berada dalam tingkat wajar. Ya, meskipun jumlahnya akan membuat orang-orang menggelengkan kepala.

Kiara hanya menggeleng. Wajahnya dipenuhi dengan rasa ketakutan.

Kudekati tubuhnya yang masih basah dan memeluknya dalam tubuhku. Tapi dia sama sekali tidak merespon. Hanya diam. Tapi getaran tubuhnya masih berasa.

Tubuh yang dulu sangat enak untuk dipeluk, kini aku bagaikan memeluk sebuah tiang. Keras dan tidak ada reaksi.

"Kamu bisa memberitakan apapun yang kamu rasakan, Ara. Aku suamimu dan aku juga sangat mencintaimu," bisikku di telinganya.

Kupikir reaksinya akan sama seperti dulu. Wajahnya akan merah merona dan senyum manisnya mengembang sempurna. Tapi aku salah.

Dia malah tidak ada reaksi sama sekali. Diam. betul-betul hanya diam.

Tapi menit kemudian, tangannya mencoba mendorongku halus. Mungkin dia tidak nyaman atau belum mau bercerita.

"Maafkan Mas jika sebelumnya sudah menyalahkanmu dan membentakmu kasar, Ara," kuambil nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri agar tidak terbawa emosi. "Tapi percayalah semua itu Mas lakukan untuk kebaikanmu dan Della. Mas tidak ingin orang yang Mas sayangi terluka.

"Sudahlah, Mas. Aku akan menyiapkan makanan," ucapnya lirih.

Kiara memandang ke arah tempat tidur.

Apa dia sadar kalau ponselnya telah berpindah tempat?

"Mana ponselku, Mas?" tanyanya tajam. Sorot mata yang dari tadi teduh, mendadak bergejolak.

Aku mengubah ekspresi wajah seolah tidak berdosa sambil menggeser ponsel yang tadi kuubah posisi kembali ke tempat asal ketika dia lengah.

"Mas tidak tahu, Sayang. Lagian Mas juga baru sampai," ucapku berbohong.

Maafkan aku, Kiara. Tapi aku melakukan ini demi kebaikanmu. Aku ingin tahu siapa orang-orang yang ada dibalik perubahanmu itu.

Aku harus semangat demi Della dan juga Kiaraku.

"Kamu tidak bohong kan, Mas?" tanyanya khawatir. Mungkin dia juga sudah curiga kalau aku bakal memainkan ponselnya. Namun, jangan panggil aku Raksa kalau tidak bisa berbohong. Selama itu demi kebaikan. Aku akan berusaha.

Aku mengangguk mantap.

"Kuharap kamu tidak membuatku kecewa, Mas," ucapannya yang seolah kecewa atas tindakanku.

Kembali aku menatapnya dalam diam. Dia seperti bukan Kiara yang kukenal. Kemana Kiaraku pergi?

**

"Kamu sudah tahu belum permasalahan apa dibalik sikap Kiara?" tanya Mama dengan nada pelan. Mungkin takut terdengar oleh menantu menggemaskannya itu.

Aku menggeleng lemah.

"Jangan patah semangat. Mama yakin Kiara sedang dalam paksaan orang lain. Apalagi kita tidak bisa dua puluh empat jam berada di sisinya," lanjutnya memberikan semangat.

"Tentu, Ma. Aku mengenalnya selama beberapa tahun, tidak mungkin kalau dia bisa diperalat dengan mudah."

"Pikiran Mama juga begitu. Lagian Mama juga sudah tidak sanggup dijuluki mertua jahat sama para tetangga. Padahal jelas-jelas Mama jarang banget ada di rumah,"lirihnya jengkel.

Aku geleng-geleng kepala dengan apa yang baru saja Mama katakan.

Tidak mungkin ibuku adalah mertua yang kejam yang berani menindas menantunya. Karena aku tahu kedekatan Mama dan Kiara.

.

Saat ini aku berangkat kerja tanpa diantar Kiara, dia bilang akan menidurkan Della biar tenang. Aku sendiri tidak masalah. Toh tidak sering.

"Aku berangkat dulu, ya, Ma."

"Iya, Ka. Mama juga sebentar lagi berangkat."

Baru saja mobilku melaju beberapa meter, aku mendengar beberapa percakapan yang menyakitkan.

"Pak Kos tahu tidak kenapa Bu Kiara tidak pernah belanja ke Pak Kos lagi?" tanya salah satu Ibu komplek. Kebetulan aku memberhentikan mobil ketika perasaanku terasa tidak enak.

"Saya tidak tahu, Bu."

"Tapi saya tahu."

"Kalau Ibu tahu, kenapa tanya saya."

"Saya tahu Bu Dew, Bu Kiara itu kayaknya terdzolimi sama mertua. Buktinya badannya sekarang kurus banget."

Seorang wanita berumur mendekat ke arah mereka. Cuman sayang, perkataannya diluar dugaanku.

”Iya. Saya juga berpikir begitu, Bu. Kok bisa ya punya mertua kayak gitu masih mau tinggal satu rumah, heran saya."

"Sama saya juga. Jadi istri itu capek. Bukankah lebih baik kalau ada masalah dilampiaskan, meksipun sama ibu mertua sendiri. Daripada di pendam jadi penyakit."

Aku menggelengkan kepala berkali-kali.

Kuputar mobil kembali ke rumah, untuk memastikan kalau Mama tidak mendengar percakapan menyakitkan mereka.

Tapi terlambat. Mobil Mama tepat berada di belakangku. Sampai aku tidak jadi putar arah.

Bahkan ternyata Mama sudah berdiri tepat dihadapan ibu-ibu yang berada di tukang sayur gerobak itu.

"Apa topik kalian seru?"

"Seru sekali," jawab mereka tanpa melirik ke arah Mama.

"Maaf, Bu." Pak Kos merasa tidak enak dan permintaan maafnya membuat kedua ibu-ibu itu menengok ke arah Mama.

Terjadilah peristiwa saling lirik.

"Apa kalian pikir semua mertua jahat dan suami tidak peka?" Mama mulai emosi. "Coba tanya hati nurani kalian, apa semua mertua itu jahat seperti apa yang kalian pikirkan?"

"Jangan pernah egois menjadi wanita. Kalian juga akan menjadi seorang mertua. Jangan pernah mengalahkan ia hanya karena menantunya tidak gemuk dan terlihat tidak bahagia." ucap Mama lagi.

Tapi mataku kini tidak fokus pada mereka.

Mataku menangkap sosok seorang wanita muda yang terasa tidak begitu asing sedang berdiri melihat-lihat ke sekitar rumahku.

Sangat mencurigakan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status