IRIN mengangkat lingerie berwarna marun yang hanya bisa menutupi payudara dan bagian intimnya saja dengan tatapan horor. Dia benar-benar menemukan hadiah seperti ini?
Irin mengernyitkan dahi, dia mencari nama yang memberikan kado itu dan ia langsung mengumpat begitu melihat nama teman sekelasnya dulu tertera di sana.
"Emang berengsek itu buaya satu!" umpatnya.
Irin mencoba membuka hadiah lainnya, sampai tatapannya berhenti di sebuah kotak kado besar berwarna merah yang ia ingat jelas dibawa oleh Jake sebelum mantan aktor itu membuat geger acara pernikahannya.
Dia mencoba mencari nama pengirim, tapi dia tidak menemukan apa-apa. Hingga dia menyerah mencari-cari dan lantas membuka isinya.
Selembar kain panjang berwarna putih membalut sesuatu di dalamnya. Irin membuka kain itu dan ia menemukan sebuah bingkai berwarna merah yang membingkai foto kelas XI IPS 1 dan XI IPA 1 yang sedang gencatan senjata.
Benar, itu kelas Irin dan juga kelas Rein dulu. Kelas mereka sering bertengkar, tentunya bukan ia dan Rein, melainkan anak sekelas mereka yang lain. Terutama laki-laki yang ia sukai saat itu dengan anak di kelas Rein, bahkan kadang Rein ikut-ikutan juga.
"Lihatin apa?"
Pertanyaan itu membuat Irin tersenyum simpul. "Ini, ada yang ngado foto kita waktu kelas sebelas, pas lagi gencatan senjata."
Irin menunjukkan bingkai foto itu pada Rein tanpa merasa berdosa sama sekali. Rein menerimanya dan matanya melotot begitu dia melihat seperti apa sosoknya di foto itu.
"Bangsat, siapa yang punya foto ini?" tanyanya emosi.
Rein ingat betul, foto itu kabarnya sudah hilang sebelum sempat diberikan bahkan diperlihatkan ke anak-anak kelas sebelas. Katanya, data sekolah dibobol oleh hacker entah dari mana yang membuat sekolah kecurian beberapa data siswa, walau tidak berimbas fatal.
Irin mengangkat bahu. "Nggak tahu, itu dari kado yang dibawa Jake kemarin. Lo tahu siapa yang ngirim?"
Rein mengernyitkan dahinya. Akram? Apa dulu dia yang udah bobol data sekolah, tapi buat apa? Dan kenapa harus foto itu yang dijadiin kado pernikahan gue sama Irin, anj*ng!
Sumpah, dia bahkan baru sadar kalau di foto itu dia menatap Irin sampai mupeng begitu. Ekspresinya benar-benar khas seorang anak remaja yang sedang jatuh cinta pada anak kelas sebelah yang cuma bisa dipendam sampai kiamat.
Astaga, mukanya mau ditaruh mana kalau Irin sampai melihat dan menyadari fotonya?
"Gue pinjem, ya, fotonya."
"Pinjem buat apaan? Dipajang aja, kan, lumayan."
Lumayan pala lo!
Rein terkejut saat foto itu dirampas dari tangannya dan Irin sibuk mencari tempat yang cocok untuk menaruh foto itu di dinding apartemennya.
Mikir, Rein, mikir! Itu kalau ada yang sadar fotonya, lo bisa malu seumur hidup!
Rein menoleh ke sembarang arah, lalu dia melihat lingerie merah yang berada salah satu kotak kado yang sudah dibuka. Dia mengambil benda itu dengan menelan ludah berulang kali.
Dia menatap istrinya, lalu lingerie itu berulang kali. "Rin, lo nggak mau makai ini di depan gue apa gimana gitu?"
"Hah?"
Irin menoleh, wajahnya memerah, dan ia langsung menghampiri Rein, menukar lingerie dengan bingkai foto di tangannya, lalu dengan panik dia berlari menuju lemari untuk menyembunyikan pakaian dalam itu di sana.
