Share

Bab 13

Nyonya Smith memberikan amplop coklat pada Daisy sebagai upah satu bulan ini. Wanita berusia 53 tahun itu tersenyum hangat pada Daisy dan memberikan beberapa cupcake yang sengaja dia buat khusus untuk Daisy, katanya Daisy ingin sekali makan cupcake sedari kemarin.

Jangan sampai bayi mungil di dalam perut Daisy berliur karena tidak kesampaian makan cupcake.

"Nenek, ini terlalu banyak," kata Daisy setelah melongok melihat isi paperbag kecil yang diberikan Nyonya Smith.

"Tidak apa-apa, untuk Eve juga."

"Wah, terima kasih, Nek." Daisy tersenyum.

Ia dapat merasakan bayinya menendang di dalam perut, mungkin bentuk terima kasih juga. Daisy mengusap perutnya sambil tersenyum, lalu berpamitan pada Nyonya Smith untuk kembali ke apartemen.

"Kau sudah pulang?" tanya Daisy pada Eve ketika ia berhasil membuka pintu apartemen.

Eve sedang duduk di kursi meja makan, dengan secangkir kopi dan roti selai.

"Baru saja sampai, itu apa?"

Daisy memberikan paperbag di tangannya pada Eve. "Aku mandi dulu. Jangan dihabiskan, ya, dia mau makan juga." Daisy menunjuk perutnya yang membesar.

Eve terkekeh. "Siap!" Ia mengacungkan jempol.

***

Kehilangan kedua orang tua secara bersamaan, harta benda yang diraup oleh bibinya sendiri dan mahkota yang direnggut paksa yang membuat kehidupan Daisy lengkap untuk hancur.

Siapa sangka, Daisy bisa kuat sampai detik ini karena sesuatu yang terbentuk dari kesalahan. Yang saat pertama kali dikabarkan dengan bahagia, justru membuat Daisy berusaha untuk melenyapkannya.

Siapa sangka, dia yang tumbuh membesar setiap harinya di perut Daisy jadi sumber kekuatan. Mau diajak susah dan mengerti ketika Daisy berbisik, "Jangan rewel, ya." Dan akan selalu membalas dengan tendangan kecil. Jika Daisy bersedih, ia akan menendang juga, seperti mengatakan bahwa, "Mama tidak boleh sedih, semua akan baik-baik saja."

Yang awalnya dibenci, sekarang menjadi sesuatu yang paling Daisy sayangi. Ia sempat berpikir, mungkin jika tidak ada bayi ini, Daisy akan mengakhiri hidupnya tepat pada hari ia diusir dari rumah.

"Sebentar lagi kau akan lahir, sayang."

Daisy merasakan tendangan si kecil pada sisi kanan perutnya ketika ia mengguyurkan air di sana.

Ini adalah akhir pekan yang cocok untuk melakukan quality time bersama bayinya. Daisy memanjakan sang buah hati dengan guyuran air hangat dan aroma terapi.

"Kau menyukainya, hm? Nanti jika kau sudah lahir ke dunia, kita akan bermain air bersama."

Tidak sabar rasanya, beberapa hari lagi Daisy akan melakukan pemeriksaan terakhir sebelum bayi di dalam perutnya lahir. Sebentar lagi, Daisy tidak akan merasakan membawa beban berat setiap dia melakukan apa pun.

"Daisy, lama sekali. Jadi pergi tidak?" Suara Eve terdengar bersama ketukan di pintu.

Sepertinya Daisy sudah terlalu lama berendam. "Iya, sebentar lagi aku selesai."

Daisy keluar dari bath up, melilit tubuh polosnya dengan handuk dan berjalan keluar kamar.

Hari ini, rencananya Daisy akan pergi berbelanja keperluan untuk bersalin dengan Eve.

***

Senang sekali, bisa membeli keperluan untuk bersalin. Meski agak lelah, Daisy tetap semangat berkeliling mall.

"Sudah?" tanya Eve, memasukkan beberapa barang ke bagasi mobil.

"Mau beli apa lagi, ini saja sudah cukup."

Eve mengangguk, ia menggandeng tangan Daisy untuk masuk lagi ke dalam mall. Mereka belum makan malam, Eve berinisiatif untuk membeli makan di restoran.

"Lusa, kau akan memeriksakan kandunganmu, kan? Kebetulan aku libur, nanti kutemani, ya."

Daisy memotong steak daging di depannya sebelum beralih pada Eve yang terlihat sangat bersemangat. Sahabatnya itu begitu antusias mengenai perkembangan janin di dalam perutnya. "Iya, pemeriksaan terakhir sebelum persalinan."

