REIN melapisi foto itu dengan kain, sebelum menyembunyikannya di lemari bagian paling bawah, tempat ia biasa menaruh dalaman. Melihat Irin yang tampak jijik saat memandangi boxer-nya semalam, dia berpikiran kalau perempuan itu tidak akan mau repot-repot menggeledah tempat itu hanya demi mencari sebingkai foto.
Irin sekarang sedang mandi. Itu mengapa dia bisa menyembunyikan sesuatu tanpa harus khawatir perempuan itu akan tahu.
Rein mendesah kasar. Dia menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang dan mulai memejamkan mata setelah kedua tangannya dia jadikan bantal.
Apa yang akan mereka lakukan setelah ini?
Meneruskan pernikahan, jelas bukan sesuatu yang mudah, terlebih Irin terang-terangan tidak menginginkan pernikahan ini terjadi.
Rein mendesah kasar. Dua bulan ... apa dia bisa menahan diri untuk tidak menyentuh istrinya sendiri?
Benar, melakukan hubungan intim di antara suami istri memanglah wajar. Namun, jauh di dasar hatinya, dia tidak ingin memaksa hanya untuk bisa mendapatkan apa yang seharusnya memang menjadi miliknya.
Terlebih, Irin adalah orang yang sejak dulu menjadi cinta pertamanya. Dia tidak ingin membuat Irin memandangnya buruk setelah mereka berpisah nanti.
Rein mendesah lagi. Benar-benar sulit ....
Dering ponsel yang terdengar asing membuat Rein bangkit sembari mengernyitkan dahi. Jelas, dia tahu namanya privasi, tapi dia ingin mengetahui siapa yang sedang menghubungi sang istri.
Nama laki-laki di layar ponsel Irin membuat Rein mengangkat telepon tanpa berpikir dua kali.
"Rin, kenapa lo nikah nggak ada bilang-bilang ke gue? Katanya lo mau nikah sama gue, tapi apa kenyataannya, lo--"
"Kenyataannya sederhana. Dia nggak cinta sama lo, itu kenapa dia nggak jadi nikah sama lo."
Rein memutus sambungan sebelum tambah dongkol setengah mati. Benar, Irin dulunya punya banyak pacar.
Tentu saja, akan ada banyak laki-laki yang mendekati putri konglomerat seperti istrinya. Apalagi Irin memiliki paras yang mendekati sempurna. Siapa yang tidak akan tergoda untuk menjadikannya pendamping hidup untuk selamanya?
Bahkan Rein yang bersumpah hanya akan menyimpan perasaannya sampai kiamat pun pernah bermimpi untuk memilikinya.
Rein mendengkus. Dia benar-benar jadi milik gue sekarang, tapi gue nggak bisa ngerasa senang. Sama sekali.
"Kenapa lo megang ponsel gue?"
Rein menoleh, tanpa merasa bersalah dia menyodorkan ponsel itu kembali kepada pemiliknya. "Joan nelepon," katanya.
Irin mengernyitkan dahi sambil menerima ponselnya dengan pasti. "Ngapain coba dia nelepon gue lagi, dih?" Irin tampak sibuk menjalankan jemarinya di atas layar. "Lo angkat, nggak?"
Rein mengangguk. "Iya."
"Dia bilang apa?"
"Dia bilang, kenapa lo nikah nggak ada kabar-kabar, katanya lo janji mau nikah sama dia."
"Idih, ngaco! Siapa juga yang pernah bikin janji kek begitu." Irin mendesah lega. "Clear blokir nomor mantan."
"Segitunya? Nggak kasihan lo sama dia?" Rein mengernyitkan dahi curiga.
"Sama suami sendiri aja tega, sama mantan nggak tega. Lo pikir gue udah gila?" Irin mendengkus. "Lagian, gue nggak suka cowok kayak dia."
"Emang dia kenapa?"
Irin menatap Rein serius. "Kalian setipe, sih, jadi mending nggak gue kasih tahu, nanti lo juga ikutan sakit hati."
"Anjir!"
Irin tersenyum tipis. "Rein, apartemen Syila katanya di dekat sini, ya?"
