Pernah gak?
Kepengen menghilang dari dunia tapi gak meninggal* * *
Dan hal itu cukup menarik perhatian beberapa temannya.
"Kesambet apaan lo? Gak biasanya pulang cepet," celetuk Trisna, si ketua kelas yang sikapnya sebelas dua belas dengan Nadiv.
Pertanyaan Trisna mampu membuat Didan dan Rangga yang duduk di depan Nadiv kompak menolehkan kepala.
"Eh, iya. Tumben lo, biasanya ngadem dulu di kelas," kata Didan sambil menaikkan sebelah alisnya.
Nadiv menghela nafas
Kita gak tau sampai kapan, tapi pasti, rencana Tuhan itu indah* * *Suasana ramai tergambar jelas di dalam salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota ini. Banyak pengunjung yang berlalu lalang sambil menenteng beberapa paper bag berisi belanjaan.Banyak juga para remaja yang sedang duduk santai di kafe-kafe bertema out door. Entah itu bergerombol atau berdua, lebih tepatnya berkencan.Seorang wanita dengan pakaian mahalnya berjalan dengan anggun memasuki pusat perbelanjaan itu. Tangannya menenteng tas keluaran luar negeri itu dengan apik. Begitu pun dengan sepatu bermodel high heels merk luar negeri itu terpasang dengan cantik di kaki jenjangnya. Di lehernya terlingkar sebuah liontin berbandulkan berlian.Benar-benar menggambarkan kalau ia adal
Seolah baik-baik saja padahal isi kepala beban semua***Hembusan angin pagi terasa sejuk menerpa wajah cantik gadis yang kini tengah berjalan kaki. Sesekali bibirnya mencebik. Berjalan dengan kepala tertunduk. Kakinya dengan iseng menendangi kerikil-kerikil yang ada didepannya.Ini masih terlalu pagi untuk berangkat ke sekolah. Bahkan ia yakin kalau penjaga sekolah pun belum datang ke gedung itu.Gadis itu menarik nafasnya dalam kemudian menghembuskannya kasar. Membuat poni yang menjuntai di keningnya menjadi berantakan karena hembusan itu.Ck! Gadis itu mendecak. Seharusnya ia membawa mobil kalau saja nenek lampir, kalau kata tetangganya itu tidak menyita semua fasilitas miliknya. Mulai dari kartu kredit, kunci mobil dan juga dompet ser
Ada kamu, aku bahagia***Brakk!Seorang gadis yang tengah duduk santai ruangan penyiar radio itu berjengit kaget. Ditatapnya sinis lelaki yang baru saja datang sambil menggebrak pintu.Lelaki itu dengan tergesa-gesa menghampiri sang gadis. Wajahnya memerah. Terlihat dengan jelas guratan amarah disana. Rahangnya mengeras. Bahkan urat-urat lehernya mencuat menandakan emosinya benar-benar sudah diatas ubun-ubun."Maksud lo apa?!" Bentaknya kasar.Bahkan lelaki itu tanpa segan menarik kasar lengan gadis yang tengah duduk itu
Hai, cantik! Yang kuat, ya? Jangan khawatir aku ada disini* * *Nadiv dan Rallin berjalan beriringan di koridor apartemen. Sesekali ada beberapa gadis yang menyapa Nadiv. Sepertinya mereka saling mengenali. Rallin pun menjadi pusat perhatian disana. Karena untuk pertama kalinya Nadiv membawa gadis ke dalam apartemennya."Nadiv!" Panggil seseorang di ujung koridor.Nadiv dan Rallin langsung menghentikan langkahnya. Nadiv tersenyum hangat menyambut gadis yang kini berjalan menghampiri mereka berdua."Hai!" Sapa gadis cantik itu dengan riang.Rallin meliriknya sinis melihat gaya gadis didepannya yang sok cantik itu. Bahkan bisa dilihat mata gadis itu berbinar kala menatap Nadiv. Jangan sampai gadis itu menjadi saingannya untuk mendapatkan Nadiv."Udah lama
Memangnya apa yang bisa membuatmu lebih bahagia?Kalau aku, cukup bersama orang yang juga mencintaiku, aku sudah bahagia.***Henggar berjalan tergesa-gesa di koridor sekolah menuju parkiran. Bel pulang sudah berbunyi sejak beberapa jam yang lalu namun lelaki itu baru keluar ketika waktu sudah sore. Sejak tadi, ia merenung di rooftop gedung dan pikiran lelaki itu sangat gelisah. Bagaimana tidak? Berita tentang Rehan yang bahkan sudah terjadi dua tahun silam dan kasus itu pun sudah ditutup, kini kembali terkuak. Kembali naik dan kini menjadi perbincangan seluruh siswa Grand Nusa. Apalagi dengan Rallin yang di percaya sebagai pelaku pembunuhan kakaknya sendiri. Hal itu benar-benar menguras pikirannya.Bahkan Henggar dan Rallin belum bisa menemukan titik terangnya sejak dulu, tapi kini malah muncul permasalahan baru. Ini semua karena Ranti, mamanya. Kalau saja wanita itu tidak mengatakan hal tentang Rehan kepada Adelia, berita ini tidak akan tersebar.
