“Aku baik-baik saja,” jawab Adeline dengan senyum palsu dan manik mata yang berkaca-kaca. Navila kini sedikit paham bahwa sesungguhnya Adeline tak ingin menceritakannya, lagi pula ia tak ingin memaksa.
Navila menggenggam tangan Adeline dengan dua tangannya, sama seperti Adeline ketika menguatkan dirinya saat turun dari truk.
“Aku harap perang ini segera berakhir,” ucap Navila. Tiba-tiba Adeline menatap Navila dengan mata berkaca-kaca yang rapuh. Air mata Adeline mulai mengalir, Navila tak begitu mengerti mengapa sahabatnya itu tiba-tiba menangis. Bukankah harapan yang ia ucapkan tadi adalah baik?
Navila makin menggenggam erat Adeline. “Ayo, kita segera pulang.”
Mereka terus berjalan di jalan yang sedikit bersalju. Dinginnya udara menerpa wajah mereka dan hampir membekukan kaki Navila yang tak tertutup roknya. Para tentara Erdan yang tidur di pinggir-pinggir koridor dan halaman mulai terbangun. Matahari di ufuk timur mas
Peter membasuh tubuhnya dengan kain yang dicelupkan dalam ember. Itulah cara mandinya selama ini, hanya dengan membasuh keringatnya tanpa mengguyur dengan air. Ia mulai mengelap tubuhnya dengan handuk bersih yang sebenarnya tidak ia duga bahwa Andrey bisa mendapatkannya.Ia mengelap wajahnya, ketika handuk itu menyentuh bibirnya, tercium pula bau apek bekas badanya. Ia teringat kejadian malam tadi, si gadis apel dengan wangi parfumnya, tapi bagaimana dengan bau dirinya sendiri? Rasanya dia telah menjadi laki-laki yang buruk, semoga si gadis apel tidak merasa kecewa dengan bau dirinya.Agendanya hari ini, ia berniat untuk mengecek kondisi dari Batalion 803 yang baru saja tiba. Lima ratus prajurit yang selamat artinya cukup banyak yang masih hidup sejak Operasi Tsunami dimulai. Sebuah serangan besar-besaran dan terpusat dilakukan menuju Kota Kostrov— Ibukota Kerajaan Agelan.Jam di tangannya menujukan pukul 07.05, artinya pula sepuluh menit lagi apel p
“Bagaimana dengan Batalion 805?” tanya Peter. Batalion itu merupakan salah satu kunci dari operasi ini karena mereka berisikan beberapa kendaraan lapis baja. Jika beruntung, harusnya ada 12 tank dalam batalion itu.Wajah mayor itu tampak pucat, setelah mendengar pertanyaan itu. Dari pengalaman Peter, mungkin mayor itu tahu atau memiliki informasi.“Dari informan kami di lapangan, Batalion 805 tidak menemui titik temu seharusnya,” ucapnya semakin pucat.“Maksudmu?” Itu benar-benar kabar yang sangat buruk, seharusnya Batalion 804 dan 805 bertemu bersama dalam sebuah kota.“Para prajurit dari batalion 804 mengalami pertempuran yang sangat berat,” ucap prajurit tersebut. Peter sedikit tak mengagasnya, ia berbalik dan kembali ke tempat ranselnya. Sambil berjongkok ia merogok-rogoh ke dalam tasnya, perasaannya di penuh campur aduk. Kekhawatiran, rasa penasaran, dan tanggung jawab menjadi tak karuan karena batalion
Di dalam bak truk yang mengangkut para pelacur pulang, Navila hanya diam dan menggenggam erat kantong obatnya. Adeline sayup-sayup tertidur bersandar di bahunya, beberapa perempuan juga kelelahan dengan tertidur dalam mantelnya yang hangat, dan beberapa yang lain tampak tertawa atau menikmati rokok mereka.Di seberang tempat duduknya, Alisa tampak sedang berbisik serius dengan Gia, Navila merasakan hal buruk dari bisikan yang tak terdengar itu. Tiba-tiba mata Gia melotot, seperti terkejut dan kesal, ia melirik ke arah Navila dengan tatapan tajam kemudian berbisik pada Illona. Perasaan buruk Navila semakin menjadi-jadi karena tiga perempuan itu jika disatukan biasanya akan merundung dirinya.“Dia melakukannya dengan seorang jenderal?” ucap Illona kaget saat mendapat bisikan dari Gia.“Sialan, meskipun jenderal itu bandot tua, dia hanya anak baru, bisa-bisanya dia langsung mendapatkan posisi dengan seorang jenderal,” gerutu Illona lagi. Mes
Mata Adeline melotot, “Navila kamu tidak serius bukan?”Ia menganggukkan kepala.“Aku tidak melarangmu jatuh cinta, tapi coba pikirkan suasana saat ini,” ucap Adeline dengan khawatir.Ada salah paham dalam percakapannya, ia tak bermaksud mengiyakan soal jenderal itu. Tapi membulatkan tekadnya lagi untuk mendapatkan obat. Bahkan, meski nanti malam tak ada truk yang mengantar para pelacur dari kota, ia tetap akan berusaha untuk mendapatkannya segera.“Bukan itu maksudku,” jawab Navila. Ia diam sebentar, menimbang harus mengatakan rencananya pada Adeline atau tidak, “Aku akan melakukannya lagi, aku harus kembali ke sana untuk mendapatkan obat.”“Kita pikirkan besok.” Ekspresi wajah Adeline sedikit berubah, kekhawatirannya mengendur. Besok barulah para pelacur dikirim kembali, biasanya dua hari sekali dan sudah berlangsung selama hampir 3 minggu ini.Navila menganggukkan kepalanya, lima
