“Gawat!” desah Max sembari memindahkan tubuh yang terkulai lemas itu ke atas ranjang.
“Bibi! Bibi ...!”
Sementara tangannya mencari kontak dokter, matanya sesekali memeriksa ke arah pintu. Begitu si kepala pelayan muncul, Max langsung memberi instruksi.
“Tolong carikan pakaian untuk gadis ini, Bi. Ah ya ... dan bawakan sebaskom air hangat dan handuk kecil.”
“Apakah Tuan mau saya membersihkan Nona ini?”
Max menggeleng cepat. Ia takut bukti kebrutalannya semalam terlihat oleh si pelayan.
“Tidak. Biar aku saja.”
Kedipan mata wanita paruh baya itu berubah kaku. “Tuan yakin?”
“Ya.” Max mengangguk sambil mempertahankan ekspresi. Si pelayan sampai terheran-heran mendengar jawabannya. “Baskom dan handuknya, Bi.”
“Ah, ya. Tunggu sebentar, Tuan.”
Begitu mendapatkan barang-barang yang diminta, Max segera menutup pintu dan menyeka wajah Gabriella. Ia tidak sempat memikirkan rasa enggan atau keterpaksaan. Otaknya terlalu sibuk menyingki
Max terbelalak saat pena itu jatuh dari genggaman Gabriella. Bukankah jemari seorang pianis biasanya stabil? Lalu, mengapa tangan gadis itu bergetar hebat sekarang?“Ada apa?” desah sang pria sembari mengangkat alis.“A-aku tidak tahu. Tanganku tidak bisa dikendalikan,” jawab Gabriella lirih.Setetes air mata mengalir saat mata gadis itu berkedip. Kecemasan yang besar telah terbit dalam hatinya.Setelah memutar otak sejenak, sang pria akhirnya mendesah. “Ah, sepertinya itu efek dari minuman yang kau minum kemarin.”“Apakah jemariku akan terus bergetar?” tanya Gabriella sambil menoleh dengan wajah yang sangat jujur. Hati sang CEO sampai terenyuh karenanya.“Tentu saja tidak. Itu hanya sementara. Kau hanya butuh makan dan istirahat. Besok pagi tanganmu tidak akan gemetar lagi,” terang Max dengan tampang datar. Ia merasa sedang bermuka dua sekarang. Sejak kapan dirinya melunak di hadap
“Kau pikir bisa kabur dariku, perempuan licik?” ucap Max dengan nada kemenangan. Kepala Gabriella spontan menggeleng menolak panggilan itu. “Aku tidak tahu apa-apa tentang pesan itu. Percayalah!” “Ssst! Tidak usah panik. Tenang saja! Kontrak yang telah ditandatangani tetap berlaku. Hanya saja, kau tidak akan bisa jauh dariku selama belum mengungkapkan siapa bosmu.” Sang gadis menghela napas lelah. “Aku serius, Tuan. Aku tidak tahu siapa orang ini. Dia sedang menjebakku.” Max mengangguk-angguk sambil mengerutkan sebelah sudut bibir. “Baiklah. Tidak apa-apa kalau kau masih belum mau mengaku. Masih ada beberapa hari sebelum kompetisi. Kau pasti akan memberikan nama orang itu kepadaku sebelum itu.” Gabriella terus menggeleng walau tak mengucap kata. Lidahnya terlalu kaku untuk digerakkan. “Silakan nikmati makan malammu. Aku mau tidur.” Max menggeser meja agak ke kiri lalu berbaring di sisi kanan ranjang. Tanpa memed
Max membuka pintu dengan kasar membuat gadis yang sedang melamun di tepi jendela tersentak. “Inilah target kita,” ucap sang CEO kepada seorang laki-laki berjubah panjang dengan sebuah kotak perkakas di tangan kanannya. Pria itu langsung memperhatikan Gabriella dengan saksama. Selang beberapa detik, ia mengangguk-angguk cepat. “Baiklah. Kunci pintu!” Max pun menjalani perintah tanpa ragu. “Ada apa ini?” tanya Gabriella secara tak sadar merapat pada dinding. Gadis itu tahu bahwa dirinya sedang terancam. Sang interogator meletakkan kotak perkakas di atas meja. Begitu dibuka, tidak hanya Gabriella, tetapi Max juga terbelalak melihat isinya. Beragam pisau dan alat aneh tersusun rapi pada beberapa tingkat. Benda pertama yang dikeluarkan oleh pria berjubah itu adalah sebuah tali. “Apa yang mau kalian lakukan?” tanya Gabriella dengan napas memburu. Pria yang dijuluki Sharp Knife pun menoleh. Mata tajamnya langsung menebas nyali
“Tugasku sudah selesai. Aku pergi sekarang,” tutur sang interogator sembari bergegas merapikan perkakas. “Kirimkan saja bayaranku ke rekening yang kuberikan.” “Kau masih berani meminta bayaran setelah melanggar kesepakatan?” bentak Max tak terima. Tangannya masih mendekap erat gadis yang hilang kesadaran. “Justru kau seharusnya membayar lebih. Kau tahu, aku tidak hanya berhasil menggali informasi dari satu orang, melainkan dua orang.” Alis sang CEO sontak bertambah dalam. “Apa maksudmu?” Sharp Knife menutup kotak perkakas, menentengnya, lalu berbalik menghadap si klien. “Bukankah kubilang tugasku sudah selesai? Itu berarti, aku telah berhasil mendapatkan apa yang kau minta.” Max menggeleng tak mengerti. Ketika telunjuk sang interogator teracung, kebingungannya semakin menjadi. “Pertama, gadis ini tidak bersalah. Dia memang tidak tahu apa-apa,” terang si pria berjubah dengan tampang yakin. “Kenapa kau bisa menyimpulkan b