Mereka terdiam, menikmati daging panggang dan beberapa makanan pelengkap yang tersaji dengan lahap. Sesekali juga bicara tentang pekerjaan dan lainnya.

Tiba-tiba, Eve terlihat memegangi perutnya. "Daisy," panggil gadis itu lirih.

"Ada apa?"

"Bisa tunggu sebentar? Sepertinya aku harus ke toilet. Kau di sini dulu, ya, jangan ke mana-mana."

Daisy mengangguk, ia tertawa kecil ketika memperhatikan Eve yang berjalan tergesa menuju toilet restoran.

***

Pemandangan kota dari jendela kaca di lantai tiga ini begitu indah. Rembulan malam bertabur bintang menghiasi langit cerat malam ini.

Tanpa sadar, Daisy tersenyum tipis. Mengusap perutnya dan berkata dalam hati, "Sebentar lagi, kau juga dapat melihat bintang bersama Mama."

Kebahagiaan sederhana dari rembulan yang menarik perhatian Daisy tidak berlangsung lama. Tiba-tiba, seseorang menarik tangannya dengan kasar, menyeretnya keluar dari restoran dengan langkah lebar yang membuat Daisy terseok-seok.

"Mau apa lagi kau menemuiku?" Daisy menjauhkan dirinya dari sosok ini.

Layton. Di hadapannya sedang berdiri Layton yang sekarang masih mencengkeram kuat pergelangan tangan gadis itu.

"Ayo, ikut aku! Kita melahirkan di tempatku saja."

Daisy menggeleng, memaksa lepas dari genggaman Layton. Ia berusaha mempertahankan diri untuk tidak mengikuti desakan Layton, pergi bersama lelaki ini bukanlah ide yang baik.

"Aku tidak mau!" tegas Daisy.

"Lepaskan aku! Jangan memaksa seperti ini."

Layton mendengkus, tidak peduli. Lelaki itu berbalik, menelisik penampilan Daisy yang kacau. Gadis dengan balutan dress sederhana dan jaket jeans itu meneteskan air mata. Lemah sekali, pikir Layton.

"Berhenti menangis. Aku hanya menginginkan anakku!" Layton mendorong Daisy.

Daisy sudah bersiap, ia pasti akan jatuh ke lantai dan membentur benda keras itu. Pasti akan terasa sakit dan mungkin juga menyakiti janinnya. Entah itu akan membawa hal buruk atau tidak. Ia sudah memejamkan mata, menunggu tubuhnya terhempas.

Tapi, nyatanya itu tidak terjadi.

"Kau kasar sekali pada wanita."

Suara itu.

Daisy memberanikan diri untuk membuka mata, lagi-lagi ia bertemu dengan mata hijau itu lagi.

"Kau tidak apa-apa?"

Daisy terdiam, tidak dapat mengatakan sepatah kata pun. Bibirnya kelu.

"Siapa kau, berani sekali ikut campur dengan urusanku?" Layton menantang.

"Arthur," ucap Daisy lirih.

Arthur justru tersenyum kecil, ia membawa tubuh Daisy ke belakang tubuhnya. Bertindak melindungi.

"Siapa pun aku, tidak ada urusannya denganmu!"

Layton tertawa, tawa yang begitu menyebalkan. "Rupanya kau sudah memiliki seorang kekasih, ya? Ini yang akan kau kenalkan sebagai ayah untuk anakku?"

 Daisy meremas dress yang ia kenakan. Ia tidak dapat berkonsentrasi pada dua laki-laki yang masih saling menatap tajam. Perutnya kembali menegang, sakit sekali.

"Minggir, aku akan membawa Daisy pergi!"

"Tidak bisa!" Arthur menepis tangan Layton yang mencoba meraih Daisy.

Layton marah. Jemarinya terkepal dan urat-urat di lehernya menonjol. Lelaki ini hanya menghalangi rencananya saja, dan ia tidak dapat menunggu lama lagi.

"Apa urusanmu?!" kesal Layton. "Kau tidak punya hak atas Daisy."

"Apa pun hakku, itu bukan urusanmu!"

Arthur menghantam rahang Layton, begitu pula sebaliknya. Mereka berdua saling tinju, dan Daisy tidak dapat melakukan apa pun. Berteriak pun rasanya sia-sia.

Ia hanya berharap Eve segera menemukannya. Untuk menghentikan kekacauan ini. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status