"Kenapa emangnya?"
"Gue mau main, dong. Boleh, ya?" Irin menatap Rein dengan muka memelas yang sangat menggemaskan.
Rein mendengkus keras. "Main aja sana." Dia kembali menuju ranjang, lalu kembali rebahan.
Tidak ada kerjaan, memang. Dia cuti menikah seminggu, niatnya biar ada acara bulan madu segala macam, tapi buat apa bulan madu kalau kenyataannya cuma jalan-jalan doang bikin keturunannya kagak.
"Anterin dong, gue nggak tahu apartemennya yang mana. Ntar gue nyasar atau diculik sama orang gimana? Lo tega banget ngelepasin gue sendirian di tempat begini."
Rein sontak bangun dan memelototi istrinya. "Nggak usah ngaco kalau ngomong. Siapa juga yang mau nyulik cewek galak kayak lo?"
"Idih, gue kan imut dan cantik, pasti banyak yang mau nyulik gue buat dijadiin istri."
Rein memelototinya. "Jangan ngada-ngada, Rin. Yang kayak gitu nggak mungkin kejadian."
"Kan, siapa tahu, kan?"
Rein mendesah kasar. "Iyain."
"Serius, dih, anterin gue. Ntar kalau nyasar gimana?"
Rein mengacak-acak rambutnya frustrasi. "Lo keluar dari apartemen ini, belok kanan, jalan lima langkah, terus ketuk pintu apartemen sebelah, dan tungguin sampai kebuka. Ntar lo dianterin sama dia ke apartemen Syila."
Irin sontak melotot. "Susah-susah amat, sih, lo! Apa salahnya langsung bilang di mana tempatnya ke gue?"
"Ntar lo nyasar, sama aja." Rein mendengkus. "Udah sana keluar lo, gue mau tidur." Rein kembali menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur.
"Dasar Kebo Porno!"
Rein menarik bantal, lalu menyembunyikan kepalanya di bawah bantal.
"Dasar suami nggak guna, disuruh nganterin istrinya ke apartemen adik sendiri aja, dia malah milih tiduran. Awas aja kalau gue bisa masak ntar, nggak akan gue bagi hasil masakan gue ke lo, biar lo mampus kelaparan!"
Rein yang masih bisa mendengar hanya menggumam pelan, "Lagian, apartemen cuma sebelahan begini minta dianterin, buat apa coba?"
____
"SERIUS, nih, masa iya gue harus minta bantuan tetangga cuma buat ke apartemen Syila?" Irin sudah siap mengetuk pintu, tapi ia merasa ragu. Dia pun berhenti, tubuhnya menyender dinding, kemudian merogoh sakunya untuk mengambil ponsel dan menghubungi tersangkanya langsung. Satu detik ... dua detik ... hingga detik kesepuluh, dia masih berteman dengan sepi tanpa menemui sambutan yang berarti. Irin kembali menghubungi nomor yang sama dan akhirnya, dia mendapatkan balasan dari seberang. "Halo!" sapaan dari seberang telepon membuat Irin mengernyit. Suara laki-laki, padahal dia menghubungi nomor Syila dan Syila itu perempuan. "Lo siapa? Nomor ini harusnya punya temen gue, kenapa bisa ada di lo nomornya?" tanyanya beruntun. Irin sangat yakin, Syila tidak akan membuang nomor kesayangannya itu sampai kapan pun. Kecuali ponselnya dicuri atau hilang di tengah jalan dan ditemukan orang asing. Sosok di seberang sana mendengkus keras. "Emang nomor Syila masih gue bawa. Lo siapa? Dan ada perlu
