IRIN tidak tahu harus ngapain saat ia bangun tidur. Biasanya, pelayan keluarga akan menyiapkan semua keperluannya. Dimulai dari pakaian, make up, sarapan, dan di luar rumah, sopir sudah siap mengantar dia pergi ke mana pun jika diminta.
Namun, kali ini dia tinggal di apartemen Rein. Tinggal berdua bersama teman masa kecilnya yang sekarang telah menjadi suami sahnya.
Irin menggigit bibir. Mengingat hal itu lantas membuat jantungnya bergemuruh.
Semalam, dia naik ke atas ranjang laki-laki itu dengan takut-takut. Pasalnya, mereka sudah sah, tapi Irin tidak mau memberikan hak yang seharusnya Rein dapat darinya.
Tidak ... dia hanya tidak siap melakukannya dengan Rein. Mereka dulu dekat, sangat dekat sampai keduanya SMA dan mulai mengenal yang namanya cinta pertama.
Dan jelas-jelas, cinta pertama Irin bukanlah Rein.
Jadi, jelas, pernikahan atas dasar perjodohan ini tanpa cinta. Mereka hanya saling mengenal dulu, sampai keduanya lulus SMA, karena setelah itu mereka kuliah di Universitas berbeda. Keduanya hanya saling ingat dulu pernah berteman akrab, tapi setelahnya, hubungan mereka putus begitu saja.
"Lo bisa masak?"
Irin menoleh cepat. Dia melihat Rein sedang mengusap rambutnya yang basah dengan handuk mandi warna biru gelap. Lalu menyampirkan handuk basah itu di bahu kanannya yang tegap.
Irin tersenyum canggung. "Menurut lo?"
"Nggak, sih. Nggak yakin gue kalau lo bisa masak." Rein mengedikkan bahu. "Toh, di sini juga nggak ada alat-alat masak sama sekali, nggak ada bahan makanan juga."
Irin sudah melihatnya sendiri semalam. Sewaktu dia membuka pintu kulkas dan hanya menemukan minuman kalengan. Dia juga menemukan beberapa mie dalam kemasan cup yang hanya perlu air panas saja untuk memasaknya.
Benar-benar tidak bisa memasak. Dia jelas tahu itu, karena Rein dari dulu memang membenci dapur.
"Terus gimana sarapan kita pagi ini?"
Rein mengangkat bahunya. "Pesan aja," jawaban santai itu disusul sebuah ponsel yang diserahkan padanya. "Pakai ponsel gue, sandinya kayak yang dulu."
Irin mengernyitkan dahi. "Lo yakin ngasih ponsel lo ke gue, nih? Nggak takut cewek lo telepon dan gue yang angkat?"
Rein mendelik. "Gue nggak punya pacar."
"Beneran jomlo gitu?" tanya Irin dengan nada tidak percaya. "Bertahun-tahun gitu lo masih jomlo?"
Rein mendelik. "Cek aja kalau nggak percaya. Banyakan jejeran mantan lo daripada mantan gue."
"Iya, tapi banyakan rentengan cewek ONS lo daripada jumlah mantan gue ke mana-mana."
Rein hanya tertawa hambar. "Mau gimana lagi? Udah jadi kebiasaan kayak gini, susah diubah, kecuali kalau udah nikah, udah punya lawan main yang sah." Rein mengedipkan sebelah matanya.
Irin langsung membuang muka. "Ngarep banget lo bisa tidur sama gue? No! Ntar pas kita cerai, ternyata gue ketularan penyakit kelamin dari lo, bahaya banget, kan?"
"Gue aman kali, lo sendiri gimana?" Rein bertanya dengan nada santai.
"Iya, pasti amanlah. Gue selalu ingetin lawan main gue buat selalu pakai pengaman."
"Iya udah, kita sama-sama aman." Rein mengangkat bahunya santai, dalam hati dia merasa sedikit lega mendengarnya. "Pesan makan, gih! Abis itu kita jalan-jalan bentar."