"Lah, malah diumpetin, bukannya dipakek gitu?"
Irin mendelik. "Mimpi dulu sana, kalau udah tinggi, ntar gue jatohin biar lo sadar lagi."
"Sadis," Rein mengembalikan bingkai itu kembali kotaknya, "tapi gue suka."
"Lo kan emang masokis, Rein!"
Rein tertawa, apalagi saat melihat Irin memalingkan pandangan dengan pipinya bersemu merah.
"Jadi, beneran, nih, nggak mau makai di depan muka gue? Kalau lo mau makai itu, lo boleh mukul atau mau ngapa-ngapain gue, kok. Ikhlas lahir batin gue."
Irin memasang ekspresi seperti ingin muntah. "Amit-amit, salah gue apa coba sampai dapat suami kayak lo? Untung cuma dua bulan."
Kalimat itu lagi ....
"Yakin cuma dua bulan? Bukannya perjanjian kita sama Tuhan, nikahnya buat selamanya, ya?"
Irin menatap Rein, Rein menatap Irin. Keduanya saling berpandangan sampai Irin melemparkan kalimat mematikan untuk Rein.
"Emang lo mau hidup selamanya sama orang yang nggak lo cintai?"
Rein menatap iris mata cokelat itu dengan ekspresi serius. "Bukan nggak, tapi belum. Tugas manusia itu terus berusaha mencapai apa yang ingin dicapainya. Kalau lo mau pernikahan ini untuk selamanya, berarti lo harus belajar buat suka dan cinta sama gue, begitu pula sebaliknya."
Irin membuang muka, tidak menjawab apa pun dan memilih membisu. Ia bahkan sampai melupakan keberadaan foto yang ingin dia pajang untuk mengisi dinding apartemen yang penuh kekosongan itu.
___
REIN melapisi foto itu dengan kain, sebelum menyembunyikannya di lemari bagian paling bawah, tempat ia biasa menaruh dalaman. Melihat Irin yang tampak jijik saat memandangi boxer-nya semalam, dia berpikiran kalau perempuan itu tidak akan mau repot-repot menggeledah tempat itu hanya demi mencari sebingkai foto.Irin sekarang sedang mandi. Itu mengapa dia bisa menyembunyikan sesuatu tanpa harus khawatir perempuan itu akan tahu.Rein mendesah kasar. Dia menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang dan mulai memejamkan mata setelah kedua tangannya dia jadikan bantal.Apa yang akan mereka lakukan setelah ini?Meneruskan pernikahan, jelas bukan sesuatu yang mudah, terlebih Irin terang-terangan tidak menginginkan pernikahan ini terjadi.Rein mendesah kasar. Dua bulan ... apa dia bisa menahan diri untuk tidak menyentuh istrinya sendiri?Benar, melakukan hubungan intim di antara suami istri memanglah wajar. Namun, jauh di dasar hatinya, dia tidak ingin memaksa hanya untuk bisa mendapatkan apa yang seh
"SERIUS, nih, masa iya gue harus minta bantuan tetangga cuma buat ke apartemen Syila?" Irin sudah siap mengetuk pintu, tapi ia merasa ragu. Dia pun berhenti, tubuhnya menyender dinding, kemudian merogoh sakunya untuk mengambil ponsel dan menghubungi tersangkanya langsung. Satu detik ... dua detik ... hingga detik kesepuluh, dia masih berteman dengan sepi tanpa menemui sambutan yang berarti. Irin kembali menghubungi nomor yang sama dan akhirnya, dia mendapatkan balasan dari seberang. "Halo!" sapaan dari seberang telepon membuat Irin mengernyit. Suara laki-laki, padahal dia menghubungi nomor Syila dan Syila itu perempuan. "Lo siapa? Nomor ini harusnya punya temen gue, kenapa bisa ada di lo nomornya?" tanyanya beruntun. Irin sangat yakin, Syila tidak akan membuang nomor kesayangannya itu sampai kapan pun. Kecuali ponselnya dicuri atau hilang di tengah jalan dan ditemukan orang asing. Sosok di seberang sana mendengkus keras. "Emang nomor Syila masih gue bawa. Lo siapa? Dan ada perlu
