Share

Rayuan Sang Suhu

Sayangnya, kalimat yang menurut Wulan tadi cukup kasar, sama sekali tak membuat nyali seorang Rion mengendur. Santainya, ia hanya menanggapi ketus dari Wulan tadi dengan sebuah senyuman tipis. Lengkungan dua sudut bibir yang ternyata sukses memamerkan sisi manis dari diri Cassanova itu.

"Oke. I'm sorry. Saya tidak bermaksud untuk melecehkan atau menyudutkan kamu. Saya cuma tidak tau harus dengan cara apa, agar saya bisa mendapatkan perhatian kamu. Saya bukan orang yang pandai berbasa-basi dengan gadis seperti kamu, Wulan." Dan mulailah kelihaian seorang Rion dalam merayu wanita. Memang seperti itulah gayanya--berlagak cupu, meski aslinya dialah sang suhu. 

Lalu yang hebat adalah, karena Wulan tak termakan sama sekali oleh jurus rayu-rayuan dari Rion. Lagi-lagi, Wulan kembali membandingkan sikap mantan Bossnya tersebut saat ini, dengan Boss yang ia pergoki tengah menikmati indahnya surga dunia bersama seorang wanita di sebuah kamar hotel. Sampai kiamat pun, Wulan tak akan bisa melupakan kejadian pada malam itu--betapa erangan wanita yang tengah Rion cumbu terus berdengung di telinganya. Tentu saja itu adalah erangan, yang membuktikan tengah sehebat apa Rion dalam memberikan kepuasan pada lawan mainnya.

Wush.

Tak ayal, Wulan pun berakhir dengan membuang pandangannya dari wajah Rion. Berusaha menyingkirkan potongan-potongan adegan panas Rion, yang masih saja bermain di benaknya. Semua itu seperti Wulan yang menyaksikan ulang percintaan Rion dengan wanitanya dalam bentuk potongan video film. Memuakkan, bagi Wulan yang benar-benar tabu dengan hal semacam itu.

"Kenapa buang muka? Saya masih bicara sama kamu, Wulan. Kalau kamu mau saya bersikap sopan, kamu juga tolong hargai saya sebagai lawan bicara kamu," sambung Rion lagi mulai gusar. Ini pertama kalinya ia bertemu dengan seorang gadis yang bersikap seperti tidak suka menatap dirinya. Dan tentu saja, Rion tak menyukai hal tersebut. Tadinya Rion pikir, mendekati Wulan akan menjadi hal yang gampang. Tapi rupanya, Rion kembali harus membenarkan ucapan Hendar tadi. Wulan memang bukan hal yang mudah untuk Rion handle. Rumit, atau lebih tepatnya harga dirinya yang tinggi.

Mendengar perkataan Rion, Wulan semakin merasa tak nyaman. Namun, untuk menyesali kedatangannya ke kantor laki-laki itu juga sudah percumah. Kabur? Yang ada Rion akan menyuruh anak buahnya untuk menangkap Wulan seperti hari itu di hotel. Nasib, memang. Wulan sudah sampai di jalan buntu. Tak ada pilihan lain lagi, selain meneruskan saja apa yang sudah ia pilih. Merundingkan tentang tawaran menikah dari Rion.

Pada akhirnya, Wulan pun kembali bertatap-muka dengan Rion.

"Maaf, Pak. Saya cuma merasa enggak nyaman aja di sini," celetuk Wulan pelan. Rion pun tersenyum mendengar jawaban gadis itu.

"Lalu, kamu maunya kita bicara di mana? Atau kita ke apartemen saya saja? Di sana lebih tenang dan bebas," usul Rion, masih dengan tatapannya yang lekat pada gadis di depannya. Rupanya ia juga masih penasaran untuk mendapatkan Wulan dengan cara yang biasa ia gunakan, kepada para wanitanya selama ini. Membujuk.

Dan jelas, Wulan pun tidak akan terbujuk. Terlihat ekspresi tak setuju dari sebelah alis Wulan yang terangkat naik.

"Saya enggak bilang gitu. Kita bicara di sini aja, Pak. Lagian saya juga enggak bisa lama," sahut Wulan tetap bernada dingin. Tidaklah ia sadari, bahwa semakin ia jual mahal di depan Rion--maka akan semakin ingin juga laki-laki itu mendapatkan dirinya.

"Memangnya kamu mau ke mana? Kamu pengangguran, 'kan, sekarang?" ledek Rion tersenyum miring pada Wulan. 

Jengkel juga Wulan, melihat betapa mimik wajah Rion saat ini sangat mengejek dirinya yang sudah tak memiliki pekerjaan.

"Mau jual diri. Emang kenapa? Masalah buat Bapak?" Jadilah Wulan yang bersungut kesal menjawab pertanyaan Rion tadi. Kalimat sarkas Wulan secara spontan keluar begitu saja, karena ia merasa sedang direndahkan oleh Rion. Biarpun benar bahwa Wulan sekarang sedang menganggur, bukan berarti Rion bisa berkata seperti itu padanya. Sungguh menjengkelkan sekali.

"Ha-ha-ha … Wulan, Wulan." Rion tertawa sumbang, "kamu ngapain repot-repot mau jual diri di luar sana, sementara sudah ada saya yang berani bayar mahal kamu. Berapapun yang kamu minta, apapun yang kamu inginkan. Saya akan berikan," congkaknya.

Wulan mendengus gusar, sebab kalimat sombong nan angkuh yang baru saja ia dengar. Ternyata Wulan memang sedang berhadapan dengan seseorang yang sangat tinggi rasa percaya dirinya. Sampai kemudian, tiba-tiba Rion merapatkan lagi posisi duduknya dengan Wulan. Wajahnya semakin mendekati Wulan, hingga membuat gadis itu terus memundurkan punggung--menghindar. Dan pada detik berikutnya.

Brugh.

Ambruklah Wulan di atas sofa yang menjadi tempat duduknya bersama Rion.

"B-bapak … mau apa?" Tergagap Wulan, ketika kini Rion mengungkung tubuhnya. Refleks, Wulan tak sadar sudah menyilangkan kedua tangan ke depan dada--seolah ia sedang melindungi diri dari laki-laki yang ada di atasnya.

Rion memandangi wajah Wulan cukup lama. Intens, dan tak sekejap pun memalingkan matanya dari gadis itu.

"Sayang sekali, Wulan, kalau wajah secantik ini akan kamu obralkan pada laki-laki hidung belang di jalanan. Hidup kamu itu akan enak, kalau kamu setuju untuk menikah dengan saya. Katakan saja  'iya', dan saya akan jadi pengabul semua keinginan kamu," tutur Rion lagi, dalam jarak yang cukup dekat dengan wajah Wulan. Napas mereka bahkan seperti saling meyapa wajah satu sama lain. Saking intimnya posisi mereka saat itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status