"Rahmatika Rizta, kamu mau kan jadi pacarku?"
Waktu seolah berhenti berputar, keadaan sekitar seperti tak bergerak. Yang tadi berisik serasa hening dalam kepalaku, hingga yang terdengar hanya detak jantungku yang berdebar hebat. Rasanya mau lompat-lompat di tempat!Dari mana bunga itu datang, tiba-tiba saja muncul dari belakang punggung Mas Erlan?Ah! Kenapa aku memikirkan hal tak penting itu. Sekarang aku harus bagaimana. Setangkai bunga itu seolah menarik perhatianku. Seumur hidupku baru kali ini diberi bunga oleh cowok. Tak kusangka hal yang lazim terjadi di drama televisi kini sedang kualami. Sebenarnya aku tak pernah tertarik dengan bunga-bunga, tetapi kalau Mas Erlan yang ngasih? Bolehlah. Boleh banget maksudnya."Rizta?""Tapi, Mas. Kita kan baru kenal beberapa minggu, sebulan aja belum. Mas yakin gak malu pacaran sama aku?" Seketika penyakit minderku kembali jadi keraguan.Mas Erlan tampak memejam, "Aku sengaja ajak kamu ketemu, justru karena mau nembak secara langsung. Aku gak mau jadi pengecut lewat hp doang. Makanya aku kekeh minta ketemu, karena mau ngelakuin ini. Aku sayaaang banget, kenal kamu hidup aku yang tadinya kerasa sepi jadi berwarna."Meleleh, meleleh langsung es di kutub utara dengar omonganmu, Mas!"Aku udah yakin loh, ternyata kamu belum ya?"Aku langsung menggeleng, "Bukan gitu," jawabku cepat membantah. Takut ia salah paham."Bukannya ini kecepetan buat-""Lebih cepat lebih baik, daripada telat eh kamu udah diambil orang duluan. Makanya aku mau kamu jadi pacar aku, biar gak ada yang ganggu. Kamu masih respon chat dari cowok lain gak?"Aku menggeleng lagi, setelah sering berkirim pesan dengan Mas Erlan tak pernah aku merespon chat dari cowok lain. Entah kenapa tak tertarik lagi dan seluruh perhatianku hanya membalas pesan dari cowok di hadapanku ini. Pesannya selalu kutunggu dengan hati tak menentu. Semenit gak balas, langsung bingung. Lima menit langsung mantengin hp saja kerjaanya. Biar bisa balas cepat saat pesan dari Mas Erlan masuk.Kalau sejam? Aku kesal! Ponselku matikan, rencana saat ia membalas akan kubalas cuek. Eh, tapi itu tak pernah terjadi. Mas Erlan akan datang dengan pesan yang bertubi-tubi, emot hati, bahkan kata maaf sampai ratusan pesan. Spam chat yang tidak menganggu, tetapi membuat hati menjadi luluh. Seolah dia benar-benar menyesal udah balas lama.[Dek cantik yang manis, maaf ya tadi aku ada rapat jadi gak pegang hp][Kamu tahu nggak, dari tadi aku kepikiran kamu terus. Kangeeen aja bawaanya. Pulang kuliah langsung aku buka hp dan bales pesan kamu. Sangking kangennya][Online tapi gak bales, marah ya? Iya aku emang salah, maaf ya gak kasih tahu kamu dulu. Maafin ya, ya ya, maafin ya, sayang]Melihat tulisan 'sayang' aku tersentak.[Sayang-sayang apaan!] Balasku ketus dengan emot mulut miring.Namun, tak sampai semenit sudah bucin lagi. Gak tahan cuekin dia lama-lama. Gak tahu kenapa dia pandai banget bikin luluh."Rizta, tanganku pegel nih lama-lama.""Ah, iya?" Duh, sekarang aku jadi kepikiran Emak di rumah. Sebenarnya dekat dengan Mas Erlan sih aku sering curhat. Namun, pastinya hanya sebatas teman. Gak boleh lebih."Ambil bunga ini kalau kamu terima ya, kalau gak kamu buang aja. Meski sayang sih, aku cari-carinya susah loh, ucapnya dengan