REIN melepas kemeja yang membalut tubuhnya dengan santai dan tak merasa canggung sama sekali. Dia bahkan tidak peduli, jika Irin tengah memelototi tubuh bagian atasnya dengan tatapan yang sulit diartikan sejak tadi.
"Lo mau mandi dulu, apa gue duluan?" tawarnya seraya memandang perempuan yang hari ini resmi menjadi istrinya itu.
"Lo duluan aja. Gue mau lihat-lihat apartemen lo dulu."
Irin membuang muka, dia melangkah menelusuri satu-satunya koridor yang ada di apartemen Rein.
"Hm, oke."
Beberapa menit yang lalu, mereka masih berdebat soal perjanjian pernikahan yang ingin Irin terapkan di pernikahan mereka. Jelas, Rein tidak mau menerimanya. Lalu setelahnya, keduanya berdebat di mana mereka akan tinggal setelah menikah.
Pilihan untuk tinggal dengan mertua atau orang tuanya sendiri, jelas bukan pilihan yang baik. Apalagi, Irin terang-terangan ingin mengakhiri pernikahan mereka dua bulan lagi. Rein tidak mungkin membiarkan kedua orang tua mereka tahu tentang masalah itu.
Rein mendesah kasar. Dia memasuki kamarnya sendiri dan melepas celananya sebelum ia masuk kamar mandi. Dia benar-benar tidak peduli, walau sekarang ia tidak tinggal sendiri.
Benar, mereka sepakat untuk tinggal di apartemen Rein. Niat orang tua Irin yang ingin membelikan rumah kecil untuk mereka harus ia tolak mentah-mentah. Selain karena secuil harga dirinya sebagai laki-laki merasa tersentil, dia juga tidak tahu bagaimana cara menjelaskan jika pernikahan mereka gagal dua bulan kemudian.
Rein menyelesaikan acara mandinya, membelitkan handuk melingkari perut sampai lutut, sebelum keluar dari kamar mandi. Tubuhnya mematung saat melihat Irin berdiri sambil menjumput boxer yang tadi ia lepaskan sebelum masuk ke kamar mandi. Tatapan istrinya itu tampak jijik, seperti melihat sesuatu yang mengerikan ada di hadapannya.
Irin menatapnya dan tak lama kemudian boxer itu dilemparkan ke arahnya. Rein menangkap boxer-nya dengan baik.
"Sumpah, ya, nggak bisa apa lo naruh boxer kotor lo itu di tempat yang seharusnya?"
Rein berjalan menuju keranjang yang berisi pakaian kotor, lalu melemparkan boxer-nya ke dalam. "Gue cape, jangan cerewet, sana mandi."
"Gue nungguin barang-barang gue sampai sini, nggak ada baju ganti," jelas Irin yang kini bergerak untuk duduk di atas ranjang.
"Oh."
Irin memang meminta pelayannya untuk mengemasi pakaian di rumah. Mereka tadi hanya pulang sebentar, mengganti pakaian tanpa sempat mandi, karena Rein telah berpesan padanya, kalau dia tidak mau lama-lama berada di rumahnya. Jadilah mereka hanya melepas pakaian dan berganti dengan pakaian seadanya, lalu pergi ke apartemen Rein secepat mungkin.
Dengan kecepatan kilat ini, Irin tahu pasti jika Rein tidak akan meminta haknya di malam pertama mereka. Kelelahan akan resepsi pernikahan, ditambah lelah perjalanan, serta lelah hati membuat keduanya berpikir untuk mandi dan beristirahat secepat mungkin.
Rein menoleh ke belakang, matanya melirik Irin yang tak terlihat ingin beranjak dari posisinya sama sekali. Irin menatapnya, matanya melotot begitu melihat handuk yang menutupi tubuh bagian bawahnya melorot.
Tidak ... tidak ....
Kalau memang melorot, pasti Rein akan panik dan segera menaikkan kembali handuknya. Namun, laki-laki itu tampak santai, berdiri dengan tubuh tinggi tegap dan otot punggung yang terbentuk sempurna. Lalu, jangan lupakan pantatnya yang kini menjadi pemandangan utamanya.
Irin mengumpat. Dia segera memalingkan muka dan berlalu dari tempatnya sambil berteriak, "Ingatin gue kalau lo aslinya porno abis, Rein!"
Rein menoleh lagi. Dia baru mengenakan boxer baru dari almarinya dan menatap Irin yang menutup pintu kamar dengan kasar.
"Porno? Huh!" Rein mendesah kasar. "Kayak lo nggak pernah lihat cowok naked aja, Rin."
Lalu bagaikan ditampar habis-habisan, Rein menatap pintu kamarnya dengan tatapan horor.
"Jangan bilang kalau dia beneran masih virgin?"
Rein tidak mau percaya. Sungguh, kekasih Irin sudah tidak bisa dihitung dengan jari lagi jumlahnya. Dari cowok baik-baik sampai yang paling berengsek pun ada. Semuanya sudah pernah diabsen satu per satu oleh istrinya.
