Aku dan Predi sudah sampai disekolah. Tidak ada obrolan lain lagi diantara kami. Yang terakhir adalah saat Predi mengatakan bahwa ia akan mulai memanggilku Debi mulai hari ini.
Aku sedikit deg-degan dan gugup oleh karena hal tersebut. Bagaimana rasanya dipanggil Debi oleh orang lain. Pasti akan asing rasanya.
Mobil Predi sudah terparkir ditempat yang sama saat kemarin dia parkir disini. Bedanya, didepan mobil Predi sudah terdapat mobil Abay. Mobil Abay yang biasanya dipakai untuk menjemputku.
Kulirik arloji hitam yang merupakan pemberian Abay dihari ulang tahunku. Arlojiku itu menunjukan pukul 6:15. Bisa terbilang masih sangat pagi.
Aku dan Predi memang sengaja datang pagi sekali karena ada yang harus Predi kerjakan selaku guru magang yang baru.
Lalu ada apa dengan Abay? Dulu, kami paling pagi kesekolah jam 6:30. Tapi dia bahkan sudah mendahuluiku pagi ini.
"Mau diantar ke kelas gak?" Tanya Predi saat kami sudah turun dari mobil.
Setelah pertikaian ku dengan Abay selesai, aku memasuki kelas dengan langkah terhuyung dan muka yang murung bahkan lebih murung dibandingkan hari kemarin, hari saat Abay tidak ada dan sedang bersama Tasya."Abay kepergok lagi grepe sama Tasya yah Ley?"Itu Ina. Dia berdiri diambang pintu sambil memegangi kipas manual yang katanya dibeli di Jepang saat dia masih dalam kandungan. Pertanyaan dan perkataan Ina memang selalu nyelekit.Aku menggeleng pelan tanda menyangkal bahwa yang Ina katakan tidak lah benar."Terus?"Sepertinya Ina kepo alias ingin tahu soal urusan Abay ini. Aku mulai memutar otak ingin mencari alasan yang bagus untuk diberikan kepada Ina. Aku tidak mau Ina mengetahui kejadian aslinya karena itu menyangkut Predi. Predi masih baru disekolah ini, jangan sampai dia kena hukuman akibat skandal yang beredar."Kepo lo!" Ujar seseorang yang berada dibelakangku.Aku menarik nafas lega karena tidak jadi harus berboho
Meski yang kumakan dikantin tadi adalah gehu pedas dan hangat buatan bi Susum tapi makan ku tidak lahap. Padahal perutku sangat lapar dan mulutku meminta makan. Tapi hatiku enggan untuk mendengarkan. Hatiku justru malah gusar, tidak dapat menikmati enaknya olahan tangan bi Susum ini.Alhasil, jika biasanya aku habis gehu 3 tapi tadi 1 saja masih tersisa terigu-terigu krispy nya.Alasan tidak enak nya makan ku apalagi kalau bukan memikirkan Abay.Aku sampai tidak enak dengan Predi. Aku merasa bahwa aku telah mengacuhkannya tadi. Ragaku ada bersama nya tapi jiwaku entah dimana. Apa yang Predi katakan tidak dapat kutangkap jelas karena aku sibuk melamun. Bahkan tak jarang Predi memanggil-manggil namaku dan menepuk bahuku untuk menyadarkanku.Istirahat telah usai. Aku tidak tahu Abay dimana. Dikantin tadi aku tidak melihatnya. Apa jangan-jangan dia tidak makan? Ah sudahlah tidak usah dipikirkan.Ina pernah berkata bahwa Abay sudah besar dan ia bi
Seperti biasanya, aku pulang dengan Predi mengenakan mobil hitam nya yang kupredisikan selama seminggu ini belum dicuci. Atau mungkin lebih dari seminggu, ban-bannya sudah seperti sehabis dibawa balap di adrenalin lapangan bola yang baru surut dari banjir bandang.Predi masih dalam keadaan seperti biasanya, yakni mengemudi dengan senyum yang merekah."Tadi Esa ngapain?"Entah kenapa ia tiba-tiba jadi menanyakan perihal Abay."Ngajakin pulang bareng." Ujarku."Oh, terus gak kamu terima?"Aku mengerutkan kening tanda tak mengerti pertanyaannya ini. Kalau aku terima artinya saat ini pasti aku sudah pulang bersama Abay dan tidak bersamanya."Nggak." Aku menjawab sangat singkat. Lagipula mau apa lagi yang harus aku katakan."Kenapa?""Kan aku pulang bareng kamu."Senyum Predi semakin mengembang kala aku berkata begitu. Bukan maksud ku kepedean, tapi aku bisa menyadarinya dari garis senyum di pinggir b