"NANTI malam gue nginep sini, ya?" Semua mata sontak memandangi Irin yang kini memasang ekspresi memohon pada Syila, sang pemilik apartemen. Jujur saja, lebih baik dia tinggal dengan Syila daripada tinggal bersama Rein. Tentu saja, semua itu karena sifat Rein yang suka lepas pakaian seenaknya, dan dia bahkan tidak punya urat malu sama sekali untuk menunjukkan pantat di depan mukanya. Benar, sih, dia tidak memamerkan benda kebanggaannya, tapi tetap saja ... itu semua tidak baik untuk jantung dan otaknya. "Errr ...." Syila melirik Jake yang memberi gelengan tegas. Dia pun menghela napasnya kasar. Dia sudah mendengar soal Rein yang ternyata lebih gila dari Jake dan dia benar-benar kasihan pada Irin setelah mendengar ceritanya. "Nginep aja, kalau lo mau lihat mereka berdua ngadon." Rein menunjuk Jake tepat di depan mukanya. "Emang iya?" tanya Irin dengan muka polos yang ingin sekali Rein tabok, dia sepertinya lupa siapa Jake yang terkenal bajingan di mana-mana. Syila menggaruk-garuk
"RIN!" "Kenapa?" Irin membalas tatapannya. "Lo yakin mau beli ini semua?" Rein menatap horor peralatan memasak yang dipilih Irin dan siap dibawa pulang ke apartemennya. Dia tidak masalah membeli semua itu, tentunya jika barang-barang itu memang berguna untuk mereka, kenapa tidak? Masalahnya, baik dia maupun Irin jelas-jelas tidak ada yang bisa memasak. Lalu untuk apa membeli semua peralatan dapur ini? Mau dibuat koleksi atau buat penghias dapurnya yang kosong melompong gitu? Jangan bercanda dengannya .... "Yakinlah! Nanti beli telur, sayur, dan rempah-rempah juga, ya." "Lo mau masak?" Rein mengernyitkan dahi, menatap istrinya curiga. "Emang bisa?" Irin mengatupkan bibirnya. "Mau bilang bisa, sih, kayaknya kecepatan. Gue baru belajar soalnya. Nggak boleh emangnya?" Rein tidak berkomentar. Dia membiarkan istrinya mengambil apa saja yang Irin perlukan dan berharap keduanya lekas pulang dari sana. Rein mulai merasa tidak nyaman akan pandangan ibu-ibu yang tengah melirik mereka ta
BARU kerja satu hari, Rein terpaksa mengambil cuti lagi. Perutnya tidak beres setelah memakan nasi goreng buatan Irin. Entah apa yang salah, padahal ia merasa tidak ada masalah. Kemarin malam, telur dadarnya jadi dengan selamat. Paginya, Irin mencoba membuat nasi goreng dari nasi sisa semalam. Entah nasinya yang sudah basi atau perutnya yang tidak keruan, karena salah makan sebelum mencicipi telur dadar buatan istrinya. "Masih mulas, Rein?" Irin menghampiri dengan wajah khawatir. Jelas saja istrinya kepikiran soal masakannya yang bisa saja membuat sang suami sakit perut. Walau Rein tidak terlihat keberatan saat memakan masakannya, tapi bukan berarti semuanya baik-baik saja saat Rein menelan masakan buatannya, kan? Rein hanya mengangguk lemah. "Udah mendingan dari yang tadi," balasnya jujur. Dia jadi mager melakukan apa pun dan lebih memilih tidur dengan tubuh miring di sofa ruang depan. "Papa tadi nelepon, katanya kita disuruh main ke rumah." Rein berjengit dan menatap istrinya d
"GIMANA sama Rein, kamu baik-baik saja, kan?" Verga bertanya begitu Rein naik ke kamar putrinya. Irin menatap ayahnya serius, lalu menganggukkan kepala. "Sekarang masih baik-baik saja, Pa." Verga menghela napas lega. "Rein sudah tahu soal itu?" Irin terdiam cukup lama, sebelum menganggukkan kepala. "Iya, Rein sudah tahu, Pa." "Syukurlah kalau dia mau mengerti. Kapan kamu mau konsultasi lagi? Kamu tidak mungkin akan terus begini setelah menikah, kan?" Irin menggigit bibirnya dengan ragu. "Aku izin sama Rein dulu, ya, Pa?" Perempuan itu menaiki tangga, meninggalkan Verga yang menatap punggungnya khawatir. Irin memasuki kamarnya, dia bisa melihat Rein sudah rebahan di ranjang seperti biasa. Tubuhnya pun mendekat, duduk di samping suaminya, lalu dengan hati-hati tubuhnya merendah dan ia menyentuh wajah tampan Rein dengan perlahan. Tidak ada keanehan apa pun. Tidak ada yang ia rasakan. Sama seperti dulu, tidak ada gejala apa pun yang ia rasakan pada Rein, teman masa kecilnya. "Mungk
