“Ah, aku seharusnya mengajakmu ikut mandi bersamaku,” ucap sang CEO seraya membelai rambut Gabriella.
“Max!” pekik Amber sambil menarik lengan sang pria. Telinga wanita itu terasa panas karena ucapan manis Max kepada perempuan lain. “Jangan coba-coba mengujiku! Aku juga punya batas kesabaran.”
Selama beberapa detik, sang CEO tidak bersuara. Ketika pria itu sudah berdiri bersama Gabriella dalam gendongannya, barulah ia membalas, “Kesabaranku baru saja kau habiskan. Jangan harap aku mau menerimamu sebagai istriku!”
Amber sontak menghela napas tak percaya. Harga dirinya terluka, apalagi ketika Max berbalik tanpa menambahkan kata.
“Kau akan menyesal jika menolakku!” seru wanita muda itu sambil melayangkan telunjuk yang teracung. Namun, sekeras apa pun ia berteriak, sang CEO tetap tidak menggubris.
“Lihat saja! Kau tidak akan bahagia bersama gadis itu!”
“Bibi, protokol empat!” Max tiba-tiba memberi sinyal. Ia benar-benar risih dengan suara
Eits eits eits... Ada yang diam-diam memperhatikan, nih... Ada yang ingin kalian sampaikan kepada Max? Ketik di kolom review, ya....
“Ah, kurasa cukup untuk malam ini,” gumam sang CEO seraya memutar lehernya yang terasa pegal. Sudah empat jam ia fokus, tetapi maket di tangannya belum juga rampung. “Besok aku harus meluangkan lebih banyak waktu,” pikirnya seraya menoleh ke arah Gabriella. Gadis itu tertidur dengan tangan masih memegang pena. Tanpa bersuara, Max mendekat lalu meneliti hasil pekerjaan sang gadis. Tiga detik kemudian, sudut bibirnya terangkat ringan. “Tidak terlalu buruk. Meskipun berantakan, hasilnya masih bisa digunakan,” angguk sang CEO puas. Selang satu kedipan, matanya beralih pada wajah cantik yang terpejam. Tanpa sadar, Max ikut memiringkan kepala. “Apakah kamu lelah?” bisiknya seraya membelai rambut Gabriella. Selang satu embusan napas, pria itu bergeming. “Tunggu dulu. Kenapa aku menyentuhnya?” Setelah berkedip-kedip heran, ia berdiri tegak, melipat tangan, lalu berdeham kencang. Gadis yang semula merebahkan kepala
Begitu pintu dibuka, seorang pria menyerbu masuk dengan tangan terkepal erat. Pelayan di balik punggungnya hanya bisa meringis khawatir. “Beraninya kau menyia-nyiakan pengorbananku! Aku sudah mengalah kepadamu, tapi kau malah mengacaukan perusahaan?” Telunjuk pria itu teracung di depan muka Max. “Perhatikan bicaramu, Julian! Kau bukannya mengalah, tapi melarikan diri, dan aku tidak pernah mengacaukan perusahaan.” “Benarkah? Lalu, kenapa wanita ini berada di sini? Di kamarmu.” Tatapan tamu tak diundang itu tertuju kepada Gabriella yang mengerut di belakang sang CEO. “Apa salahnya jika calon istriku di sini?” jawab Max dengan nada santai. Tidak hanya sang gadis, tetapi Julian pun terbelalak. “Calon istrimu? Ternyata, yang dikatakan oleh Amber memang benar. Kau sudah dihasut oleh perempuan ini.” “Pelankan suaramu, Julian! Kita bukan di tengah hutan, dan kau tidak berhak meneriaki gadisku seperti itu.” Sang
“Tentu saja bukan,” sanggah Max dengan nada kesal. “Lalu, beri aku pilihan lain. Bagaimana dengan memijat? Bukankah pundakmu sering pegal?” Sang CEO mulai memutar bola mata. Selang beberapa saat, ia memberikan boneka beruang kutub itu kepada Gabriella. “Sekarang, tepati janjimu!” Dalam sekejap, mata Gabriella berkaca-kaca memperhatikan pemberian orang tuanya. Setelah membelai boneka itu dengan lembut, ia memeluknya dengan mata terpejam. Setetes air mata mengalir saat ia menghela napas dari tenggorokannya yang mendadak gersang. “Aku sangat merindukanmu,” gumamnya sukses menyentuh hati Max. “Jadi, aku berhasil mengobati kerinduanmu?” tanya pria itu setengah berbisik. “Ya,” desah Gabriella seraya menatap sang CEO setulus hati. “Terima kasih.” Sebisa mungkin, Max menahan bibirnya agar tidak melengkung. “Kalau begitu, pijat aku sekarang!” “Ya,” angguk sang gadis sambil mendekap Snowy dengan erat. Dengan langk