nada suara memelas.Perlahan tanganku maju meraih bunga itu. Entah datang dari mana keberanian ini. Masa ditembak sama cowok sesempurna Mas Erlan mau di tolak? Ah, urusan Emak belakangan deh. Toh, seumuranku pacaran bukan hal yang tabu. Ya kan?Setelah kupegang, ternyata Mas Erlan menahannya."Iya kan?" tanyanya lagi. Aku memutar bola mata malas, apa perlu diperjelas. Padahal aku sudah mau mengambil bunga ini. Dia gak tahu apa sifatnya itu bikin deg-degan mulu dari tadi."Riztaaa, jawaaab," ujarnya dengan suara dibuat manja.Mau ketawa, tetapi kutahan. Raut wajahnya ya ampun ... kok bisa dari cool jadi comel begitu?"Iyaa. Kalau gak yaudah gak-""Eh tunggu!" Aku menahan, menghembuskan napas perlahan lalu mengangguk. Bola mataku melihat ke kiri dan kanan, lagi gak berani menatapnya langsung.Tangan Mas Erlan melepaskan bunga, dan mendorong bunga itu ke arahku dengan sedikit menyentuh punggung tanganku. Ia kembali duduk di kursinya."Aaah, akhirnya ... terima kasih ya." Bibir merah muda Mas Erlan melengkung, membentuk senyuman maut yang bisa membuatku sesak napas kalau lama-lama lihatnya. "Kamu senang kan?" Aku mengangguk dengan memegang bunga itu begitu erat.Untuk pertama kalinya aku pacaran, dan ditembak secara langsung. Aku yakin malam ini gak akan bisa tidur sambil meluk bunga mawar ini. Serasa jadi gadis paling beruntung. Secara setahuku teman-temanku di tembak via pesan. Apa lagi pas jamannya BBM, Vina salah satunya. Habis itu nanti bio mereka ganti jadi nama si pacar. Kini, aku juga bisa ngelakuin itu kan?Muhammad Erlan Malik, entar kukasih emot hati. Terus tulis tanggal hari ini. Biar semua orang tahu aku juga bisa punya pacar!Dulu dengan teman satu SMPku, ia merasa aku terlalu kaku karena tak mencoba berpacaran seperti dirinya. Dia bilang punya pacar itu bikin semangat, pas ujian ada yang kasih semangat. Gak kaya aku yang nyemangatin cuma Emak."Kalau gitu ntar usia kamu 17 tahun aja. Kan sekarang alasannya paling karena masih kecil. Ntar pas 17 tahun kan udah dewasa!"Ucapan temanku itu seketika terlintas di benakku. Itulah yang membuatku berani menerima. Apa salahnya mencoba kan. Lumayan buat penyemangat belajar, setahuku punya pacar ya buat begitu kan?Aku melirik ke meja sebelah, sepasang kekasih yang sepertinya sedang kencan. Mereka berswafoto berdua. "Hp kamu mana, kita foto yuk!"Mendengar ajakan Mas Erlan itu aku mengangguk, memberikan ponselku padanya. Kursinya kembali mendekat padaku, tetapi masih sedikit berjarak. Aku membenarkan kerudung, takut mleyot dan gak cakep pas di foto.Namun, aku terheran kenapa Mas Erlan menggunakan kamera belakang. Lalu tangannya di atas meja ... membentuk pola setengah hati. Kupikir kami akan selfi seperti pasangan yang kulihat tadi."Mana tangan kamu, kaya gini juga. Terus bunganya taroh di depannya. Biar membentuk hati gitu," ucapnya memintaku bergegas. Hatiku yang tadi sempat bungah, jadi sedikit kecewa, tetapi ya sudahlah. Kuturuti ajakan Mas Erlan. Toh ini juga terlihat sosweet kan, kepikiran aja ide ini. Senyumku kembali mengembang dengan tangan kananku membentuk setengah hati, menyatu dengan tangan Mas Erlan.Aaaa, kasihan jantungku. Dari tadi pasti capek berdebar-debar mulu. Deg-degan tiada henti. Rasanya hari ini hari