"NANTI malam gue nginep sini, ya?" Semua mata sontak memandangi Irin yang kini memasang ekspresi memohon pada Syila, sang pemilik apartemen. Jujur saja, lebih baik dia tinggal dengan Syila daripada tinggal bersama Rein. Tentu saja, semua itu karena sifat Rein yang suka lepas pakaian seenaknya, dan dia bahkan tidak punya urat malu sama sekali untuk menunjukkan pantat di depan mukanya. Benar, sih, dia tidak memamerkan benda kebanggaannya, tapi tetap saja ... itu semua tidak baik untuk jantung dan otaknya. "Errr ...." Syila melirik Jake yang memberi gelengan tegas. Dia pun menghela napasnya kasar. Dia sudah mendengar soal Rein yang ternyata lebih gila dari Jake dan dia benar-benar kasihan pada Irin setelah mendengar ceritanya. "Nginep aja, kalau lo mau lihat mereka berdua ngadon." Rein menunjuk Jake tepat di depan mukanya. "Emang iya?" tanya Irin dengan muka polos yang ingin sekali Rein tabok, dia sepertinya lupa siapa Jake yang terkenal bajingan di mana-mana. Syila menggaruk-garuk
"RIN!" "Kenapa?" Irin membalas tatapannya. "Lo yakin mau beli ini semua?" Rein menatap horor peralatan memasak yang dipilih Irin dan siap dibawa pulang ke apartemennya. Dia tidak masalah membeli semua itu, tentunya jika barang-barang itu memang berguna untuk mereka, kenapa tidak? Masalahnya, baik dia maupun Irin jelas-jelas tidak ada yang bisa memasak. Lalu untuk apa membeli semua peralatan dapur ini? Mau dibuat koleksi atau buat penghias dapurnya yang kosong melompong gitu? Jangan bercanda dengannya .... "Yakinlah! Nanti beli telur, sayur, dan rempah-rempah juga, ya." "Lo mau masak?" Rein mengernyitkan dahi, menatap istrinya curiga. "Emang bisa?" Irin mengatupkan bibirnya. "Mau bilang bisa, sih, kayaknya kecepatan. Gue baru belajar soalnya. Nggak boleh emangnya?" Rein tidak berkomentar. Dia membiarkan istrinya mengambil apa saja yang Irin perlukan dan berharap keduanya lekas pulang dari sana. Rein mulai merasa tidak nyaman akan pandangan ibu-ibu yang tengah melirik mereka ta
BARU kerja satu hari, Rein terpaksa mengambil cuti lagi. Perutnya tidak beres setelah memakan nasi goreng buatan Irin. Entah apa yang salah, padahal ia merasa tidak ada masalah. Kemarin malam, telur dadarnya jadi dengan selamat. Paginya, Irin mencoba membuat nasi goreng dari nasi sisa semalam. Entah nasinya yang sudah basi atau perutnya yang tidak keruan, karena salah makan sebelum mencicipi telur dadar buatan istrinya. "Masih mulas, Rein?" Irin menghampiri dengan wajah khawatir. Jelas saja istrinya kepikiran soal masakannya yang bisa saja membuat sang suami sakit perut. Walau Rein tidak terlihat keberatan saat memakan masakannya, tapi bukan berarti semuanya baik-baik saja saat Rein menelan masakan buatannya, kan? Rein hanya mengangguk lemah. "Udah mendingan dari yang tadi," balasnya jujur. Dia jadi mager melakukan apa pun dan lebih memilih tidur dengan tubuh miring di sofa ruang depan. "Papa tadi nelepon, katanya kita disuruh main ke rumah." Rein berjengit dan menatap istrinya d