SETELAH berciuman dengan Irin beberapa saat lalu, Rein mulai merasa ada yang tidak beres dengan otaknya. Pikiran-pikiran mesum terus berkeliaran, mengusik, dan meminta pelampiasan.Sebenarnya, hal itu tidaklah sulit. Rein hanya tinggal mencari jalang di luar sana, lalu menidurinya seperti biasa, maka ketenangannya akan kembali.Masalahnya, sudah sebulan lebih ia belum pernah menyalurkan hasrat. Dan Irin membuat perjanjian yang sukses membuat Rein berpikir berulang kali untuk jajan di luar.Laki-laki itu berdecak. Dia mendelik ke arah Irin yang entah sejak kapan telah bersender di bahunya sambil nonton TV di rumah papa mertua."Kenapa, sih?" tanya Irin dengan wajah tidak berdosa."Mau apa lo di sini?" tanyanya malas."Nemenin suami nonton TV."Rein mendelik. "Gue bisa sendiri.""Gue mau nemenin, nggak, boleh?"Rein mendesah kasar. Dia mendorong Irin agar menjauh darinya, kalau perempuan itu kembali dekat-dekat, entah apa yang bisa Rein perbuat padanya."Jangan deket-deket.""Kenapa?" Ir
SAAT itu dia mulai bertanya-tanya. Kenapa istrinya—yang sejak hari pernikahan mereka mengatakan tidak mau melakukan hubungan intim dan akan mengakhiri pernikahan dua bulan kemudian—tiba-tiba saja mengizinkan Rein untuk menyentuhnya? Kenapa Irin tiba-tiba mau melakukannya? Apa yang sebenarnya ada di kepala istrinya itu?Kalau Irin memang mau bercinta dengannya dan sengaja memberikan ancaman itu agar Rein tidak berselingkuh di kemudian hari. Irin hanya tinggal bicara dan Rein pasti menuruti semua kata-katanya. Irin tidak perlu mengancamnya, karena Rein tidak pernah main-main dengan pernikahan mereka. Namun, Irin telah melakukannya. Jelas ada alasan di balik semua kalimat yang pernah istrinya lontarkan.Rein menghela napas kasar. Dia menatap pintu kamar yang kemudian terbuka dan Irin muncul dengan senyuman lebar yang terlihat mencurigakan."Mampus, kan, ketahuan!" Irin terkekeh, nada suaranya tampak normal dan penuh canda. Sangat berbeda sekali dengan Irin yang menganggukkan kepala dan
HARI demi hari berlalu. Kebiasaan Irin setiap pagi adalah memandangi wajah sang suami yang masih tertidur, sebelum dia membuat sesuatu di dapur. Rein sudah berjanji mau menjadi kelinci percobaannya, jadi jangan salahkan Irin jika rasa masakannya nanti tak keruan, tapi wajib dimakan.Begitu ia puas, Irin segera memasak untuk sarapan suaminya. Ya, hanya Rein, karena Irin tidak siap mencoba masakannya sendiri, takut kalau perutnya melilit.Tak lama kemudian, Rein menghampirinya di dapur. Seperti biasa, pria itu duduk di kursi, menatap Irin yang sedang menggoreng nasi sisa semalam. Kedua tangannya menyangga dagu, menatap lurus istrinya yang kini membalas tatapannya."Kenapa, sih?""Lucu aja ngelihatnya." Rein tertawa pelan."Lucu gimana?" Irin menaruh nasi gorengnya ke piring dan menghampiri Rein."Cuma satu, Rin? Buat lo mana?" tanya Rein yang kini mengernyitkan dahi."Buat lo aja, pasti rasanya nggak enak."Rein tersedak, kemudian tertawa. "Kalau udah tahu nggak enak, kenapa masih masak