Suara mesin truk mengerang di jalan yang kasar. Truk itu merupakan truk militer tapi yang dibawanya bukanlah tentara sehat atau yang terluka, bukanlah kotak-kotak amunisi atau persediaan makanan, dan bukanlah tawanan dari musuh yang tertangkap. Truk itu membawa para pelacur dari kota. Di dalam kargo truk setengah terbuka itu, belasan perempuan muda mengenakan mantel dan sarung tangan hangat. Wajah mereka memakai riasan untuk mengikat pelanggan mereka— para tentara berpangkat rendah atau beberapa perwira. Banyak dari mereka yang diam dan tak saling bercerita karena mereka tahu tak ada kebanggaan dari perbuatan mereka. “Navila, kamu tak membawa sarung tangan hangatmu?” tanya Adeline dengan menggenggam tangan Navila. Navila menggelengkan kepalanya. Ia bisa merasakan hangatnya genggaman Adeline yang tulus. Jangankan sarung tangan, mantel hangat pun tak Navila bawa. Perang yang telah berkecamuk bertahun-tahun memaksanya menjual pakaiannya satu persatu. Ia ingat te
“Ikut aku,” ucap Tuan Deus yang langsung berbalik. “Tapi Tuan, bagaimana dengan yang lain?” Seorang tentara menyeimbangi langkah tapi tak bermaksud menghadang Tuan Deus. “Urus saja seperti biasanya,” ucap Tuan Deus tanpa memperlambat langkahnya. Tentara itu langsung berhenti dengan mengaruk-garuk dahinya seperti orang yang ragu. Beberapa langkah kemudian, Tuan Deus berhenti tepat sebelum memasuki teras bangunan itu. Tuan Deus kembali berbalik, “Ikuti aku, nona bergaun biru muda.” Navila tahu pria itu memanggil dirinya. Ia mencoba melangkah tapi kakinya sedikit gemetar. Udara malam mulai menembus pakaiannya. Lengan dan lututnya merasakan hembusan angin malam yang dingin. Kini Navila tahu mengapa para perempuan memakai mantel dan sarung tangan hangat. “Kau cantik tapi menyebalkan, Nona. Cepat kemarilah dan ikuti aku,” ucap Tuan Deus yang menahan emosinya. Dua jarinya mengisyaratkan agar Navila segera menghampirinya. Navila tak bisa mundur
Pintu kamar diketuk dan langsung terbuka, Andrey datang dengan nampan penuh makanan. Peter Zhukov masih berbaring terlentang di kasur dengan tangan sebagai bantalan. Setelah berminggu-minggu perjalanan, akhirnya ia mendapatkan tempat yang nyaman untuk beristirahat. “Makan malammu, Jenderal,” ucap Andrey yang melangkah masuk. “Ya,” jawab singkat Peter. Kamar itu cukup bagus, ranjangnya bersih, dan ada kamar mandi dalam ruangan, tapi sayang tak ada meja kerja untuk menulis di sana. Peter bangun dan duduk di samping ranjang. Ia menyambut Andrey yang hendak meletakan nampan yang berisi roti kayu manis dengan selai apel, semangkuk bubur gandum yang hangat, satu kentang rebus seukuran kepalan tangan, gelas kosong, dan botol anggur. “Aku perlu meja untuk menulis,” ucap Peter. Andrey meletakan nampan penuh makan itu di sebuah meja kecil samping ranjang. Dia melangkah mundur dengan sopan tanpa membelakangi Peter. “Ya, Jenderal,” ucap An
Si pelacur berdiri dengan wajah memelasnya, si muncikari telah pergi. Perempuan itu memiliki wajah yang sangat cantik. Pipinya sedikit berisi dan bibirnya sangat tipis menggoda. Matanya bulat dengan manik mata cokelat muda, menyatu dengan warna pirang cokelat rambutnya. Dia mengenakan dress biru muda dengan motif berbunga-bunga yang membuatnya semakin cantik dipandang. Lekukan tubuhnya sedikit berisi, perempuan itu sungguh sempurna, tapi Peter tidak tertarik. “Pergilah,” usir Peter dengan halus. “A-aku mohon terima aku,” ucap perempuan itu dengan gemetar. Sejujurnya, jiwa laki-laki Peter sedikit tertarik dengan paras cantik dan suara lembut perempuan itu. “Tidak, tidak. Aku bukan laki-laki seperti itu, Nona. Bila kamu ingin makanan atau uang, aku bisa memberimu sedikit, tapi pergilah,” ucap Peter. Kemudian ia sadar bahwa perkataannya mungkin terdengar bodoh karena menolak tawaran perempuan itu. “Aku perlu obat,” sahut perempuan itu. “Aku bukan