terindah.Cekrek! Telunjuk dan jempolku sedikit bersentuhan dengan Mas Erlan. Setelahnya ia memperlihatkan hasilnya. "Bagus kan?"Aku mengangguk pelan, ingin kuutarakan untuk foto berdua. Namun, bibir ini tak sanggup bersuara. Malu, malu-malu mau. Setelahnya Mas Erlan memberikan kembali ponselku, dan memintanya untuk mengirimkan foto itu nanti."Kirim sendiri aja, sekarang. Hp, Mas mana?"Mas Erlan diam sejenak, tangannya menyentuh saku celananya. "Ketinggalan di jok kayaknya," ucapnya."Ambil aja, aku ambilin ya?""Jangan!"Aku terkaget, "Loh kenapa, aku juga mau dong foto dari Hpnya Mas.""Gak bisa, Dek. Soalnya ... hpku lowbat-" Aku memotong ucapan Mas Erlan, menyarankan untuk ngecas di sana. Karena di cafe itu terlihat ada tempat khusus untuk mengisi daya ponsel dan mereka menyediakan chargernya juga.Namun, Mas Erlan menolak. "Gak bisa, Dek. Soalnya hpku itu udah agak eror dan harus di charger pake cas kodok itu loh. Jadi bisa ngecasnya di rumah aja. Lagian hpku mah kentang, kameranya jelek. Bagusan juga kamera hp kamu. Jadi gak usah ya."Aku menghela napas, "Yaudah deh." Entah kenapa berasa janggal di hati, tetapi kutepis jauh-jauh rasa curiga. Kasihan dari tadi pikiranku horor terus terhadap Mas Erlan.Azan zuhur berkumandang, Mas Erlan meminta menunggu sejenak sampai panggilan itu selesai baru akan mengantarkanku pulang. Dia menghentikan bicaranya juga saat itu, dan hanya menatapku."Yaudah yuk, kita pulang sekarang. Oh, ya bentar aku bayar dulu. Kamu tunggu ya, jangan ke parkiran sendirian. Ntar dikira orang kita marahan, aku mau jalan gandengan. Kamu mau kan?""Apa, gandengan?" Aduh, kok tiba-tiba badanku rasanya adem panas ya?Seketika aku ingat omongan teman masa kecil dulu. "Pegangan bisa bikin hamil loh!"Aaah tidak!Mas Erlan mengangguk, "Kita kan udah pacaran, masa gandengan aja gak boleh. Lihat tuh yang berdua sama pasangannya," ujar Mas Erlan mengarahkan dagunya ke arah pintu masuk tadi. Ada anak remaja yang sepertinya seusiaku, nempel banget sama cowoknya kaya perangko. Kok aku risih ya, emang pacaran harus begitu?Meninggalkanku yang masih diam, Mas Erlan pergi ke kasir. Aku memperhatikannya saat membayar. Meski dari belakang, aku bisa melihat ia tampak bicara dengan pelayannya. Kaya sudah kenal dan akrab. Mungkin karena sering ke sini kali ya?Tak lama Mas Erlan datang ke meja, "Ayo!" Aku berdiri dengan membawa bunga mawar tadi, sedangkan ponsel kumasukkan ke saku celana. Tangan Mas Erlan perlahan meraih tangan kananku, ia menoleh dengan senyum manisnya. Berasa tersihir, aku gak marah kami akhirnya gandengan. Asli aku merasa risih, tak biasa dan ini begitu asing buatku.Tiba di parkiran, Mas Erlan memakaikan helm padaku. Bahkan membenarkan kerudungku. Aku hanya bisa pasrah, sambil mengigit
[Siapamu itu, Ta. Aku kaya kenal, wajahnya gak asing.]Dahiku mengernyit heran membaca komenan teman sekelas di postingan FBku. Tadi aku juga memposting foto Mas Erlan yang kusimpan di galery. Foto yang bahkan tak memperlihatkan seluruh wajahnya, tetepi Hana--temanku itu bisa mengenalinya. Berasa aneh."Kak?" "Eh, iya?"Aku menoleh ke arah Emak lagi, "Mandi dulu udah sore," ucap Emak. Aku mengangguk lalu beranjak ke kamar. Mengisi daya ponselku.Setelahnya mencari baju ganti dan keluar dari