Lorant mengerang menahan sakit di kakinya, dia telah mencoba menghentikan pendarahan dengan mengikat kakinya erat-erat, namun darah masih saja mengucur. Sementara tubuhnya semakin lemah karena haus dan lapar.
"Ya tuhan, sungguh aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku tidak tahu siapa mereka, dan mengapa mereka menyerang kami. Apakah pertempuran di Sisak semakin melebar hingga mencapai Moslavina?" Lorant bergumam sendiri, mencoba menganalisa situasi ditengah rasa sakit yang menderanya.
Bagaimanapun dia adalah seorang prajurit terlatih yang sudah terbiasa menahan sakit akibat serangan dari musuh. Namun ini adalah di tengah hutan, dan dia tidak terlalu mengenal wilayah ini, jadi saat dia lari dari gempuran musuh yang tidak dikenalnya, dia hanya mengikuti insting untuk menyelamatkan diri.
"Semoga keluarga Baron Vladislav bisa diselamatkan oleh para pengawalnya..." saat Lorant sibuk bermonolog dalam hati, dia mendengar senandung kecil dari kejauhan yang semakin mendekat, "...seperti suara seorang wanita..."
Lorant mengernyitkan dahi kebingungan, "apakah itu suara peri hutan? di dalam hutan terpencil ada suara perempuan bersenandung...?"
Lorant merasa aneh, tapi segera menggeser tubuhnya ke balik semak-semak untuk bersembunyi.
Seorang gadis muda berambut pirang bergelombang di kepang dua yang cantik, berlenggang sambil bersenandung.
Mata almondnya yang bulat bersinar memiliki tatapan yang teduh dan dalam, bagaikan danau berwarna hazel lembut. Alisnya yang bagaikan bulan sabit, memayungi keindahan matanya dengan sempurna. Sementara kulitnya yang halus bagaikan pualam, segar bersinar di terpa mentari pagi yang cerah, secerah senyumnya yang membuat siapapun merasa tentram dan bahagia.
Dia adalah Benca, yang telah tumbuh dewasa bagaikan bunga mekar dimusim semi. Benca berjalan dengan gembira karena hari ini telah sukses memasak makanan untuk bekal ayahnya dan mendapat pujian dari ibunya. Ini adalah karya pertama Benca secara keseluruhan tanpa campur tangan ibunya. Benca sangat bangga untuk bisa segera mempersembahkan masakan hasil olahannya kepada sang ayah.
Sulit bagi Benca untuk mendapatkan pujian jika hal itu terkait olahan makanan, karena ibunya bisa dikatakan ratunya dapur dan penguasa berbagai makanan lezat, seolah-olah tangan ibunya memiliki kekuatan magis yang bisa menyulap bahan apapun menjadi makanan yang nikmat tiada tara.
Tiba-tiba telinganya mendengar rintihan dari balik semak-semak, perlahan Benca mendekati arah suara itu. Ketika tangannya menyibak dedaunan yang menutupi arah suara, Benca terkejut saat mulutnya dibekap dari belakang oleh tangan yang kokoh. Benca berusaha memberontak dan berteriak, rumahnya tidak terlalu jauh, namun tersembunyi dari pandangan karena terhalang pepohonan yang besar dan rapat. Kalaupun dia mampu berteriak, tentu sulit mengharapkan ibunya untuk bisa mendengar.
Yang bisa dilakukan hanyalah, berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri dengan berbagai cara, dari cengkraman laki-laki yang membekapnya. Namun kekuatannya tidak sebanding, akhirnya Benca diam ketika kaki dan tangannya semakin terkunci dalam pelukan lelaki tersebut.
Benca mencium bau darah bercampur keringat yang membuatnya ingin muntah. Kepalanya pusing akibat tarikan dan pelukan yang mengunci tubuhnya begitu erat dari belakang punggungnya. Benca ingin menangis, namun tidak bisa, hatinya luar biasa gelisah dan ketakutan. Seumur hidupnya belum pernah dirinya berinteraksi dengan manusia lain apalagi bersentuhan selain dengan ayah dan ibunya.
Sungguh Benca merasa hidupnya sangat terancam, dan mulai berfikir bahwa mungkin dirinya tidak akan bertemu lagi dengan ayah dan ibunya. Benca berdoa dalam hati, "ya tuhan, kumohon selamatkan aku, aku akan membaktikan diriku pada orang yang kau kirim untuk melepaskan aku dari situasi ini."
Tiba-tiba dekapan dibelakang punggungnya mengendur, lalu terdengar bisikan lirih, "diamlah, aku tidak akan mencelakaimu." Benca masih terbelalak, bola mata hazelnya seperti ingin keluar dari rongganya, "menurutlah, jika kamu diam, aku akan melepaskanmu, apakah kamu mengerti?"
Benca mengangguk tanda mengerti. Pria itu mengendurkan dekapannya dan perlahan dirinya berbalik, dihadapannya berdiri seorang pria dengan garis wajah tegas bermata elang yang dipayungi alis tebal.
Tubuhnya yang lemah tampak cukup atletis, meski sedikit kuyu. Sementara rambutnya yang hitam lurus sebahu kusut berantakan menutupi sebagian wajahnya. Benca masih diliputi ketakutan, tetapi pria itu tersenyum sambil meringis seperti menahan sakit.
"Maaf jika membuatmu ketakutan, aku pikir dirimu adalah bagian dari mereka yang ingin membunuhku." Pria itu berusaha menjelaskan, lalu menjatuhkan dirinya ke tanah dan bersandar di pohon.
"Mmm... membunuhmu? Memangnya kenapa?" Benca bertanya kebingungan. Sementara pria itu memejamkan matanya sambil memegangi kakinya.
