Share

Hampir

"Benar Pak, aku tidak berbicara dengan seseorang pun. Mungkin Bapak salah dengar," kata Doni.

"Aku nggak salah dengar. Aku tadi jelas mendengar kamu berbicara dengan seseorang di kamar ini!" bentak Jarot. Keukeh.

"Oh, yang barusan itu? Aku tadi sedang telepon temanku di kampung, Pak."

"Kok terdengar jelas suaranya, bukan seperti suara telepon?"

"Ya ... terdengar jelas, Pak. Orang hapenya aku loud speaker dan juga, ini kan tengah malam? Sepi sekali. Jadi semisalkan keluar suara sedikit aja sudah sangat keras kedengarannya."

"Aku nggak percaya. Sebentar, aku mau masuk!" katanya sambil bergerak maju.

"Lho, lho ... mau ngapain, Pak?" cegah laki-laki muda ini.

"Aku mau masuk! Aku mau mengecek sendiri isi kamar ini ada siapa selain dirimu. Jangan halangi aku!" hardik Jarot. Pikiran dan hati sudah termakan emosi. Takut membayangkan jika istri benar-benar selingkuh dengan sopirnya sendiri. 

"Emangnya ada siapa, Pak, selain saya?" Doni mencoba menahan Jarot yang mendesak ingin masuk kamar. Asem, dia curiga!

"Tidak ada orang lain, Pak!" Khawatir juga. Brengsek, bagaimana ini?

Jarot semakin memaksa, dan akhirnya bisa masuk juga ke dalam kamar. Dia memandang, menyapu  isi kamar.

Tidak ada siapa-siapa.

Di balik pintu, Emma berdiri dengan kaku memandang Doni. Dengan tatapan seperti, 'apa yang harus aku lakukan'? Yang dipandang cemas juga, memberi isyarat mata, agar segera keluar dari kamar ini.

"Mungkin ada seseorang di dalam lemari itu?" tanya Jarot.

"Lemari? Tidak ada, Pak. Ya ampun ... curiga sekali, Pak."

"Ya. Curiga karena aku tadi mendengar jelas bahwa kamu sedang berbicara dengan seseorang di sini." 

Sementara Emma sedang melangkahkan kaki pelan-pelan, berjingkat-jingkat, keluar dari kamar ini diiringi lirikan Doni. Saat itu juga Jarot menuju lemari. Dan saat lemari itu dibuka.

Kosong!

Tidak ada siapa-siapa, isinya cuma pakaian. Sementara istrinya masih juga belum keluar dari kamar ini, jalannya pelan sekali. Dia gugup. Ampun! Saat melewati pintu, bahunya menyenggol daun pintu.

Dhep.

Reflek Jarot menoleh ke belakang, suara apa itu?

Beberapa detik kemudian Jarot keluar dari dalam kamar. Dia yakin ada seseorang tadi, dan itu pasti istrinya. Dengan nafas memburu dia berjalan cepat menuju kamar dan ingin memastikan bahwa istrinya ada di dalam kamar. Dibukanya pintu.

..

Kok tidak ada?

Di mana dia?

...

...

...

Terdengar pintu kamar mandi terbuka. Istrinya keluar, dan bertanya.

"Ada apa? Kok bangun tengah malam, Pa?" Jarot tertegun. Dia melihat istrinya keluar dari kamar mandi. Muka, tangan dan kakinya basah oleh air.

"Enggak ada apa-apa," jawabnya.

"Ya sudah Pa, kalau begitu aku mau tidur lagi. Tumben panas sekali udaranya sampai aku mengguyur muka, tangan, dan kakiku." Emma naik ke atas tempat tidur. Dalam benaknya, semoga dia tidak curiga. Untung aku punya ide seperti ini, kalau enggak? Pasti ketahuan kalau keluar keringat dingin.

Aku tahu kamu bohong, Sayang. Batin Jarot.

