Kai, yang kini sudah teringat sedikit demi sedikit pada jati diri aslinya sebagai Ocean Stallion Vagano, merenung seorang diri sepanjang siang hingga sore menjelang.
Menghadap pantai permai berpasir putih dan berombak biru dimana Aina beberapa waktu silam menemukannya.
Ia sendiri sedikit demi sedikit mulai teringat, di tempat serupa ini di sisi lain dunia ini, ia pernah mengalami kejadian yang hampir sama.
Saat dirinya beberapa tahun silam berkuda seorang diri, sebentuk sosok tergeletak di atas pasir menarik perhatiannya. Ia tak ingin tahu dan ragu-ragu pada awalnya, bahkan sempat ingin meminta pertolongan kepada orang-orang lain saja.
Ya, Kai perlahan mulai teringat, dalam kehidupan 'lama'-nya sebagai Ocean, ia memiliki perkebunan dan juga puri tua megah. Baginya hidup terasa begitu mudah. Apapun yang ia inginkan tersedia. Kecuali wanita, sebab tak ada sosok gadis muda di pulau kecil yang keluarganya huni secara turun temurun itu.
Namun hari itu s
Malam sudah mulai larut saat Aina tiba di desa kecilnya. Melalui perjalanan seorang diri menembus hutan tropis hijau di bawah penerangan bulan purnama, akhirnya gadis itu tiba kembali di kampung halamannya yang damai.Semua orang belum ingin terlelap. Masyarakat desa nelayan tradisional yang belum terlalu terbuka pada peradaban modern itu masih sibuk mempersiapkan ritual pernikahan Aina yang akan digelar esok pagi. Beberapa wanita sibuk merias tempat upacara yang akan digunakan. Aroma sedap memenuhi udara. Beberapa pria bersemangat memasak berbagai hidangan lezat dalam jumlah besar untuk pesta besar-besaran. Anak-anak kecil bermain-main bebas di antara kesibukan orangtua mereka. Tampaknya seisi desa begitu gembira menyambut acara nuptial yang akan digelar tak lama lagi. Keluarga besar Aina memang cukup terpandang di suku yang berjumlah ratusan jiwa itu.Mereka semua dikejutkan dengan kedatangan sendirian sang calon mempelai wanita pada malam hari menjelang hari terpent
"Apa? Ramalan dari Anda tak biasanya begini buruk dan mengerikan, Kepala Suku Kamau'le! Tak mungkin apa yang Anda katakan selalu benar! Kecuali hal-hal baik yang memberikan harapan! Tak bisakah Anda memberikan solusi dan segera mengubahnya?" Aina sepertinya tak bisa menerima begitu saja semua yang terjadi.Kamau'le sedari tadi diam saja sambil menutup wajahnya, lalu perlahan menyingkirkan tangan, masih belum pulih dari keterkejutannya. Beliau jatuh terduduk di lantai tanah, menatap nanar pada pot besar berisi air mendidih yang masih meluap-luap seakan hendak tumpah keluar membanjiri ruangan."Sepertinya Yang Maha Besar takkan merestui hubungan kalian berdua, AIna! Sebaiknya kau batalkan saja hubungan yang akan kalian jalin besok pagi itu! Walaupun kau lanjutkan, namun pria asing itu takkan pernah bisa kaumiliki seutuhnya!" Kamau'le akhirnya bisa bicara juga, dengan suara bergetar dilanjutkannya kalimat peringatan, "Terkutuk, itulah status Kai melalui wahyu yang kuterim
"Tunggu dulu, Kai!" Sebelum bibir Kai sempat menyentuh mulut buli-buli berisi 'minuman segar' yang beraroma segar dan harum seperti wine tersebut, tetiba Aina berubah pikiran. Ditepiskannya benda itu dari tangan Kai hingga jatuh terguling-guling di atas lantai tanah, menumpahkan semua ramuan misterius Kepala Suku sekaligus Dukun Kamau'le itu di lantai tanah hingga terserap habis. "Hei, ada apa, Aina? Bukankah kau yang telah memberikan kepadaku minuman istimewa dari desamu, mengapa kau tak izinkan aku menyesapnya?" Kai tampak terkejut dan heran. "Aku.. maaf, sebenarnya aku curiga. Sedari aku pulang tadi, firasatku buruk sekali. Karena terjadi hal yang tak kita inginkan. Kurasa... kita harus membatalkan pernikahan kita ini," ungkap Kaina dengan suara lirih dan air mata yang hampir tumpah, "dan kita harus berpisah!" "Astaga. Mengapa bisa berkata begitu, Aina, setelah kau diam-diam sendirian pergi ke desamu lalu pulang dengan kabar buruk ini? Bukankah semua belum terjadi dan belum kit