kamar membawa handuk. Lima menit saja aku sudah selesai, entah kenapa aku ingin cepat-cepat menyudahi. Karena pikiranku kini terpusat pada dua hal. Tentang komenan Hana, juga tanggapan Emak.Begitu aku masuk ke kamar, aku tersentak sudah ada Emak di kamar. Ia yang berdiri di samping ranjang menatap ke arahku di bawah bingkai pintu. Terlihat Emak menarik napas dalam, aku menggigit bibir bawahku. Takut akan dimarahi.Namun, Emak malah duduk di bibir ranjang. Memanggilku untuk duduk di sebelahku. "Or
"Tunggu, Han-""Ayo, Rizta. Ntar dimarahi pak guru!" teriak Hana. Aku menghela napas, rasanya penasaran sekali. Namun, hatiku seperti berat. Entah apa. Hana pun segera berlari keluar, aku langsung mengekor. Menyimpan tanda tanya perihal Mas Erlan itu untuk nanti. Begitu tiba di lapangan, Vina dan Rahma langsung menarikku berdiri di sebelah mereka."Lama banget sih, mentang-mentang baru jadian gak kuat pisah chatingan," ujar Rahma. Aku tergelak, lalu kami saling cubit pinggang. "Kaya kamu gak aja!"Satu jam pelajaran kami mengikuti pelajaran olahraga, Pak Guru mengajarkan lalu dipanggil siswa yang bisa memberi contoh. Begitu bel pergantian jam berbunyi, kami diminta kembali ke kelas. Beberapa siswa lain ganti baju, sedangkan aku, Rahma dan Vina tidak. "Gak bawa ganti kan?" tanya Vina, aku dan Rahma menoleh lalu menggeleng bersamaan. Kami bertiga mampir ke koperasi membeli jajanan karena masih ada waktu sebelum guru lain masuk."Rahma, ayo!" panggilku saat ia terhenti di depan kelas
[Gak papa, Ta. Takut salah orang.][Loh, gimana sih, Han?]Membaca balasan Hana bukannya lega, aku malah semakin kepikiran. Statusnya sudah tidak online lagi, dan pesanku masih centang satu. Sementara pesan dari Mas Erlan kembali masuk, membuyarkan pikiranku. Kulupakan tentang Hana sejenak dan membalas pesan-pesan mas pacar.[Sayang, kok pesanku dianggurin aja?][Aku baru selesai bantuin Ibu, Mas][Aku kira kamu ngambek, udah baca kok gak dibales-bales. Aku kangen]Aku tersenyum membaca pesannya barusan. Ingin juga kubalas bahwa sama kangennya, tetapi gengsiku tinggi.[Masa?]Aku merebahkan diri di atas ranjang, membalas pesan-pesan Mas Erlan yang terus bilang kangen. Wajahku tak henti mengembang, senyum-senyum sendiri membaca pesan dari Mas Erlan. [Kamu udah makan, yank?][Udah, kamu, Mas?][Belum, maunya disuapin kamu]Aku terkekeh membaca balasan itu, ada-ada saja jawabannya. Kakiku tak bisa diam, badanku guling ke kanan dan ke kiri. Salah tingkah sendiri.Kami berbalas pesan hin
"Tu-tunggu," ucapku hendak menahan Hana.Namun, ia sudah duduk di kursinya dan ngobrol dengan teman sebangkunya. Bersamaan semua siswa kembali ke kursinya karena kedatang Bu Guru. Kutarik napas dalam, lalu melihat layar ponsel sejenak. Mencuri-curi waktu saat bu guru masih sibuk mencari sesuatu dari tasnya.[Selamat pagi, sayangku. Semangat sekolahnya ya, love you]Aku menghela napas, meski senyumku sulit kembali. Pesan dari Mas Erlan tak ada yang berubah. Aku mencoba berpikir positif bahwa perkataan Hana salah. "Baik, anak-anak. Tadi guru sedang rapat sebentar ya, tapi bukan berarti kalian lepas tugas. Sekarang buka buku paketnya!"Aku menyimpan ponsel ke dalam laci, lalu membuka tas yang berada di belakang punggungku. Tari yang tepat dibelakangku mendekatkan wajahnya."Rizta, tadi ucapan Hana itu-""Gak, salah kali," jawabku cepat membantah. Begitu buku yang kucari ketemu, langsung berbalik ke depan menghindari Dewi. Mulutnya itu sedikit lemes, aku gak mau terpengaruh oleh omongann