***

Beberapa hari kemudian hujan sangat lebat mengguyur kota ini. Beberapa kali ada yang telepon, tapi Doni tidak menjawabnya karena masih mengantuk dan capek sekali. Dia tidak peduli karena kalau nggak dari teman, ya pasti dari bosnya. Malas. Enak meringkuk saja di kasur.

Beberapa menit kemudian dia baru ingat kalau harus menjemput Yuni di terminal bus luar kota. Diambil HP dan dilihat di situ ada dua puluh lima kali misscall, dan ada tiga pesan. Dibukanya dan dibaca.

[Mas! Bagaimana, sih? Aku sudah dari tadi di sini. Jemput aku dong?!]

[hujan tahu! Buruan! ... aku kedinginan ini. Mana ada preman juga di sini, ngeri aku!]

[Hei Mas! Angkat dong teleponnya! Ya ampun, jam segini masih tidur? Ngapain saja sih semalaman ditelepon kok enggak diangkat-angkat? Buruan jemput aku di sini, huh!]

Aduh, aku lupa pikirnya.

Cepat-cepat dia berganti baju, memakai celana, sepatu dan mengambil kunci kontak mobil. Handphone, dompet, tas kecil dan setelah siap semuanya Doni membuka pintu dan ... ada seseorang di depannya.

"Mau kemana kamu, Don?"

"Mau menjemput Yuni di terminal bus, Bu. Saya lupa." 

Di situasi seperti ini, tidak ada kata 'aku' dan 'sayang'. Yang ada adalah 'saya' dan 'Bu'. Formal. Akting yang sempurna.

Jika bermain api harus memakai APD. APD adalah alat pelindung diri yang selalu harus dipakai oleh seorang pekerja saat melakukan suatu pekerjaan. Sama di dunia perselingkuhan seperti ini, harus memakai trik dan taktik biar gak ketahuan. Profesional.

Berbohong pun sama. Jadi semisalkan berbohong, ngomong hari ini A, ditanya oleh orang yang sama atau oleh orang lain jawabannya harus tetap A, meskipun itu pertanyaan yang diulang satu, atau dua tahun kemudian. Bukan amatir. Jangan sampai ketahuan.

Mobil itu dipacunya sedikit kencang, tapi tetap berhati-hati juga karena jalanan licin. Hujan sedang deras-derasnya dan ... jalanan juga macet. Bisa marah ini Yuni, pikir Doni. Dia ada ide, daripada menunggu jalan lurus tapi macet memakan waktu lama, mending dia memutar.  Meskipun agak jauh tapi pasti sampai di tujuan. Diputar mobil itu dan berbelok ke kanan menuju terminal bus.

Handphone berbunyi, dilihat Yuni sedang menelepon. Diangkatnya,"yah, hallo?!"

"Di mana, Mas? Kok lama sekali?"

"Aku?"

"Ya, iya! Siapa lagi? Udah, jangan bikin aku sebel. Di mana posisimu, Mas?!"

"Aku di hatimu Sayang, cie ...,"

"Mas!"

"Hehehe ... bercanda aku, sekarang menuju ke Terminal Bus. Kamu tunggu aja di situ, paling lama lima belas menit sudah sampai."

"Oke, aku tunggu. Ini, ada beberapa preman sedang menggangguku! Sudah ada yang berani colek. Kamu sih, Mas! Kelamaan!"

Colek-colek? "Oke, Tunggu, sebentar lagi!" Asem! Preman di situ belum tahu siapa aku!

Doni melajukan mobil masuk ke terminal dan parkir di situ. Mencari Yuni dan ketemu. Ternyata benar, di samping gadis itu sekarang ada tiga preman yang sedang menggodanya. Preman yang agak gendut mencolek-colek dagu Yuni. Yang satu ketawa-ketawa, orangnya tinggi, berambut panjang. Dan satunya lagi, sedang mencoba merayu Yuni. Doni panas dibuatnya.

