Siena berdiri di depan Alfonso, menghalanginya berjalan ke arah Carla. Mata Alfonso masih menyala penuh amarah saat menatap Siena. Sebenarnya ada kegentaran dalam hati Siena, tapi dia harus tetap memberanikan diri menghadapi pria yang emosinya sulit ditebak ini.
"Apa katamu?" tanya Alfonso.
"Jangan buat keributan di sini…," ucap Siena dengan pandangan memohon.
"Bukan, tadi kamu katakan, kamu akan ikut denganku ke mana pun?" Alfonso menaikkan alisnya.
Siena menelan ludah. Dia sudah telanjur mengucapkannya. "Ya, asal kamu tidak buat keributan. Kamu mau kita pergi ke Castell de Bellver bukan?"
Alfonso tampaknya sedang mempertimbangkan sesuatu. "Baik, aku pegang kata-katamu. Masuk ke mobil," perintah Alfonso, tapi kali ini suaranya terdengar jauh lebih lunak.
Alfonso melayangkan pandangannya sekilas ke arah Carla, tapi akhirnya pria itu berja
Alfonso dan Siena masih sama-sama berdiri diam di atas menara kastel. Seperti ada beban yang terlepas dari hati Alfonso. Kenapa dia ingin menceritakan semua kisah masa lalunya pada Siena, Alfonso juga tak mengerti. Namun kata-kata Siena benar, setelah bercerita, rasanya memang jauh lebih lega. "Jadi itu sebabnya kamu marah-marah sejak kita sampai di kota ini? Karena ada kenangan buruk yang buat kamu sakit hati?" celetuk Siena setelah hening agak lama. Alfonso menoleh memandang Siena. "Ya, sebagian karena itu. Sebagian lagi aku marah kenapa Kakek harus memilih tempat ini untuk lokasi aset warisannya. Tempat yang jadi awal mula semua permusuhan Kakek dengan Ayah dan aku." "Mungkin bagi Grandpa justru sebaliknya. Mungkin yang diingatnya dari tempat ini adalah kenangan indah waktu dia berlibur bersamamu," tutur Siena dengan suara pelan. Alfonso mengerutkan dahinya. "Kamu tak perlu
Alfonso dan Siena memandangi pohon sycamore besar di hadapan mereka."Apakah kamu atau Grandpa yang buat tulisan itu?" tanya Siena.Alfonso menggeleng. "Setahuku tulisan itu sudah ada sejak pertama kali aku ke sini. Kakek juga tak tahu siapa yang membuatnya. Tapi menurut Kakek, pesan itu untuk mengingatkan manusia pada sifatnya yang cenderung sombong.""Jadi kenapa kamu ajak aku ke sini?""Karena tadi kamu katakan menggali lantai kapel. Aku teringat, dulu aku dan Kakek sering bermain menggali dan menyembunyikan sesuatu di sini, tanah di bawah pohon ini," ungkap Alfonso.Siena terperangah. "Kenapa tidak? Kita harus coba! Siapa tahu Grandpa sembunyikan pesan di bawah sini!" sambut Siena dengan semangat.Alfonso menolehkan kepalanya ke sana kemari, mencari-cari. Ia kembali dengan ranting kayu yang agak besar di tangannya. Lalu dia mulai menggali ta
"Siena, buka matamu!"Panik sekejap melanda pikiran Alfonso. Mungkinkah kepala Siena terbentur batu saat meluncur jatuh tadi? Apa yang harus dia lakukan?Alfonso melongok ke bawah, lereng bukit itu masih tinggi, tak mungkin mereka melompat turun ke dasar. Untuk memanjat ke atas juga tak mungkin. Tanah di lereng bukit ini terlalu licin, mudah longsor, dan tak ada bebatuan atau tanaman untuk tempat berpegangan. Apalagi jika dia harus membopong tubuh Siena bersamanya.Baru saja Alfonso berniat untuk meraih ponselnya, mendadak kelopak mata gadis itu bergerak."Siena…!""A-alf…? Apa ---""Oh, syukurlah kamu sudah sadar…." Alfonso menarik napas lega. "Jangan takuti aku seperti tadi lagi. Kamu bisa bergerak?"Siena berusaha menggerakkan anggota tubuhnya. Ia meringis waktu merasakan sakit yang menusuk di pergela
Siena terkesiap waktu melihat pria itu melangkah masuk ke dalam kamar. "Damien?" "Hai, Siena…," sapa Damien. "Bagaimana kamu bisa datang ke sini?" Siena masih tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. "Bukankah kamu sendiri yang minta Kapten Hans, pilot pesawatmu untuk kabari aku, kalau kamu akan ke Palma?" tanggap Damien sambil tersenyum. Ia sudah berdiri di samping tempat tidur Siena. Tentu saja Siena ingat. Sebelum terbang ke Palma, Siena memang diam-diam berpesan pada pilot pesawat pribadinya untuk menghubungi Damien, sekedar memberitahu Damien bahwa dia akan pergi ke Spanyol. Itu gara-gara Alfonso menolak meminjamkannya ponsel untuk menelepon sendiri. "Oh ya…. Tapi maksudku, kenapa kamu bisa datang ke Palma? Dan bagaimana kamu tahu kalau aku ada di rumah sakit ini?" "Karena aku khawatir padamu, Siena…. Alfonso berkata pada Kapten