Mata Gabriella berkaca-kaca saat kakinya menginjak tanah yang sudah lama tidak ditapakinya. Setelah menelan ludah dan menarik napas cepat, ia menoleh ke arah pria yang sedang menggenggam tangannya. “Kenapa kau membawaku ke sini?” “Untuk menepati janjiku,” sahut Max ringan. Senyum di wajahnya meskipun tipis tampak tulus. Tanpa bertanya lagi, Gabriella melangkah menuju makam orang tuanya. Begitu tangan gadis itu menyentuh batu nisan, air mata otomatis bergumpal dan jatuh dari pelupuknya. "Mama, Papa .... Maaf, aku gagal menjaga rumah." Napas sang pria mendadak terasa berat mendengar rintihan Gabriella. "Maaf karena aku gagal menjaga diri sendiri," ucap gadis itu di sela desah napas yang tidak beraturan. Kepala Max tak bisa lagi tegak. Ia terlalu malu untuk menampakkan muka di hadapan makam orang tua gadis yang sudah ditidurinya. Selama beberapa menit, Max hanya berdiri menyaksikan Gabriella menangis memeluk
“Wah, Anda cantik sekali calon Nyonya Evans!” puji seorang desainer yang didatangkan khusus oleh Enchanted Bridal. “Semua gaun terlihat lebih bersinar di tubuh Anda.”Gabriella hanya menaikkan sudut bibirnya tipis. Gaun yang dipenuhi butiran kristal itu merupakan gaun kesepuluh yang dicobanya.“Jadi, apakah calon istriku sudah menemukan gaunnya?” tanya Max tiba-tiba masuk dan duduk di sofa. Tanpa menunggu perintah, sang pelayan menghampiri tuannya.“Bukankah Anda berencana pergi sore ini, Tuan?” tanya Minnie dengan suara pelan.“Urusanku sudah selesai. Sekarang, aku ingin melihat calon istriku,” ujarnya seraya tersenyum kepada Gabriella. Gadis yang melirik itu sontak mengalihkan pandangan.“Dari semua gaun yang telah dicoba, kekasih Anda paling cocok mengenakan gaun ini, Tuan,” terang sang desainer seraya menarik Gabriella ke hadapan sang pria.“Benarkah? Berputarlah!”Setelah sempat ragu, sang gadis akhirnya berputar dengan
“Di mana?” tanya Max membuat gadis di hadapannya semakin terdesak. Bibir Gabriella mulai bergetar menanti kata. Namun, tiga detik kemudian, saraf pusatnya masih belum mengirimkan respon. Sorot mata Max telah membekukan pikirannya. “Ayo, tunjukkan!” tantang Max sembari membawa jemari Gabriella mendekati pipinya. Sang gadis spontan menarik tangan dan menggenggamnya di atas pangkuan. Dengan wajah yang tertunduk, ia menyembunyikan kegugupan. “Kenapa? Kau tidak bisa menunjukkannya, hm? Bukankah itu berarti kau memang menguping pembicaraan kami?” simpul pria yang masih membungkuk dengan kedua tangan membentengi kursi. “A-aku tidak sengaja mendengar,” ucap Gabriella tak ingin mengakui kesalahan. Tingkahnya itu sukses membuat Max menaikkan sudut bibirnya. “Tampaknya, kau sudah tidak sayang dengan bonekamu, huh?” Mata sang gadis pun terbelalak. Bayang-bayang Max membunuh Snowy telah melintas di benaknya. “Baiklah, aku menguping.”
Gabriella tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan seorang pria kaya nan rupawan. Seumur hidup, ia hanya mengenal piano dan partitur. Tidak sedetik pun gadis itu memikirkan persoalan cinta. Namun, sekarang, ia termenung menatap cincin berlian yang melingkar di jari manisnya. “Aku benar-benar menikah?” batinnya tak percaya. Sedetik kemudian, ia menelan ludah, membasahi kerongkongannya yang mendadak gersang. “Gabriella?” Perempuan itu perlahan menegakkan kepala, menghadap wajah tampan yang memanggilnya. “Dan, laki-laki yang bahkan belum kukenal ini adalah suamiku?” Sang pengantin menarik napas panjang, membebaskan rongga dadanya dari sesak. “Apakah keputusanku ini tepat?” “Gabriella,” panggil Max seraya memberi sentakan kecil pada jemari yang digenggamnya. Sang wanita akhirnya mengerjap. “Ya?” Sang pria memberi sinyal lewat lirikan mata. Gabriella pun mengikuti arah pandangnya yang berakhir pada sebuah cincin dalam k
Gabriella dapat merasakan Max hampir tiba. Semakin dekat jarak mereka, semakin erat pula ia mengepalkan tangan. Pipinya yang merona sedikit lagi menyamai tomat.Tepat sebelum sang pria memagut bibirnya, bunyi ketukan pintu mengalihkan perhatian. Gabriella dapat mendengar dengus kecil dari hadapannya. Saat itulah, ia baru bisa kembali bernapas dan membuka mata.“Ya?” Max menatap ke arah pintu dengan alis terangkat tak senang.“Maaf, Tuan. Sekretaris Anda menunggu di pos penjaga. Dia bersikeras ingin masuk menemui Tuan,” seru seorang pelayan dari balik pintu.“Katakan saja kalau aku sedang memberlakukan protokol lima!”“Dia tetap memaksa, Tuan."Embusan napas cepat langsung terdengar. “Tolong sampaikan kepadanya untuk menghubungiku via telepon!” Usai memberi perintah, Max meraih ponsel dan mengaktifkannya.Mengetahui kekesalan sang suami, Gabriella tidak berani berkutik. Sesekali, ia