Share

Bab 3 : Runtuhnya Dinding Terluar

Gerbong kereta bawah tanah melesat dan berguncang di sepanjang rel, setiap goncangan membangkitkan gejolak dalam diri Freya.

Freya duduk di salah satu sudut gerbong, bersandar di dinding. Ia menutup mata dan mencoba untuk menenangkan diri, tetapi setiap goncangan kereta hanya membuat pikirannya semakin kacau.

Ia merasa sendirian dan terisolasi di tengah keramaian. Seperti orang asing di dunia ini yang penuh sesak ini. Freya membuka mata dan menatap ke luar jendela

Kedua matanya mengamati dengan seksama terowongan yang telah dilalui. Ia melihat terowongan yang gelap dan berkelok-kelok. "Rasanya seperti sedang berada di dalam mimpi buruk" pikir Freya.

Ia membayangkan diri sendiri berjalan sendirian di terowongan yang gelap itu. Tidak tahu kemana ia harus pergi. Yang gadis itu tahu bahwa saat ini ia harus terus berjalan.

“Stasiun berikutnya Bellbarrow, pintu sebelah kanan akan terbuka”

Suara announcer membuyarkan lamunan Freya. Ia melihat ke luar jendela dan melihat bahwa kereta sudah mendekati stasiun.

Freya berdiri dan meraih tasnya. Ia siap untuk turun dari kereta dan menghadapi dunia nyata.

Saat kereta berhenti di stasiunnya, ia melangkah keluar ke peron.

Angin dingin yang menerpa wajahnya terasa seperti tamparan keras yang menyadarkannya akan kenyataan pahit yang baru saja dialaminya. 

Ia mulai merasakan kesedihan dan rasa kecewa menyelimutinya kembali."Ah dadaku terasa sesak!" batin Freya.

Nafasnya mulai terasa berat saat ia berjalan menyusuri tangga stasiun, seolah paru-parunya sedang dihimpit oleh dua dinding besar.

Freya berusaha menaiki tangga dengan nafas yang terengah-engah, melewati labirin terowongan yang mengarah ke pintu keluar, bunyi ketukan sepatu haknya yang teratur menjadi irama bagi badai emosi di dalam dirinya.

Sesampainya di gedung apartemennya, Freya menaiki lift menuju lantai 27 dengan langkah yang mulai tidak beraturan, seolah-olah tubuhnya sedang dirasuki oleh kekuatan lain.

Sesampainya di depan pintu kamarnya, ia menempelkan akses dan menarik gagang pintu. 

Pintu kamarnya berayun terbuka ke sebuah ruang yang dulunya terasa seperti surga. Sekarang, tempat itu tampak seperti medan perang di mana emosinya berkecamuk.

Freya melepas sepatunya dengan kasar, seolah-olah ingin melepaskan segala beban yang ada di tubuhnya. Ia berjalan melewati ruang tamu dengan langkah yang tidak beraturan, seolah-olah tidak tahu harus berbuat apa. Ia merasa seperti berada di sebuah dunia yang asing, dan tidak lagi mengenali dirinya sendiri.

Freya menjatuhkan badannya dan duduk di sofa, wajahnya dibenamkan pada kedua telapak tangannya. Ia mulai menangis dengan keras, meluapkan segala emosi yang selama ini dipendamnya sejak di kantor.

Air matanya mulai berhenti mengalir, Freya mengangkat kepalanya dan menatap kosong ke depan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, namun ia bertekad untuk menghadapinya. Ia tidak akan membiarkan kenyataan pahit ini menghancurkannya.

Warna-warna furniture yang senada dan cahaya lampu yang lembut terasa seperti penghinaan bagi emosinya yang sedang meluap.

Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan diri. Namun, beban hari itu terasa begitu berat, seolah-olah akan membuatnya runtuh.

Dengan rasa frustasi yang tiba-tiba meledak, Freya menarik mantelnya lalu melemparkannya ke sofa.

Freya berdiri di tengah ruang tamunya, memandangi mantelnya yang tergeletak di sofa. Ia merasa seperti ingin menghancurkannya, seolah-olah itu adalah penyebab semua masalahnya.

Kemarahan yang telah mendidih dari dasar kini meluap, dan ia mendapati dirinya melempar mantelnya kembali dengan sekuat tenaga.

Mantel itu melayang di udara, lalu jatuh ke lantai dengan suara berdebum. Freya menatapnya dengan puas, seolah-olah telah menyelesaikan sesuatu.

Freya berjalan ke arah kamar tidurnya. Ruangan yang dulunya terasa seperti surga, kini tampak seperti neraka baginya. 

Rasa frustrasinya belum sepenuhnya hilang. Ia masih merasa marah dan kesal, seolah-olah ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya.

Rasanya luapan emosi dalam dada Freya mulai meluap lagi, gadis itu langsung ambruk di tempat tidur. Kasur empuk menahan beban berat badannya, memberikan jeda sejenak dari kenyataan pahit yang dihadapinya.

Freya menarik lututnya mendekat ke dada dan meringkuk di tempat tidur, menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut yang tebal. Ia mulai menangis tersedu-sedu lagi, melepaskan segala emosi yang selama ini dipendamnya sejak kejadian tadi.

Bantal-bantal diatas kasurnya meredam tangisannya yang tersedu-sedu ketika ia bergulat dengan rasa sakit akibat pengkhianatan dan hancurnya cinta yang ia kira akan bertahan selamanya.

Freya merasa seperti dunianya telah runtuh. Ia merasa seperti telah dikhianati dan ditinggalkan. Ia merasa seperti tidak ada lagi yang bisa dipercaya.

Di dalam ruangan apartemennya, Freya menyerah pada kerentanan yang ada di balik penampilan luarnya yang profesional. Gelombang emosi meradang, meninggalkannya terkuras dan hampa.

Freya berbaring di tempat tidur selama berjam-jam, membiarkan emosinya mengalir. Ia tidak tahu berapa lama ia akan menangis, namun akhirnya ia merasa lega.

Saat tangisnya mulai mereda, ponselnya tiba-tiba berdengung di atas lemari.

"Sial, aku lupa menyalakan mode pesawat!" umpat Freya. Ia benci diganggu disaat ia ingin sendiri saja dengan pikirannya.

Dengan menghela napas berat, ia meraihnya, jari-jarinya mengusap layar dan melihat nama Marcus berkedip dalam huruf tebal.

Dering itu menggema di seluruh ruangan, dan untuk sesaat, Freya ragu-ragu. Kemudian, dengan menarik napas panjang, ia menjawab "Mau apa lagi kamu?"

Suara Marcus, yang dulunya merupakan sumber kenyamanan, kini terasa menggantung di udara, menjadi pengingat yang menghantui akan kenyataan pahit yang dihadapi Freya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Wasini Handayani
Hadeh menyesal nya belakangan nih Marcus!! -_-
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status