Terlalu rumit untuk sekedar dipahami***Tepat pukul delapan malam, Nadiv sampai di halaman apartemen Henggar. Sesuai permintaan lelaki itu, Nadiv membawa gadis yang kini tengah duduk di boncengannya ke kediaman kakaknya.Nadiv melepaskan helmnya kemudian menoleh. Tersenyum tipis kala mendapati Rallin sudah terlelap. Untung saja selama perjalanan, lelaki itu menggenggam erat tangan Rallin yang melingkar di perutnya. Jadi gadis itu tidak jatuh.Nadiv bergerak untuk mengangkat gadis itu. Kemudian berjalan membawanya ke dalam gedung. Tepat ke apartemen Henggar.Sepanjang perjalanan, banyak pasang mata yang menatap mereka berdua. Bahkan para gadis pun menatap kagum ke arah Nadiv. Tidak lupa, bukan? Nadiv itu meskipun nakal, tapi parasnya bisa membuat para kaum hawa terpesona. Bukan tampan dengan lesung pipi, tapi lelaki itu tampak manis dengan gigi taringnya yang runcing. Ketika lelaki itu tersenyum lalu menampakkan giginya, kesan tampan benar-be
Rallin menggeliatkan badannya yang terasa pegal. Kedua tangannya saling terentang, meluruskan otot-ototnya. Ia merasa sudah tertidur cukup lama. Matanya menyipit saat sinar matahari menerobos masuk ke dalam retinanya.Gadis itu menguap lebar. Padahal kini waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Sontak gadis itu membelalakkan matanya kaget."Gila!!" Pekiknya keras kemudian langsung beranjak turun dari ranjang dengan tergesa-gesa.Bahkan selimutnya pun sampai terlempar ke sudut ruangan. Rallin tidak peduli. Gadis itu sudah melesat ke kamar mandi. Tidak perlu berlama-lama, hanya membutuhkan waktu sepuluh menit, gadis itu sudah keluar lagi. Bodoh amat mau dikatain mandi bebek, yang jelas sekarang pikirannya adalah satu. Ia terlambat ke sekolah.Setelah selesai memakai seragam, gadis menggelung rambutnya asal. Bahkan tidak sempat menyisir rambutnya. Menyambar tas miliknya yang tergeletak di meja belajar.
Henggar duduk termenung di ruang tamu. Pikirannya berkelana, memikirkan cara untuk mencari bukti tentang kasus pembunuhan Rehan. Terakhir kali ia datang ke lokasi kejadian adalah satu bulan yang lalu. Bahkan lelaki itu sudah menelusuri setiap sudut lokasi kejadian. Berharap ia menemukan setitik bukti yang bisa ia gunakan untuk membersihkan nama Rallin. Terutama di hadapan kedua orang tuanya. Namun lagi-lagi ia harus menelan pil kecewa karena tak kunjung menemukan bukti.Ia merasa ada yang janggal dengan kematian Rehan. Bahkan orang tuanya terkesan merahasiakan kasus ini dengan alasan tidak mau membuat Rallin masuk penjara. Sedikit masuk akal namun itu bukanlah langkah yang baik. Jika kasus itu terus diselidiki, Henggar yakin kalau Rallin terbukti tidak bersalah dan orang tuanya tidak akan terus menyalahkan gadis itu.Henggar memejamkan matanya, merasa penat dengan permasalahan yang menhantui kehidupannya. "Apa yang harus gue lakuin sekarang?" gumamnya pelan