Irin mengernyit. "Mau ke mana emang?"
"Ke kelab malam," jawab Rein ngasal. Pagi-pagi begini memangnya kelab sudah buka?
"Dih, mendingan gue buka-bukain kado daripada ikut lo ke sana."
Rein hanya tertawa terbahak-bahak. "Jangan kaget kalau nemu kado yang aneh-aneh."
"Emang isinya apa?" Irin menatapnya tidak paham.
Rein menyeringai. "Siapa tahu, ada yang iseng dan ngado boneka sex, karena punya istri galak yang nggak mau ngasih jatah ke suaminya, kan?"
Irin mengambil pisau, lalu melemparkannya ke arah Rein yang untungnya menghindar tepat pada waktunya.
"Bahaya banget, sih, lo! Baru juga hari pertama, gue udah dilemparin pisau aja. Hari kedua lo bakal ngelemparin gue pakai apa?"
"Yang jelas, di hari terakhir gue bakal lemparin surat cerai ke muka lo."
Rein mendengkus, ia lantas membuang muka, menghindar dari tatapan Irin yang kini tengah memandangi sosoknya.
"Nggak bisa apa, lo mikir-mikir dulu sebelum ngomong cerai di depan suami sendiri?"
Irin mengernyitkan dahi. Memangnya kenapa? Toh, dia tahu kalau mereka sama-sama tidak mau menerima pernikahan ini. Mereka sama-sama tidak saling mencintai.
Rein mau menikah, hanya karena perjanjian tololnya dengan Syila diketahui keluarga besarnya. Dia dipaksa menikah atau namanya akan dicoret dari daftar warisan keluarga Gunawan yang terkenal kaya raya.
Sedangkan Irin menikahi Rein, karena dia telanjur berkata pada orang tuanya yang sedang gencar mencarikan pasangan hidup untuknya.
Kata-kata yang menjadi bumerang dan melahirkan pernikahan mereka.
"Maaf!"
___
IRIN mengangkat lingerie berwarna marun yang hanya bisa menutupi payudara dan bagian intimnya saja dengan tatapan horor. Dia benar-benar menemukan hadiah seperti ini?Irin mengernyitkan dahi, dia mencari nama yang memberikan kado itu dan ia langsung mengumpat begitu melihat nama teman sekelasnya dulu tertera di sana."Emang berengsek itu buaya satu!" umpatnya.Irin mencoba membuka hadiah lainnya, sampai tatapannya berhenti di sebuah kotak kado besar berwarna merah yang ia ingat jelas dibawa oleh Jake sebelum mantan aktor itu membuat geger acara pernikahannya.Dia mencoba mencari nama pengirim, tapi dia tidak menemukan apa-apa. Hingga dia menyerah mencari-cari dan lantas membuka isinya.Selembar kain panjang berwarna putih membalut sesuatu di dalamnya. Irin membuka kain itu dan ia menemukan sebuah bingkai berwarna merah yang membingkai foto kelas XI IPS 1 dan XI IPA 1 yang sedang gencatan senjata.Benar, itu kelas Irin dan juga kelas Rein dulu. Kelas mereka sering bertengkar, tentunya
REIN melapisi foto itu dengan kain, sebelum menyembunyikannya di lemari bagian paling bawah, tempat ia biasa menaruh dalaman. Melihat Irin yang tampak jijik saat memandangi boxer-nya semalam, dia berpikiran kalau perempuan itu tidak akan mau repot-repot menggeledah tempat itu hanya demi mencari sebingkai foto.Irin sekarang sedang mandi. Itu mengapa dia bisa menyembunyikan sesuatu tanpa harus khawatir perempuan itu akan tahu.Rein mendesah kasar. Dia menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang dan mulai memejamkan mata setelah kedua tangannya dia jadikan bantal.Apa yang akan mereka lakukan setelah ini?Meneruskan pernikahan, jelas bukan sesuatu yang mudah, terlebih Irin terang-terangan tidak menginginkan pernikahan ini terjadi.Rein mendesah kasar. Dua bulan ... apa dia bisa menahan diri untuk tidak menyentuh istrinya sendiri?Benar, melakukan hubungan intim di antara suami istri memanglah wajar. Namun, jauh di dasar hatinya, dia tidak ingin memaksa hanya untuk bisa mendapatkan apa yang seh
