Share

Si cantik Jihan Pitaloka

"Tolong, cepatlah sedikit. Aku sudah telat. Mereka tidak akan membayarku karena ini."

"Tenanglah, Nona. Anda mengganggu konsentrasi menyetir Saya. Mobilnya tidak bisa lebih cepat lagi, ini batasnya. Duduk yang benar dan diam, agar saya bisa segera mengantar Anda sampai ke tujuan."

"Batas kau bilang? Oh, ya ampun! Apa kau tidak mengerti kata-kataku, Pak? Jika mobilmu selambat ini, maka habislah pencarianku. Kenapa orang-orang sangat susah memahami situasi orang lain? Pak ... ayolah! Waktuku cuma setengah jam lagi." Perempuan itu terus mendesak si sopir, menggoncang-goncang bahunya hingga kian mengacaukan fokus sang sopir.

Ban berdecit keras bergesekan dengan aspal, saat si sopir menginjak rem secara tiba-tiba. Spontan tubuh perempuan tadi tersentak ke depan, kepalanya membentur punggung jok penumpang dan dia mengaduh bising.

"Bapak bisa menyetir apa tidak? Aduh kepalaku ..."

"Turun!"

"Apa?!"

"Cepatlah turun, Nona!"

"Tujuanku masih jauh, untuk apa aku turun di sini? Jalan lagi, Pak! Tapi berhati-hatilah sedikit, kau mengancam keselamatan penumpangmu."

"KUBILANG TURUN, NONA! Penumpang sepertimu justru membahayakan bagi semua sopir. Perlu kuseret?"

"Kau!"

"CEPAT!"

Perempuan itu menggeram di belakang, mengembus napas berkali-kali sebelum dia keluar dan membanting pintu taksi dengan sengaja.

"TIDAK TAHU DIRI!" Sebelah sepatunya melayang bersama umpatan itu, menyaksikan si sopir taksi meninggalkannya begitu saja di tengah jalan. Dia tercengang saat sadar bahwa laju taksi naik dua kali lipat dari sebelumnya. "KURANG AJAR!" Jeritnya panjang sembari mengacungkan jari tengah entah ke siapa, pasalnya ... si sopir taksi pun tak lagi tampak di depan mata.

Napasnya berembus kesal, menyusul kedua tangannya menjambak helai rambut kuat-kuat. Raut penuh amarah itu lenyap, berganti air mata yang meluncur seakan berlomba, mencetak jejak garis hitam maskara di kedua pipinya.

"Tamat sudah riwayatku!" dia mengerang frustrasi, berjongkok dengan masih meremas rambutnya yang awut-awutan. "Ibu—karierku hancur gara-gara sopir taksi itu."

Jihan Pitaloka, si gadis cantik penyanyi keliling dari satu kafe ke kafe lainnya atau dari satu bar ke bar berikutnya, adalah jadwal manggungnya di pukul lima sore ini. Semua berjalan lancar, pada awalnya. Namun, gara-gara laju taksi yang dia naiki layaknya seekor siput sawah, mengambil lebih banyak waktu dari yang telah diperhitungkan. Sudah pasti dia telat, artinya hari ini dia gagal mendapatkan uang.

Di tengah perdebatan akal dan batinnya, kebisingan bunyi beruntun dari klakson total menyentak atensi. Suasana hati yang memang semula gusar, makin buruk karena kehadiran pengendara menyebalkan di belakang. Belum pernah Jihan mengutuk irama klakson di mana pun, tidak saat ini ketika nuraninya begitu menggebu-gebu untuk mengumpat.

Jihan bangkit tergesa-gesa, dengan memampangkan garis-garis galak nan judes di paras manisnya, dia berbalik seakan siap menantang si pengendara sekaligus mesin beroda empat miliknya. Sebelah tangannya menggebrak keras-keras kap mobil. "Hei, kupingmu tuli, ya?! Klaksonmu itu berisik, sadar tidak?! Menyebalkan, aku benci, membuat telingaku sakit. Percuma mobilmu bagus, tetap tidak ada yang suka dengan suara klaksonmu. Kau tahu, sungguh jelek suaranya, lebih mengerikan daripada lonceng kematian!"

Sedang, si pria penuai rentetan umpatan pedas tadi kontan siap meledak-ledak pula. Rahangnya mengetat, si pria dari keluarga Janendra ini tak kalah kalut kondisi pikirannya. Ia melongokkan kepala dari jendela mobil, menatap sengit pada iris lembut si gadis cerewet pelaku sabotase jalan di depannya. "Kau itu sedang demonstrasi atau apa? Mau mati? Minggir, sana!"

