Wedari Suryadiningrat memeluk ponsel di dadanya dengan tangan nyaris gemetaran. Air mata haru bahkan terus mengalir di pipinya yang sudah keriput termakan usia.Kabar bahagia yang dinantikannya selama lebih dari 20 tahun membuat perasaannya membuncah tak percaya."Oma?" Suara bariton terdengar cemas memasuki ruang pribadi Wedari.Jendra, salah satu cucu dari anak angkatnya itu lalu duduk dengan perlahan di kursi beludru yang berhadapan dengan neneknya itu."Oma kenapa? Ada yang sakit?" Raut khawatir Jendra bahkan begitu terlihat di wajah tampannya.Sekilas, rasa takut dan ragu hinggap di benak Wedari. Firman dan Jendra sudah belasan tahun membantunya mengelola seluruh aset keluarga mereka yang cukup banyak. Dan sekarang, kehadiran tiba-tiba orang yang seharusnya mewarisi seluruh aset itu justru dirasa akan mengerikan. Wedari takut cucu kandungnya itu celaka, karena bagaimanapun Firman memang sangat berjasa bagi keluarganya meski dia bukan darah dagingnya sendiri.Wedari, yang tahun i
"Dia apa kabarnya, Tuhan?" gumaman lembut Agni memecah keheningan malam.Dia berbaring telentang di sofa yang berada di ruang kantornya yang berada di lantai 4 sebuah gedung perkantoran besar.Sudah sebulan sejak dia meninggalkan desa nelayan dan Pasai beserta kenangan mereka. Tapi rasa rindunya masih berdenyut perih seperti baru kemarin saja mereka berpisah. Yah, seharusnya perasaan sesaat tidak berlangsung selama ini, bukan?'Aku emang bodoh, bisa-bisanya naksir sama orang asing,' Agni membatin menyesali nasibnya sendiri.Sekarang malam-malamnya sering terisi lamunan tentang sosok tegap yang pernah mendekapnya begitu erat, namun semu dan tak mungkin dia dapat."Ah, sial! Sama aja kayak aku jatuh cinta sama hantu kalau kayak gini," rutuk Agni kesal sendiri."Agni!" Tiba-tiba suara Danureja, sang ayah menerobos ruang kerjanya dengan nada kesal.Agni tersentak dan langsung duduk dengan waspada. "Kamu sudah dua hari tidur di kantor. Ayah sampai bolak-balik periksa kamar kamu di rumah
Agni langsung membawanya pergi ke tempat yang agak jauh dari gudang itu. Mereka kini berdua di depan sebuah ruangan pribadi milik seorang petugas gudang yang memang sudah Agni kenal sejak kecil. Saat pria seusia Danureja itu melihat Agni datang dengan terburu-buru diikuti seorang pemuda tampan, helaan napas iba terlihat di wajah pria itu."Om Bimo, ini temen Agni. Aku mau bicara penting sama dia," Agni separuh berbisik pada pria bertubuh agak tambun itu.Bimo menghela napas panjang, lalu diam-diam mengamati pemuda itu. Bertubuh tinggi tegap, dengan kulit kecoklatan dan paras tegas yang terlihat gagah dan rupawan. Yah, selera yang unggul, namun akan sulit untuk diperjuangkan sepertinya.Bimo mengernyit iba melihat keduanya. Setidaknya, jika tak berakhir baik. Dia bisa memberi mereka kenangan untuk mereka simpan."Ya sudah, masuk aja. Om mau ambil kopi dulu. Kuncinya ada di pintu." Ujar Bimo. Dia percaya pada kemampuan Agni menjaga diri dan kehormatannya karena sudah sedari gadis itu k
"Sejak kapan hubunganmu dengan Agni Aryatama?" David melontarkan pertanyaan yang membuat Pasai berjengit diam-diam."Kami nggak ada hubungan apa-apa, Pak," elak pemuda desa itu dengan ekspresi keras.David menarik nafas panjang melihat pemuda itu terus menghindari tatapannya.David, Ihsan dan Pasai sedang berada di restoran hotel Green Orion milik keluarga Agni untuk makan siang setelah kejadian mengejutkan ketiganya di ruang staf hotel itu. Tentu saja David yang nyaris harus menyeret dua orang desa nelayan itu agar mau ikut makan di tempat yang tergolong mewah itu."Pasai, saya bertanya serius. Tolong dijawab, apa arti gadis itu untuk kamu?" tanya David membuat Pasai mengernyit bingung."Bukan urusan Pak David. Saya tidak wajib mengungkapkan hal pribadi pada orang yang baru saya kenal," jawab pemuda itu dengan tegas.David mengembuskan nafas kasar. Entah kenapa dia tidak kaget dengan sikap defensif dan keras kepala keponakan kandungnya itu, karena mendiang ayah Pasai juga keras kepa