Lalu, bagaimana cara perempuan itu melindungi dirinya selama ini? Bagaimana cara ia melakukannya?
Mustahil, bukan?
____
IRIN tidak tahu harus ngapain saat ia bangun tidur. Biasanya, pelayan keluarga akan menyiapkan semua keperluannya. Dimulai dari pakaian, make up, sarapan, dan di luar rumah, sopir sudah siap mengantar dia pergi ke mana pun jika diminta.Namun, kali ini dia tinggal di apartemen Rein. Tinggal berdua bersama teman masa kecilnya yang sekarang telah menjadi suami sahnya.Irin menggigit bibir. Mengingat hal itu lantas membuat jantungnya bergemuruh.Semalam, dia naik ke atas ranjang laki-laki itu dengan takut-takut. Pasalnya, mereka sudah sah, tapi Irin tidak mau memberikan hak yang seharusnya Rein dapat darinya.Tidak ... dia hanya tidak siap melakukannya dengan Rein. Mereka dulu dekat, sangat dekat sampai keduanya SMA dan mulai mengenal yang namanya cinta pertama.Dan jelas-jelas, cinta pertama Irin bukanlah Rein.Jadi, jelas, pernikahan atas dasar perjodohan ini tanpa cinta. Mereka hanya saling mengenal dulu, sampai keduanya lulus SMA, karena setelah itu mereka kuliah di Universitas berbe
IRIN mengangkat lingerie berwarna marun yang hanya bisa menutupi payudara dan bagian intimnya saja dengan tatapan horor. Dia benar-benar menemukan hadiah seperti ini?Irin mengernyitkan dahi, dia mencari nama yang memberikan kado itu dan ia langsung mengumpat begitu melihat nama teman sekelasnya dulu tertera di sana."Emang berengsek itu buaya satu!" umpatnya.Irin mencoba membuka hadiah lainnya, sampai tatapannya berhenti di sebuah kotak kado besar berwarna merah yang ia ingat jelas dibawa oleh Jake sebelum mantan aktor itu membuat geger acara pernikahannya.Dia mencoba mencari nama pengirim, tapi dia tidak menemukan apa-apa. Hingga dia menyerah mencari-cari dan lantas membuka isinya.Selembar kain panjang berwarna putih membalut sesuatu di dalamnya. Irin membuka kain itu dan ia menemukan sebuah bingkai berwarna merah yang membingkai foto kelas XI IPS 1 dan XI IPA 1 yang sedang gencatan senjata.Benar, itu kelas Irin dan juga kelas Rein dulu. Kelas mereka sering bertengkar, tentunya
REIN melapisi foto itu dengan kain, sebelum menyembunyikannya di lemari bagian paling bawah, tempat ia biasa menaruh dalaman. Melihat Irin yang tampak jijik saat memandangi boxer-nya semalam, dia berpikiran kalau perempuan itu tidak akan mau repot-repot menggeledah tempat itu hanya demi mencari sebingkai foto.Irin sekarang sedang mandi. Itu mengapa dia bisa menyembunyikan sesuatu tanpa harus khawatir perempuan itu akan tahu.Rein mendesah kasar. Dia menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang dan mulai memejamkan mata setelah kedua tangannya dia jadikan bantal.Apa yang akan mereka lakukan setelah ini?Meneruskan pernikahan, jelas bukan sesuatu yang mudah, terlebih Irin terang-terangan tidak menginginkan pernikahan ini terjadi.Rein mendesah kasar. Dua bulan ... apa dia bisa menahan diri untuk tidak menyentuh istrinya sendiri?Benar, melakukan hubungan intim di antara suami istri memanglah wajar. Namun, jauh di dasar hatinya, dia tidak ingin memaksa hanya untuk bisa mendapatkan apa yang seh
"SERIUS, nih, masa iya gue harus minta bantuan tetangga cuma buat ke apartemen Syila?" Irin sudah siap mengetuk pintu, tapi ia merasa ragu. Dia pun berhenti, tubuhnya menyender dinding, kemudian merogoh sakunya untuk mengambil ponsel dan menghubungi tersangkanya langsung. Satu detik ... dua detik ... hingga detik kesepuluh, dia masih berteman dengan sepi tanpa menemui sambutan yang berarti. Irin kembali menghubungi nomor yang sama dan akhirnya, dia mendapatkan balasan dari seberang. "Halo!" sapaan dari seberang telepon membuat Irin mengernyit. Suara laki-laki, padahal dia menghubungi nomor Syila dan Syila itu perempuan. "Lo siapa? Nomor ini harusnya punya temen gue, kenapa bisa ada di lo nomornya?" tanyanya beruntun. Irin sangat yakin, Syila tidak akan membuang nomor kesayangannya itu sampai kapan pun. Kecuali ponselnya dicuri atau hilang di tengah jalan dan ditemukan orang asing. Sosok di seberang sana mendengkus keras. "Emang nomor Syila masih gue bawa. Lo siapa? Dan ada perlu