"SERIUS, nih, masa iya gue harus minta bantuan tetangga cuma buat ke apartemen Syila?" Irin sudah siap mengetuk pintu, tapi ia merasa ragu. Dia pun berhenti, tubuhnya menyender dinding, kemudian merogoh sakunya untuk mengambil ponsel dan menghubungi tersangkanya langsung. Satu detik ... dua detik ... hingga detik kesepuluh, dia masih berteman dengan sepi tanpa menemui sambutan yang berarti. Irin kembali menghubungi nomor yang sama dan akhirnya, dia mendapatkan balasan dari seberang. "Halo!" sapaan dari seberang telepon membuat Irin mengernyit. Suara laki-laki, padahal dia menghubungi nomor Syila dan Syila itu perempuan. "Lo siapa? Nomor ini harusnya punya temen gue, kenapa bisa ada di lo nomornya?" tanyanya beruntun. Irin sangat yakin, Syila tidak akan membuang nomor kesayangannya itu sampai kapan pun. Kecuali ponselnya dicuri atau hilang di tengah jalan dan ditemukan orang asing. Sosok di seberang sana mendengkus keras. "Emang nomor Syila masih gue bawa. Lo siapa? Dan ada perlu
"NANTI malam gue nginep sini, ya?" Semua mata sontak memandangi Irin yang kini memasang ekspresi memohon pada Syila, sang pemilik apartemen. Jujur saja, lebih baik dia tinggal dengan Syila daripada tinggal bersama Rein. Tentu saja, semua itu karena sifat Rein yang suka lepas pakaian seenaknya, dan dia bahkan tidak punya urat malu sama sekali untuk menunjukkan pantat di depan mukanya. Benar, sih, dia tidak memamerkan benda kebanggaannya, tapi tetap saja ... itu semua tidak baik untuk jantung dan otaknya. "Errr ...." Syila melirik Jake yang memberi gelengan tegas. Dia pun menghela napasnya kasar. Dia sudah mendengar soal Rein yang ternyata lebih gila dari Jake dan dia benar-benar kasihan pada Irin setelah mendengar ceritanya. "Nginep aja, kalau lo mau lihat mereka berdua ngadon." Rein menunjuk Jake tepat di depan mukanya. "Emang iya?" tanya Irin dengan muka polos yang ingin sekali Rein tabok, dia sepertinya lupa siapa Jake yang terkenal bajingan di mana-mana. Syila menggaruk-garuk
"RIN!" "Kenapa?" Irin membalas tatapannya. "Lo yakin mau beli ini semua?" Rein menatap horor peralatan memasak yang dipilih Irin dan siap dibawa pulang ke apartemennya. Dia tidak masalah membeli semua itu, tentunya jika barang-barang itu memang berguna untuk mereka, kenapa tidak? Masalahnya, baik dia maupun Irin jelas-jelas tidak ada yang bisa memasak. Lalu untuk apa membeli semua peralatan dapur ini? Mau dibuat koleksi atau buat penghias dapurnya yang kosong melompong gitu? Jangan bercanda dengannya .... "Yakinlah! Nanti beli telur, sayur, dan rempah-rempah juga, ya." "Lo mau masak?" Rein mengernyitkan dahi, menatap istrinya curiga. "Emang bisa?" Irin mengatupkan bibirnya. "Mau bilang bisa, sih, kayaknya kecepatan. Gue baru belajar soalnya. Nggak boleh emangnya?" Rein tidak berkomentar. Dia membiarkan istrinya mengambil apa saja yang Irin perlukan dan berharap keduanya lekas pulang dari sana. Rein mulai merasa tidak nyaman akan pandangan ibu-ibu yang tengah melirik mereka ta