"Woi, Bro! Jangan ganggu dia!" Tiga orang itu menoleh. Yang gendut maju ke depan.

"Hey, kamu siapa? Jangan coba-coba ikut campur urusan kami!" Yuni lari dan berdiri di belakang Doni. Berbisik, "udah, ayok kita pergi, Mas."

"Ayo, Yun ...," Tiba-tiba preman tadi mencengkeram bajunya Doni.

"Hei, seenaknya saja kamu pergi. Nih, terima dulu jotosanku!" Dilayangkan sebuah pukulan ke muka Doni. Tapi ...

Tep!

Kepalan tangan itu ditangkap Doni dan tangannya dipelintir. Preman ini meringis. Yuni menjerit takut!

"Kamu ngajak berantem, hah?!" bentak Doni garang.

"Jangan kira aku takut sama kalian, ya? Kalau pun aku kalah dikeroyok sama kalian. Tunggu saja pembalasanku. Huh!" sambil dilepaskannya tangan itu.

"Memangnya kamu punya apa berani bilang gitu? Hah?!"

"Ya ada, lah!"

"Oo ... belagu? Punya bekingan? Heh?" Preman ini tersenyum sinis.

"Kenal Bang Sodik, nggak? Dia yang pegang daerah sini. Mau apa kau?"

"Eh, kamu kenal?" Tiga preman ini saling melirik, tiba-tiba perasaan jadi tidak enak.

"Iya, lah! Dia sudah aku anggap kakakku sendiri! Mau lanjut berantem? Ayok! Kalah tidak apa-apa aku mah. Tapi tunggu saja, besok. Habis kamu!" sambil jari-jari bergerak seperti memotong leher. 

Orang-orang ini jelas ketakutan. Mereka tahu benar siapa Bang Sodik. Preman galak yang pegang daerah sini. Semua yang punya warung, toko, dan usaha lainnya menyetor uang tiap minggunya ke orang itu. Bahaya kalau berurusan dengan dia. Sudah sering masuk penjara lagi. Kabarnya juga pernah bunuh orang.

"Eh, maafkan kami ya, Mas. Kami tidak tahu. Sudah, kami pergi saja." Mereka berlalu. Jalannya juga cepat-cepat.

Setelah agak jauh, Yeni tanya ke Doni, "Mas, kamu kenal dengan yang namanya Bang Sodik itu?"

"Enggak."

"Lha, tadi?"

"Kibulin saja. Belum tahu mereka siapa aku!"

"Ihh ... Mas bisa ajah! Hiiii!" Laki-laki ini dicubit hidungnya, gemes. Yuni sangat suka sopirnya ini. Bila berada di dekatnya, serasa senang hidup ini. Humoris. Dan juga, tidak bosan memandangnya lama-lama. Netra itu ... membuatnya mabuk kepayang. Doni, kapan kau bisa kumiliki? Sesekali dicium pipinya. Yang dicium diam saja. Gadis ini bersandar di bahu laki-laki yang telah menjadi sopir di keluarganya selama dua tahun lebih. Tiba-tiba Yuni berseru, "Mas! Mampir dulu, yuk?"

"Kemana?"

"Ke losmen."

"Ngapain?"

"Nggak papa ... ayuk, Mas?" Doni menggelengkan kepala. Gadis ini masih muda, tapi agresif sekali.

"Jangan ... kita langsung pulang ke rumah saja, Yun." Ditolaknya permintaan itu. Doni tahu apa yang diinginkan gadis ini. Yuni cemberut. Berkali-kali tiada henti selalu meminta permintaan yang sama. Dan laki-laki ini pun berkali-kali juga menolaknya. Pernah dulu petting dan hampir kebablasan.

Lima belas menit kemudian mereka sampai di rumah. Meskipun cuma masuk rumah, tangan Doni selalu digandengnya. Di balik jendela, seseorang melihat dengan menekan emosi di dada.

Cemburu, karena belum pernah seperti itu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status