"Kalau aku tidak mau, kau mau apa?! Beraninya dengan perempuan. Kau kira aku takut? Maju, sini!" bukan Jihan namanya jika semudah itu dia gentar. Meski sejemang pandangannya terkunci akan pesona si pria bertampang songong, belum cukup mengganti pendirian dia yang memang luar biasa keras kepala.

"Kau pasien rumah sakit jiwa, ya?!" Juna menggerutu, sama dongkolnya. Dia bergegas turun, mungkin perlu sedikit memberi pelajaran mental bagi si perempuan aneh. Debam pintu terdengar nyaring, sempadan mengagetkan Jihan di posisinya. "Tolong ya, Nona antah berantah—jangan menularkan perilaku abnormalmu kepada orang lain. Kalau kau gila, ya gila sendiri saja. Tidak usah menjerit-jerit segala di tengah jalan begini, kelakuanmu itu mengganggu ketenangan lalu lintas."

"Memangnya kau siapa berani menggurui? Jika aku gila, maka tidak ada orang waras seperti dirimu. Kau memilih bertengkar denganku, padahal jalanan ini masih sangat lebar untukmu bisa lewat. Jadi, pantasnya aku atau kau yang disebut gila?!"

Penuturan tersebut kontan meresap ke saraf-saraf sensorik Juna, dia meneliti sekitar mendapati situasi konkret sesuai ucapan si perempuan yang dia anggap tidak main-main absurdnya.

Juna mematung di situ, melunakkan pancaran maniknya sekadar untuk menemukan sisi berbeda dari bias iris mata di hadapannya. Warna yang cantik, sekilat pujian dari alam bawah sadar dan dia berupaya menepisnya dengan menggeleng mantap.

Namun, terdapat satu lagi fakta berbeda hasil tilikannya, perempuan ini kentara berantakan. Rambut mencuat sana-sini, riasan hancur dilengkapi jejak air mata yang mengering. Diam-diam Juna meringis, rasa simpatinya datang tanpa diundang. Sepertinya dia benar-benar pasien rumah sakit jiwa. Apa dia kabur?

"Aku tidak suka tatapanmu! Jangan coba-coba menganggapku betulan gila, ya! Aku bisa sangat tega menggigit hidungmu yang besar itu."

Detik sekian pula Juna memegang hidungnya, memandang horor kepada Jihan.

"Ternyata kau kanibal." Refleks dia bergidik, meski tahu yang terlontarkan ialah sebatas perkataan asal-asalan.

"Kalian si kaya tidak akan mengerti penderitaan orang-orang sepertiku. Bergelut dengan waktu tanpa ada garansi cuma-cuma. Bila terlambat, maka hasil pun sirna dari genggaman." Sungguh mudah rasa haru terdesak, Jihan melepas ulang kesedihannya sembari dia seka lekas-lekas. Enggan tampak lemah di depan orang asing.

"Terus, kau mau menyalahkan aku?!"

"Kapan kubilang begitu? Klaksonmu yang sialan! Bunyinya merusak suasana. Aku jadi tidak bisa berpikir jernih dan karena berdebat denganmu, waktuku makin terkikis. Aku belum menjumpai satu pun taksi yang datang, waktuku tersisa dua puluh menit lagi." Jihan berdecak, melirik sepintas ke belakang ke aspal lenggang.

"Aku bisa saja membantu, mengantarmu sampai ke tujuan. Tapi, di zaman sekarang terlalu banyak kisah-kisah memprihatinkan berkedok penipuan. Siapa tahu di tengah jalan nanti, kau malah menggorok leherku, bisa juga menodongkan senjata tajam. Lalu, mobilku kau bawa kabur."

"Pergilah! Aku tidak bisa menjamin keselamatanmu setelah emosiku naik."

"Bagaimana kalau naik untuk naik ke mobil? Naiklah, aku akan mengantarmu. Tidak jamin sih dapat mengejar waktumu lagi, setidaknya keluar dari sini. Sia-sia menunggu taksi, ini jalur khusus untuk memotong jalan."

"Tiba-tiba kau berubah baik. Apa yang kau inginkan dariku?!" Jihan mendekap tubuhnya, mengancang-ancang perlindungan diri. Kontras terhadap pria di seberangnya yang spontan mendengkus jemu.

"Waktuku tidak banyak, Nona. Cukup dramanya! Aku tidak sebaik itu untuk bersedia menunggu, naik atau kau kutinggal."

Tentu Jihan mengambil opsi pertama.

"Aku ikut, sebentar." Dia berlari kecil guna memungut sepatunya tak jauh dari situ, kemudian segera masuk ke mobil Juna dengan napas tersengal-sengal.

Continue...

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status