Setelah Predi pulang tadinya aku hendak menenangkan ibu terlebih dahulu, meredakan tangisannya serta menceritakan kembali detail ceritanya.Aku tidak tahu bagaimana versi Abay menceritakan masalah ini pada ibu. Setahuku, Abay pasti menceritakan versi dirinya sendiri yaitu mengatakan bahwa dirinya lah yang tersakiti.Abay tidak tahu bagaimana sakitnya hatiku saat ditinggalkan oleh dirinya dan dia lebih memilih pergi bersama Tasya. Jadi pasti dia tidak menceritakan pada ibu bagaimana sakitnya aku.Aku takut ibu marah dan menganggap aku yang egois. Maka dari itu, aku akan berusaha menjelaskan segala perinciannya. Aku tidak tahu ibu akan percaya pada siapa, tapi tidak pernah ada yang salah dengan yang namanya mencoba."Bu?" Ujarku lirih sambil memegang bahunya."Hmm? Oh, ibu belum shalat. Ibu shalat dulu ya."Baru saja aku duduk didekat ibu, ia sudah beranjak dan masuk kekamar dengan alasan
"Kenapa Deb?"Aku hampir saja menganggap yang berbicara itu adalah Abay, tapi ternyata itu adalah Predi.Predi masih setia menggantikan profesi Abay yakni mengantar dan menjemputku untuk pergi kesekolah dengan mobilnya dan tanpa dibayar.Sebelumnya aku sudah pernah mengatakan kepadanya bahwa aku tidak mempunyai uang untuk membayarnya dan akan lebih baik kalau aku naik angkot saja. Tapi Predi mengatakan bahwa itu bukanlah masalah dan ia masih tetap ingin dan akan mengantarku kesekolah meski tidak dibayar.Lagipula, kostan Predi tidak terlalu jauh dari rumah ku, jadi sekalian saja. Ditambah lagi karena Predi masih saudaraku.Ah, aku hampir lupa akan satu hal. Aku hampir lupa bahwa Predi adalah saudara sekaligus guruku. Tapi aku malah memperlakukannya seperti teman yang biasa. Harusnya aku lebih sopan dari itu. Tapi Predi sendiri sih yang selalu menolak enggan di perlakukan formal olehku."Ngakpap
Aku tidak sepenuhnya memperhatikan pelajaran yang duberikan oleh bu Nita. Aku malah sibuk melamun, menggambar dan sesekali melihat ke arah Abay.Abay juga tampaknya sama sepertiku. Ia tampak seperti gusar dan gelisah. Matanya juga tidak fokus pada bu Nita. Sesekali tangannya bergerak kesana kemari menuliskan sesuatu. Pasti Abay sama denganku, yakni menggambar.Berbeda dengan Tasya yang dari tadi fokus memperhatikan.Ada yang aneh dari Tasya, senyumnya itu tidak pernah pudar. Aku selalu berpikir, apa ia tidak lelah dan pegal? Kalau aku sudah pasti pegal terus tersenyum seperti itu sepanjang hari. Atau mungkin hal tersebut disebabkan karena wajah Tasya yang memang berseri sehingga membuat dirinya seperti tersenyum?Dua jam sudah berlalu, pelajaran Matematika yang diajarkan oleh bu Nita sudah usai. Ini saatnya kami menyerbu kantin. Sebenarnya, aku tidak terlalu lapar karena tadi aku sarapan banyak masakan ibu. Aku me
Aku tidak akan berhasil menyusul Ina jika Ina tidak memghentikan langkahnya sendiri.Jujur,lari Ina sangat kencang. Mungkin karena badannya yang kurus, jadi ia tidak memiliki beban berat saat berlari.Ina berhenti tepat di koridor depan madding. Ia memegangi lututnya karena kelelahan. Nafasnya juga terengah-engah."Ina." Aku menepuk pundaknya pelan. Tapi Ina tidak terkejut, mungkin ia sudah tahu akan kehadiranku.Ina beralih menatapku dan aku terkejut melihat mukanya. Ina menangis, matanya bahkan langsung merah, keringat nya sudah bercampur dengan air mata.Saat itu juga, saat aku masih menatapnya, Ina langsung ambruk dipelukanku. Setelah ia memeluk ku, Ina kembali menangis dan lebih parah dari sebelumnya.Aku tidak bertanya apa alasan Ina menangis, aku sudah tahu apa penyebabnya. Apalagi kalau bukan perkataan Abay ta
Setelah puas menangis, menjambak rambut dan mengeluarkan segala keluh kesahnya kini akhirnya Ina tidur terlelap di kamarku.Aku tidak ikut tertidur dan lebih memilih meninggalkannya. Ina pasti lelah, jadi aku biarkan saja dia sendiri dan berharap semoga ia mendapatkan ketenangan.Hari sudah mulai sore dan ibu sebentar lagi akan pulang. Sekolah ku juga pasti sudah bubar. Setelah ini aku pasti akan mendapat kabar buruk yaitu dicap kabur dari sekolah.Tapi itu bukan apa-apa. Ada yang lebih buruk, yaitu pandangan dan perlakuan anak-anak pada Ina. Aku juga takut mereka menjadi jauh dari Ina atau bahkan memperlakukan Ina dengan buruk dan memusuhi Ina.Bagaimana caranya menghadapi mereka? Bagaimana rasanya dijauhi oleh banyak orang karena sebuah kesalahan masa lalu yang tidak pernah kita inginkan untuk terjadi? Pasti sakit sekali.Aku memutuskan untuk duduk dikursi kayu diluar dan menunggu kedatangan ibu. Se