Setibanya di rumah, hal pertama yang ditanyakan oleh Max adalah Gabriella. “Perempuan itu sudah bangun, Tuan. Tapi, dia tampak seperti orang yang tidak waras. Dia terus menangis dan berteriak mendesak saya untuk keluar. Jadi, saya terpaksa menguncinya di kamar,” jelas si kepala pelayan gelisah. “Jadi, dia belum makan?” tanya Max dengan kerutan kecil di pangkal alisnya. “Belum, Tuan,” geleng si pelayan sambil merendahkan sudut wajah. “Kalau begitu, tolong siapkan makanan, Bi. Antarkan ke kamar sekitar 15 menit lagi.” “Baik, Tuan.” Sementara sang pelayan bergegas ke dapur, Max meluncur ke kamar. Begitu pintu dibuka, gadis yang sedang memeluk diri di sudut kamar mulai bergetar ketakutan. Ia terus mendorong mundur tubuhnya meski telah tertahan oleh dinding. Menyaksikan hal itu, hati Max terasa aneh. Ia belum pernah mengalami perasaan itu, perasaan yang mengoyak dada dan memaksa kedua tangannya terkepal erat. Dengan
Max mengusap pipi pucat Gabriella. Hatinya berdesir menyambut perasaan yang tak terdeskripsikan. “Gadis ini pasti sangat membenciku. Apakah aku bisa menghadapi seorang istri yang menyimpan dendam?” Tangan sang CEO kini beralih menggenggam jemari lentik yang sempat terancam. “Untung saja Sharp Khife masih memiliki hati dan akal sehat yang cemerlang,” desahnya seraya tertunduk. “Berkatnya, aku masih memiliki harapan.” Dengan lembut, Max menarik Gabriella ke dalam dekapan. Tanpa ragu, ia memejamkan mata sambil mengelus rambut gadis itu hingga tangannya berhenti bergerak. Keesokan harinya, sang CEO membuka mata dan menemukan bahwa dirinya sama sekali tidak bergerak sepanjang malam. Setelah memastikan gadis dalam dekapannya masih terlelap, ia mengendurkan pelukan dan membetulkan posisi berbaring Gabriella. “Semoga hari ini adalah hari yang baik untuk kita,” bisik Max sebelum beranjak dari ranjang. Dengan perasaan yang lebih
“Ah, aku seharusnya mengajakmu ikut mandi bersamaku,” ucap sang CEO seraya membelai rambut Gabriella. “Max!” pekik Amber sambil menarik lengan sang pria. Telinga wanita itu terasa panas karena ucapan manis Max kepada perempuan lain. “Jangan coba-coba mengujiku! Aku juga punya batas kesabaran.” Selama beberapa detik, sang CEO tidak bersuara. Ketika pria itu sudah berdiri bersama Gabriella dalam gendongannya, barulah ia membalas, “Kesabaranku baru saja kau habiskan. Jangan harap aku mau menerimamu sebagai istriku!” Amber sontak menghela napas tak percaya. Harga dirinya terluka, apalagi ketika Max berbalik tanpa menambahkan kata. “Kau akan menyesal jika menolakku!” seru wanita muda itu sambil melayangkan telunjuk yang teracung. Namun, sekeras apa pun ia berteriak, sang CEO tetap tidak menggubris. “Lihat saja! Kau tidak akan bahagia bersama gadis itu!” “Bibi, protokol empat!” Max tiba-tiba memberi sinyal. Ia benar-benar risih dengan suara
“Ah, kurasa cukup untuk malam ini,” gumam sang CEO seraya memutar lehernya yang terasa pegal. Sudah empat jam ia fokus, tetapi maket di tangannya belum juga rampung. “Besok aku harus meluangkan lebih banyak waktu,” pikirnya seraya menoleh ke arah Gabriella. Gadis itu tertidur dengan tangan masih memegang pena. Tanpa bersuara, Max mendekat lalu meneliti hasil pekerjaan sang gadis. Tiga detik kemudian, sudut bibirnya terangkat ringan. “Tidak terlalu buruk. Meskipun berantakan, hasilnya masih bisa digunakan,” angguk sang CEO puas. Selang satu kedipan, matanya beralih pada wajah cantik yang terpejam. Tanpa sadar, Max ikut memiringkan kepala. “Apakah kamu lelah?” bisiknya seraya membelai rambut Gabriella. Selang satu embusan napas, pria itu bergeming. “Tunggu dulu. Kenapa aku menyentuhnya?” Setelah berkedip-kedip heran, ia berdiri tegak, melipat tangan, lalu berdeham kencang. Gadis yang semula merebahkan kepala