"NANTI malam gue nginep sini, ya?" Semua mata sontak memandangi Irin yang kini memasang ekspresi memohon pada Syila, sang pemilik apartemen. Jujur saja, lebih baik dia tinggal dengan Syila daripada tinggal bersama Rein. Tentu saja, semua itu karena sifat Rein yang suka lepas pakaian seenaknya, dan dia bahkan tidak punya urat malu sama sekali untuk menunjukkan pantat di depan mukanya. Benar, sih, dia tidak memamerkan benda kebanggaannya, tapi tetap saja ... itu semua tidak baik untuk jantung dan otaknya. "Errr ...." Syila melirik Jake yang memberi gelengan tegas. Dia pun menghela napasnya kasar. Dia sudah mendengar soal Rein yang ternyata lebih gila dari Jake dan dia benar-benar kasihan pada Irin setelah mendengar ceritanya. "Nginep aja, kalau lo mau lihat mereka berdua ngadon." Rein menunjuk Jake tepat di depan mukanya. "Emang iya?" tanya Irin dengan muka polos yang ingin sekali Rein tabok, dia sepertinya lupa siapa Jake yang terkenal bajingan di mana-mana. Syila menggaruk-garuk
"RIN!" "Kenapa?" Irin membalas tatapannya. "Lo yakin mau beli ini semua?" Rein menatap horor peralatan memasak yang dipilih Irin dan siap dibawa pulang ke apartemennya. Dia tidak masalah membeli semua itu, tentunya jika barang-barang itu memang berguna untuk mereka, kenapa tidak? Masalahnya, baik dia maupun Irin jelas-jelas tidak ada yang bisa memasak. Lalu untuk apa membeli semua peralatan dapur ini? Mau dibuat koleksi atau buat penghias dapurnya yang kosong melompong gitu? Jangan bercanda dengannya .... "Yakinlah! Nanti beli telur, sayur, dan rempah-rempah juga, ya." "Lo mau masak?" Rein mengernyitkan dahi, menatap istrinya curiga. "Emang bisa?" Irin mengatupkan bibirnya. "Mau bilang bisa, sih, kayaknya kecepatan. Gue baru belajar soalnya. Nggak boleh emangnya?" Rein tidak berkomentar. Dia membiarkan istrinya mengambil apa saja yang Irin perlukan dan berharap keduanya lekas pulang dari sana. Rein mulai merasa tidak nyaman akan pandangan ibu-ibu yang tengah melirik mereka ta
BARU kerja satu hari, Rein terpaksa mengambil cuti lagi. Perutnya tidak beres setelah memakan nasi goreng buatan Irin. Entah apa yang salah, padahal ia merasa tidak ada masalah. Kemarin malam, telur dadarnya jadi dengan selamat. Paginya, Irin mencoba membuat nasi goreng dari nasi sisa semalam. Entah nasinya yang sudah basi atau perutnya yang tidak keruan, karena salah makan sebelum mencicipi telur dadar buatan istrinya. "Masih mulas, Rein?" Irin menghampiri dengan wajah khawatir. Jelas saja istrinya kepikiran soal masakannya yang bisa saja membuat sang suami sakit perut. Walau Rein tidak terlihat keberatan saat memakan masakannya, tapi bukan berarti semuanya baik-baik saja saat Rein menelan masakan buatannya, kan? Rein hanya mengangguk lemah. "Udah mendingan dari yang tadi," balasnya jujur. Dia jadi mager melakukan apa pun dan lebih memilih tidur dengan tubuh miring di sofa ruang depan. "Papa tadi nelepon, katanya kita disuruh main ke rumah." Rein berjengit dan menatap istrinya d
"GIMANA sama Rein, kamu baik-baik saja, kan?" Verga bertanya begitu Rein naik ke kamar putrinya. Irin menatap ayahnya serius, lalu menganggukkan kepala. "Sekarang masih baik-baik saja, Pa." Verga menghela napas lega. "Rein sudah tahu soal itu?" Irin terdiam cukup lama, sebelum menganggukkan kepala. "Iya, Rein sudah tahu, Pa." "Syukurlah kalau dia mau mengerti. Kapan kamu mau konsultasi lagi? Kamu tidak mungkin akan terus begini setelah menikah, kan?" Irin menggigit bibirnya dengan ragu. "Aku izin sama Rein dulu, ya, Pa?" Perempuan itu menaiki tangga, meninggalkan Verga yang menatap punggungnya khawatir. Irin memasuki kamarnya, dia bisa melihat Rein sudah rebahan di ranjang seperti biasa. Tubuhnya pun mendekat, duduk di samping suaminya, lalu dengan hati-hati tubuhnya merendah dan ia menyentuh wajah tampan Rein dengan perlahan. Tidak ada keanehan apa pun. Tidak ada yang ia rasakan. Sama seperti dulu, tidak ada gejala apa pun yang ia rasakan pada Rein, teman masa kecilnya. "Mungk