BARU kerja satu hari, Rein terpaksa mengambil cuti lagi. Perutnya tidak beres setelah memakan nasi goreng buatan Irin. Entah apa yang salah, padahal ia merasa tidak ada masalah. Kemarin malam, telur dadarnya jadi dengan selamat. Paginya, Irin mencoba membuat nasi goreng dari nasi sisa semalam. Entah nasinya yang sudah basi atau perutnya yang tidak keruan, karena salah makan sebelum mencicipi telur dadar buatan istrinya. "Masih mulas, Rein?" Irin menghampiri dengan wajah khawatir. Jelas saja istrinya kepikiran soal masakannya yang bisa saja membuat sang suami sakit perut. Walau Rein tidak terlihat keberatan saat memakan masakannya, tapi bukan berarti semuanya baik-baik saja saat Rein menelan masakan buatannya, kan? Rein hanya mengangguk lemah. "Udah mendingan dari yang tadi," balasnya jujur. Dia jadi mager melakukan apa pun dan lebih memilih tidur dengan tubuh miring di sofa ruang depan. "Papa tadi nelepon, katanya kita disuruh main ke rumah." Rein berjengit dan menatap istrinya d
"GIMANA sama Rein, kamu baik-baik saja, kan?" Verga bertanya begitu Rein naik ke kamar putrinya. Irin menatap ayahnya serius, lalu menganggukkan kepala. "Sekarang masih baik-baik saja, Pa." Verga menghela napas lega. "Rein sudah tahu soal itu?" Irin terdiam cukup lama, sebelum menganggukkan kepala. "Iya, Rein sudah tahu, Pa." "Syukurlah kalau dia mau mengerti. Kapan kamu mau konsultasi lagi? Kamu tidak mungkin akan terus begini setelah menikah, kan?" Irin menggigit bibirnya dengan ragu. "Aku izin sama Rein dulu, ya, Pa?" Perempuan itu menaiki tangga, meninggalkan Verga yang menatap punggungnya khawatir. Irin memasuki kamarnya, dia bisa melihat Rein sudah rebahan di ranjang seperti biasa. Tubuhnya pun mendekat, duduk di samping suaminya, lalu dengan hati-hati tubuhnya merendah dan ia menyentuh wajah tampan Rein dengan perlahan. Tidak ada keanehan apa pun. Tidak ada yang ia rasakan. Sama seperti dulu, tidak ada gejala apa pun yang ia rasakan pada Rein, teman masa kecilnya. "Mungk
SETELAH berciuman dengan Irin beberapa saat lalu, Rein mulai merasa ada yang tidak beres dengan otaknya. Pikiran-pikiran mesum terus berkeliaran, mengusik, dan meminta pelampiasan.Sebenarnya, hal itu tidaklah sulit. Rein hanya tinggal mencari jalang di luar sana, lalu menidurinya seperti biasa, maka ketenangannya akan kembali.Masalahnya, sudah sebulan lebih ia belum pernah menyalurkan hasrat. Dan Irin membuat perjanjian yang sukses membuat Rein berpikir berulang kali untuk jajan di luar.Laki-laki itu berdecak. Dia mendelik ke arah Irin yang entah sejak kapan telah bersender di bahunya sambil nonton TV di rumah papa mertua."Kenapa, sih?" tanya Irin dengan wajah tidak berdosa."Mau apa lo di sini?" tanyanya malas."Nemenin suami nonton TV."Rein mendelik. "Gue bisa sendiri.""Gue mau nemenin, nggak, boleh?"Rein mendesah kasar. Dia mendorong Irin agar menjauh darinya, kalau perempuan itu kembali dekat-dekat, entah apa yang bisa Rein perbuat padanya."Jangan deket-deket.""Kenapa?" Ir