"GIMANA sama Rein, kamu baik-baik saja, kan?" Verga bertanya begitu Rein naik ke kamar putrinya. Irin menatap ayahnya serius, lalu menganggukkan kepala. "Sekarang masih baik-baik saja, Pa." Verga menghela napas lega. "Rein sudah tahu soal itu?" Irin terdiam cukup lama, sebelum menganggukkan kepala. "Iya, Rein sudah tahu, Pa." "Syukurlah kalau dia mau mengerti. Kapan kamu mau konsultasi lagi? Kamu tidak mungkin akan terus begini setelah menikah, kan?" Irin menggigit bibirnya dengan ragu. "Aku izin sama Rein dulu, ya, Pa?" Perempuan itu menaiki tangga, meninggalkan Verga yang menatap punggungnya khawatir. Irin memasuki kamarnya, dia bisa melihat Rein sudah rebahan di ranjang seperti biasa. Tubuhnya pun mendekat, duduk di samping suaminya, lalu dengan hati-hati tubuhnya merendah dan ia menyentuh wajah tampan Rein dengan perlahan. Tidak ada keanehan apa pun. Tidak ada yang ia rasakan. Sama seperti dulu, tidak ada gejala apa pun yang ia rasakan pada Rein, teman masa kecilnya. "Mungk
SETELAH berciuman dengan Irin beberapa saat lalu, Rein mulai merasa ada yang tidak beres dengan otaknya. Pikiran-pikiran mesum terus berkeliaran, mengusik, dan meminta pelampiasan.Sebenarnya, hal itu tidaklah sulit. Rein hanya tinggal mencari jalang di luar sana, lalu menidurinya seperti biasa, maka ketenangannya akan kembali.Masalahnya, sudah sebulan lebih ia belum pernah menyalurkan hasrat. Dan Irin membuat perjanjian yang sukses membuat Rein berpikir berulang kali untuk jajan di luar.Laki-laki itu berdecak. Dia mendelik ke arah Irin yang entah sejak kapan telah bersender di bahunya sambil nonton TV di rumah papa mertua."Kenapa, sih?" tanya Irin dengan wajah tidak berdosa."Mau apa lo di sini?" tanyanya malas."Nemenin suami nonton TV."Rein mendelik. "Gue bisa sendiri.""Gue mau nemenin, nggak, boleh?"Rein mendesah kasar. Dia mendorong Irin agar menjauh darinya, kalau perempuan itu kembali dekat-dekat, entah apa yang bisa Rein perbuat padanya."Jangan deket-deket.""Kenapa?" Ir
SAAT itu dia mulai bertanya-tanya. Kenapa istrinya—yang sejak hari pernikahan mereka mengatakan tidak mau melakukan hubungan intim dan akan mengakhiri pernikahan dua bulan kemudian—tiba-tiba saja mengizinkan Rein untuk menyentuhnya? Kenapa Irin tiba-tiba mau melakukannya? Apa yang sebenarnya ada di kepala istrinya itu?Kalau Irin memang mau bercinta dengannya dan sengaja memberikan ancaman itu agar Rein tidak berselingkuh di kemudian hari. Irin hanya tinggal bicara dan Rein pasti menuruti semua kata-katanya. Irin tidak perlu mengancamnya, karena Rein tidak pernah main-main dengan pernikahan mereka. Namun, Irin telah melakukannya. Jelas ada alasan di balik semua kalimat yang pernah istrinya lontarkan.Rein menghela napas kasar. Dia menatap pintu kamar yang kemudian terbuka dan Irin muncul dengan senyuman lebar yang terlihat mencurigakan."Mampus, kan, ketahuan!" Irin terkekeh, nada suaranya tampak normal dan penuh canda. Sangat berbeda sekali dengan Irin yang menganggukkan kepala dan