Alfonso membuka pintu unit apartemennya dengan kartu akses yang dipegangnya. Dia membeli unit apartemen mewah di daerah Beverly Hills ini sejak kembali ke Los Angeles, untuk menuntut kembali harta warisan kakeknya. Dengan kekayaan dan pengaruhnya, bagi Alfonso, membeli apartemen mewah adalah hal yang gampang. Apalagi fasilitasnya memuaskan dan letak apartemennya sangat strategis. Tapi kenapa sekarang, ada rasa enggan untuk kembali ke apartemennya ini? "Honey Bear? Oh, kamu sudah pulang…," suara manja itu sudah langsung menyambutnya saat Alfonso melangkah masuk ke ruang tamu. Gloria muncul dengan mini dress warna merah menyala yang sensual, dia sengaja memakainya untuk menggoda Alfonso. Dia tahu kekasihnya itu sangat suka warna merah. Tapi tatapan mata Alfonso terasa hambar dan dingin. "Hai, Gloria…," hanya itu yang keluar dari mulut Alfonso. "Apa kabar, Honey Be
Sejak Siena dirawat di rumah sakit ini kemarin, Alfonso belum berkunjung lagi. Kenapa pria itu harus muncul di saat Brian sedang ada di sini? Siena mengeluh dalam hati. Siena khawatir Alfonso akan membahas tentang perjalanan mereka di depan Brian. Kalau sampai Brian tahu dia berbohong, di mana dia harus menaruh mukanya lagi?Alfonso melangkah masuk dengan matanya masih tertuju pada Brian. Siapa pria berwajah oriental ini, penggemar Siena lagi? Dia melirik buket bunga mawar yang dibawakan Brian, dan hadiah lainnya yang sudah terpajang di atas meja.'Huh!' gerutu Alfonso dalam hati. 'Kenapa sih mereka semua begitu menggemari Siena? Sekalian saja buat fans club. Anggotanya sudah pasti si pengacara sok tahu itu dan pemuda yang kelihatan seperti anggota boyband Korea ini.'"Alf, kenalkan ini Brian Jung, teman baikku. Brian, ini Alfonso Garcia," Siena mau tak mau memperkenalkan mereka berdua sup
"Alf, tolong ambilkan aku sebuah pensil dan selembar kertas," pinta Siena."Untuk apa?""Ya untuk coret-coret… Kamu sendiri yang minta aku pecahkan kode ini. Aku harus coba-coba dulu," tanggap Siena.Alfonso mencari-cari di sakunya, kebetulan ada selembar kertas nota yang tak terpakai. "Cuma ada ini. Kalau kamu mau, aku bisa mintakan ke luar. Dan aku tak punya pensil, adanya pulpen."Siena agak cemberut. "Tapi aku butuh pensil dan kertas yang lebih lebar...""Oke, aku mintakan ke bagian administrasi," tandas Alfonso. Dia langsung berjalan keluar dari kamar. Tak sampai satu menit, dia sudah kembali lagi dengan sebuah pensil dan selembar kertas ukuran folio. "Ini….""Thanks, Alf…," ucap Siena.Dia menggigit bibir bawahnya untuk menahan keinginannya tersenyum. Entah kenapa Alfonso mau saja menuruti perminta
Wajah Gloria yang cantik sudah pucat seperti mayat. Matanya kehilangan seluruh binarnya. Jantungnya sesaat seolah berhenti berdetak. Ucapan Alfonso bagai mimpi buruk yang tak ingin dipercayainya. "Honey… Bear…? Ka-kamu tega usir aku?" Gloria mencicit. "Semuanya sudah berakhir, Gloria…. Kamu bebas pergi ke mana pun kamu mau sekarang. Harusnya kamu senang." Alfonso melepaskan dagu Gloria dari genggamannya, berbalik ke arah pintu keluar. "Kamu mau ke mana, Honey Bear?!" raung Gloria histeris. "Kamu tak bisa putuskan aku! Tak bisa! Aku tahu ini semua gara-gara gadis pembawa sial itu! Siena! Dia yang pengaruhi kamu 'kan?" Alfonso berhenti persis di depan pintu. Emosinya memuncak lagi saat Gloria menghina Siena, tapi ditahannya. "Aku tahu dia ada di rumah sakit sekarang! Tadi kamu pergi temui dia! Kamu memang sengaja ingin usir aku, supaya kamu bisa bebas bersa