Malam itu cuaca cerah dan tetap hangat khas surga terpencil beriklim tropis, namun udara dalam pondok kecil itu terasa jauh lebih panas.Kedua tubuh indah dengan begitu banyak hal berbeda itu entah berapa kali bersatu dan berpisah, seakan-akan tak kenal lelah saling mengeksplorasi, menelusuri dalam keremangan. Walau penuh peluh dan lelah, keduanya menikmati setiap pasang surut dan gelombang yang datang dan pergi. Namun takkan pernah berlalu dan akan terpatri dalam ingatan untuk selamanya.Walau Kai, sang pemuda tampan namun 'asing', sebetulnya belum yakin pada langkah yang ia ambil. Ia yakin, dulu pernah melakukan hal yang sama pada suatu waktu yang belum jauh di masa silam. Entah bersama siapa, entah dengan cinta ataukah hanya dengan hawa nafsu belaka.Sedangkan Aina, sang gadis lokal berparas manis eksotis, terdiam dalam pelukan pemuda yang belum lama ini ia kenal. Kadang timbul penyesalan dalam hati, mengapa Kai harus datang dalam hidupnya. Mengapa harus ia y
Keesokan paginya dalam keremangan menjelang merekahnya fajar di teluk pondok Aina yang permai, dua sosok tampak sedang mempersiapkan segalanya untuk keberangkatan diam-diam mereka. Tanpa lelah mereka berkemas menaikkan beberapa benda ke atas sebuah perahu kecil, bersiap-siap meninggalkan masa lalu di pulau tropis sepi nan indah yang sudah mempertemukan keduanya."Selamat tinggal tanah airku, tempat aku dilahirkan dan dibesarkan oleh orangtua, saudara-saudari dan sukuku. Maafkan aku yang kini harus pergi jauh demi cinta..."Aina memandang sedih sekaligus bahagia pada pondok kecil yang sudah ia bangun sendiri dan huni selama bertahun-tahun lamanya. Ia siap untuk memulai hidup barunya bersama Kai, yang juga mencoba untuk melupakan hidup lamanya dan hanya ingin menatap masa depan berdua saja bersama Aina.Walau mereka tahu, jalan di depan masih sangat panjang dan penuh dengan ketidakpastian. Aina masih memikirkan kata-kata Kepala Suku Kamau'le yang berulangkali berk
"Tidak, Aina! Kita harus dan akan pergi jauh-jauh bersama apapun yang terjadi!" Kai dengan berani mendatangi pemuda-pemuda berkulit gelap dan bertubuh tegap yang bersenjata itu, seolah-olah ia yakin bahwa mereka takkan berani melawannya.Mereka bersiaga dan pasang kuda-kuda dengan posisi siap serang. Kai merasa pasrah sekaligus tegar, tak ingin mengalah di bawah ancaman nyata yang bisa sewaktu-waktu mengakhiri hidupnya. Ia merasa inilah pertaruhan nyawa yang harus ia menangkan lagi. Dulu ia pernah dilawan oleh sesuatu yang seperti ini, namun ia menang! Kali ini, bagaiman? Ia takkan pernah tahu jika ia tak melakukannya!Aina ingin mendekat untuk menghalangi, namun dua orang di sampingnya tetiba mencekal kedua lengan rampingnya."Lepaskan aku! Aku tak ingin disentuh oleh kalian! Aku milik Kai!" serunya berusaha menepiskan genggaman tangan kasar orang-orang sukunya sendiri yang tak ia kenal itu.Namun kedua pria kasar yang mencekalnya tersenyum gembira dan s
Semua orang-orang dari suku Aina itu tak berani lagi semilimeterpun mendekat kepada Aina dan Kai. Seperti dilanda gelombang ketakutan yang amat sangat, mereka mundur, menjauh sambil mencetuskan ancaman-ancaman yang disertai sumpah serapah dalam bahasa daerah yang tak Kai pahami.Kini mereka harus segera angkat kaki dan melempar sauh dari pulau itu karena sekarang Kamau'le dan semua orang-orangnya tak hanya mengeluarkan badik. Ternyata mereka memiliki senjata lain, busur-busur kayu dan anak panah yang telah dipersiapkan sebelumnya."Kai, awas, anak-anak panah sukuku selalu diolesi racun yang sangat kuat. Kita belum tahu kejadian tadi sebenarnya adalah keberuntungan belaka ataukah memang semacam kekuatan magis yang kau miliki. Sebaiknya kita segera naiki perahu kita dan berlayar jauh-jauh dari sini," bisik Aina sambil menggamit lengan Kai."Baiklah, itu memang hal terbaik yang harus kita lakukan secepatnya! Mari, Aina!"Di bawah ancaman busur-busur yang tel
POV Aina:"Kai, mungkin kedengarannya ini gila! Namun aku tak ingin kau hidup tanpa masa lalumu! Kau berhak dan wajib untuk mengetahuinya!"Susah payah aku berseru sambil berenang mengejar Kai saat kami berdua terjatuh ke permukaan laut tenang, namun Kai masih bersikeras untuk membuang cincin-cincin miliknya itu. Ia berenang cepat menghindariku, namun tak lama segera berbalik arah kembali ke perahu kecil kami."Aina, biarkanlah aku memilih untuk bersamamu, dan biarkanlah aku menghilangkan jejak-jejak ini sehingga tak seorangpun akan tahu siapa diriku sebenarnya!" Kai akhirnya berhasil mencapai perahu kami lagi dan segera naik ke atasnya.Aku menyusulnya, bersyukur kami tak sampai lama 'bermain kejar-kejaran dalam air' hingga melupakan perahu dan tujuan kami. Namun ia masih belum mau menyerahkan cincin-cincin itu ke dalam tanganku."Sudah kubuang, tadi kuhanyutkan ke dalam laut!" Kai berkelit saat aku memaksanya untuk membuka genggaman kedua tangann