Angin berdesir pelan. Sejuk sekilas membuai hangat senja hari di Pelabuhan. Rapatan kapal-kapal kayu para nelayan mengisi hening di sela deburan ombak yang mengikis pinggiran.Bau laut, ombak dan keringnya udara pesisir terasa menyengat setiap indera awam yang mampir di tempat itu. Rasanya nyaman tapi juga menjengahkan.Di antara samudra, langit senja dan deburan ombak sosok itu berdiri diam di atas pasir putih yang kini tampak memucat disapa gelap.Angin membelai rambutnya yang tampak terurai berterbangan. Tatapan matanya lurus menantang lautan. Tangannya terlipat angkuh di dadanya yang berlekuk. Tubuhnya tampak tinggi, sekilas tampak tipis tapi juga tampak berukir indah dibeberapa bagian.Sinar matahari sore membentuk sebentuk wajah bak lukisan antik tanpa cela. Hidung mancung, bibir tebal merekah manis, dan dua iris gelap yang samar terlihat dengan naungan alis tebal alami menambah cantik rupa itu."Agni...."Sapaan lembut bernada ragu membuat sosok yang berdiam diri itu bergerak p
Agni berdiri di samping perahu nelayan yang kata penjaga villanya dimiliki oleh salah satu nelayan senior terbaik di kampung itu. Perahu itu terbuat dari kayu bercat biru tua dan masih berbentuk perahu nelayan tradisional. Ini akan jadi pengalaman pertamanya menaiki perahu kecil seperti itu.Sejak datang liburan ke daerah ini, dia langsung tertarik saat melihat barisan kapal nelayan yang tertambat di pesisir tak jauh dari villanya. Padahal biasanya, dia selalu menggunakan fasilitas kapal wisata yang sudah lebih modern meski tidak mewah. Tapi, kapal-kapal kecil itu begitu menarik minatnya di liburan kali ini.Diperhatikannya satu-persatu para nelayan yang sedang sibuk mempersiapkan perjalanan mereka. Dua dari mereka mungkin berusia pertengahan tiga puluhan, bertubuh sama-sama kurus meski yang satu tampak lebih berisi dan mempunyai jenggot.Pria yang ketiga, tampak sebagai pemimpinnya jelas lebih tua bernama Haji Baron tadi.Dan yang terakhir yang diperhatikan oleh gadis itu, pria yang
Langit kelam kebiruan menaungi laut dan debur ombak.Angin terasa lebih dingin dari biasa. Bertiup cukup kencang menghempas gelombang yang datang semakin pasang.Di sana, di antara kelip bintang yang tak banyak dan remang cahaya bulan yang muncul sebagian, lagi-lagi gadis itu berdiam diri.Benaknya kosong. Tak pernah ada hal berarti yang mampir di kepalanya. Hanya laut, ombak dan langit yang tampak indah di pelupuk matanya. Tapi tak lebih.Karena tak pernah ada yang menggugah hatinya yang kerap terasa hampa dan kosong.Tak lama, kakinya berjalan. Jauh. Memutari pesisir lalu menapak di antara deretan rumah sederhana. Berkeliling dengan langkah pelan dengan kecantikan samar yang terterpa cahaya bulan.Gadis itu mengamati satu persatu rumah tradisional di sekelilingnya. Binar penasaran terpercik perlahan di kedua matanya yang cantik.Senyum kecil tersungging puas saat matanya tertumbuk pada sebuah rumah panggung bergaya paling kuno di sana.Rumah itu tampak berdinding bilik hias dengan a
Laut dan fajar. Kawan setia Pasai sudah sejak lama, jauh sejak dia ditakdirkan jadi tumpuan hidup ketiga keluarganya.Jalan yang berat tapi tak habis dia syukuri setiap waktu. Karena baginya kebahagiaan ibu dan adik-adiknyalah tujuan utama dari segala rasa lelahnya.Pagi ini seperti biasa, pemuda desa nelayan itu tengah membenahi kapal yang hendak membawa mereka ke laut.Badan dan tangannya sibuk bekerja, tapi fikirannya tidak.Fokusnya terusik sejak semalam oleh objek yang tidak seharusnya mampir ke sudut manapun di hidupnya.Pasai tahu, rasa tertariknya pada gadis kota itu manusiawi. Hanya status dan nasib mereka yang membuat rasa tertarik itu menjadi suatu hal yang sangat salah dan nyaris terlarang.Di dunia ini salah satu lautan yang terlalu sulit untuk disebrangi adalah lautan materi. Karena sudah banyak kapal karam bahkan sebelum menatap ujung daratan yang ditujunya."Serius banget Mas pagi ini mukanya."Suara lembut bernada ringan membuat Pasai tersentak tak kepalang."Ya Tuhan