"Mo-modus?"Ting! Pesan masuk dari Mas Erlan menyadarkanku dari lamunan. Ucapan Bang Amar terus terngiang di kepala. Ingatan pertemuan kami, di mana Mas Erlan terus mencoba menyentuhku. Semua tampak saling bertolak belakangan.Aku segera bangkit, menjauh dari Emak dan Fandi. Mereka melanjutkan pembicaraan dan aku memilih ke kamar. Begitu tubuhku terbaring di ranjang, kubiarkan notifikasi pesan terus masuk. Yang mana itu pasti Mas Erlan. Aku bisa tahu, sebab kupilihkan nada dering khusus untuk kontaknya.Mataku tiba-tiba terasa berat, kubiarkan rasa ngantuk datang dan membiarkan ponselku terus berdering. Entahlah, aku ingin tertidur tanpa memikirkan hal lain.Hingga mataku terbuka, sudah azan subuh saja. Terdengar suara air dari luar, itu pasti Emak. Aku gegas beranjak dari ranjang menuju dapur."Udah bangun, Kak. Tumben semalem tidur cepet, gak begadang.""Heem." Badanku masih sempoyongan, aku memilih duduk di kursi meja makan, dan merebahkan kepala sejenak.Lagian hari ini Mas Erlan
"Kalau kamu mikir gitu, berarti gak percaya sama pasangan kamu sendiri. Buat apa menjalin hubungan kalau kalau gak saling percaya?"Mulutku seolah dikunci oleh ucapan Mas Erlan. Hal sederhana ini jadi rumit, kuputuskan diam sebab lelah adu argumen dan akhirnya aku kalah."Aku percaya sama kamu, kamu harusnya juga gitu kan?"Aku melengos, mengangguk kecil dan membiarkannya terus bicara. Baiklah aku percaya, dan semoga dia bukan pria buaya. Kubuang jauh-jauh pikiran jelek tentang Mas Erlan. Emak kembali, bagaimanapun aku harus tersenyum di depannya.Hari makin sore, Mas Erlan pamit karena juga ada janji menjemput ibunya yang pulang kerja. Setelah bersaliman pada Emak, ia keluar. Aku melambaikan tangan mengiringi kepergiannya.Aku kembali ke kamar, melanjutkan beberapa hal yang mau kubersihkan. Hampir sejam aku berkutat di kamar, setelah beres aku bermain ponsel hingga tak terasa saat mataku terbuka suasana terasa sepi.Ternyata tengah malam, aku tidur terlalu cepat dan terjaga jam segin
"Mas Erlan?" Aku mengelus dada melihat sosok itu. Dengan mata menyipit, ia menatapku. "Hai!" sapanya melambaikan tangan."Astaga, Mas!"Ia terkekeh, pasti menertawai raut wajahku yang tegang. Kukira itu tadi siapa. Ternyata Mas Erlan yang datang dengan bucket bunga di tangannya. Bunga lagi, bunga lagi. Aku sebenenya bukan pecinta tanaman sih. Herannya Mas Erlan tak pernah tanya sukaku apa. Padahal aku lebih suka kalau dibawain makanan. Enak bisa bikin kenyang, tetapi sudah dibawain ya harus tetap pasang raut senang. Meski emang aslinya senang, karena kedatangannya yang mengejutkan."Aku gak dibolehin masuk nih. Yaudah pulang aja," ujarnya berbalik badan. "Eeeh, tunggu dong." Segera kubuka pagar bambu itu. Mempersilahkannya masuk, duduk di kursi teras.Aku juga duduk di sebelahnya, Mas Erlan menyodorkan bucket bunga itu. Aku tak bisa menahan wajahku yang menggembung sangking terharunya. "Makasih ya, Mas," ucapku menghirup aroma berbagai bunga itu. "Ini bunga asli semua ya?" tanyaku