Benca menyentuh bahunya, dan mata pria itu terbuka perlahan "tolong aku... kakiku..." suara lemah pria tersebut mengiringi tatapan redup pada diri Benca yang mencoba menyembunyikan kepanikannya.
"Kamu siapa? apa yang bisa aku bantu? Mengapa ada yang ingin membunuhmu" tanya Benca gugup.
"Ka..ki...ku..." suara pria itu semakin lirih, sambil menatap kakinya dengan lemah.
Benca mengikuti arah pandang pria itu. Ternyata kaki pria itu terluka seperti tersobek benda tajam, darah mengalir cukup deras, sebagian mulai mengering. Benca menutup mulutnya mencoba untuk tidak berteriak. Sepertinya luka tersebut kembali berdarah ketika pria itu melakukan pembekapan terhadap Benca.
"Lukamu cukup parah, aku hawatir akan mengalami infeksi. Aku harus mencari beberapa tanaman obat untuk mengurangi kemungkinan infeksi pada lukamu" pria itu mengangguk lemah, "ini, minumlah dulu, tunggu aku sebentar, aku akan kembali membawa beberapa bahan yang bisa mengobati lukamu."
Benca bergegas pergi, dengan sigap mencari daun berbentuk hati atau yang biasa dia sebut heartleaf.
Seketika melupakan insiden pembekapan yang dilakukan pria tersebut terhadap dirinya. Melihat pria itu tergolek lemah, hanya ada satu hal dalam pikirannya, yaitu menolong pria tersebut.
Ibunya telah mengajari beberapa dasar pengetahuan herbal untuk pengobatan, salah satunya adalah heartleaf, sejenis tanaman menjalar, berbatang lunak, yang berkhasiat untuk menghambat pendarahan pada luka, melancarkan peredaran darah, dan mengembalikan daya tahan tubuh. Benca dan ibunya sering menggunakan daun tersebut untuk mengobati luka. Tidak disangka, bahwa ilmu tersebut sangat bermanfaat dalam situasi ini.
Tidak lama Benca sudah kembali dan mulai menumbuk beberapa jenis tanaman, dia menatap pria itu dengan kasihan, "aku akan mengganti kain yang membebat kakimu dengan selendangku, tetapi sebelumnya aku perlu membersihkan lukamu lalu meletakan ramuan ini di atas lukamu. Akan sedikit sakit, tapi kumohon bertahanlah."
Pria itu mengangguk pasrah, "kamu boleh melakukan apapun padaku, aku percaya padamu, aku sudah menahan sakit sejak beberapa hari, tidak masalah untuk menahannya sedikit lagi."
Benca tersenyum kecil, "kamu boleh menggigit kain ini jika merasakan nyeri." Benca menyerahkan sapu tangan yang biasanya dia gunakan untuk menutupi bekal makanan ketika ayahnya sedang beristirahat, "jangan khawatir ini bersih, ibuku tidak akan mentolelir apapun yang bersentuhan dengan makanan jika tidak higienis" pria itu menurut, meletakan kain di antara giginya.
Dengan cekatan Benca membuka simpul ikatan di kaki pria tersebut, membersihkan lukanya, menorehkan ramuan obat lalu menutupnya dengan kain baru yang disobek dari selendangnya. Proses tersebut bisa dibilang cukup cepat namun ternyata tetap saja menimbulkan efek perih pada luka, karena pria tersebut seperti menggeram menahan sakit, dan keringat berjatuhan dari pelipisnya.
Benca ikut berkeringat karena gugup. Dia menghapus peluh yang menitik dipelipisnya, setelah selesai membebat luka pria itu dengan sisa sobekan selendangnya. Pria itu tersenyum, sendainya saja situasi saat ini berbeda, pasti dialah yang akan menghapus peluh di kening gadis cantik ini.
Pria itu menatap kagum pada Benca, bukan hanya karena kecantikannya, tetapi juga karena pengetahuan pengobatan, cekatan, dan kelembutannya. Pria itu tidak melepaskan sedikitpun pandangannya pada Benca ketika gadis itu mencuci, lalu menumbuk daun berbentuk hati dengan batu, setelah itu dioleskan pada lukanya, semua bayangan itu melintas kembali di kepalanya seperti sebuah film yang bergerak lambat. Yang tampak hanya keindahan dan kecantikan maha sempurna, membuat dirinya seperti tersedot pada lingkaran cahaya yang menyeretnya ke taman surgawi, di mana semuanya tampak sangat mempesona.
"Aku Lorant. Lorant Garai" pria itu menjulurkan tangannya. Benca terpaku, matanya yang indah mengerjap, bola mata berwarna hazel yang dimiliki Benca semakin tampak bersinar saat mengerjap. Membuat Lorant semakin terpesona "boleh aku tahu namamu?" tanya Lorant lembut.
Tangannya masih menggantung tanpa sambutan "apakah Kamu akan membuat tanganku menggantung seharian seperti ini?" Lorant tersenyum menggoda, membuat Benca tersipu.
Benca menyambut uluran tangan Lorant "aku Benca, Benca Kveta Fialova."
"Nama itu cocok buatmu" Benca tersipu "Benca, bisakah Kamu memberiku lagi sedikit air, aku masih haus sekali" Lorant meminta dengan lirih.
Benca segera membuka perbekalan untuk ayahnya, dan memberikannya pada Lorant "ini, minumlah, aku juga ada makanan, silahkan dimakan" Benca menawarkan dengan tulus, dia bisa kembali ke rumah dan memasak lagi untuk ayahnya "ayah pasti mau memaafkanku, karena aku memberikan bekalnya untuk menolong orang yang sekarat" Benca membatin. Meskipun hasil olahan makanan pertama tidak jadi dinikmati oleh ayahnya, namun Benca rela.
Tetapi Lorant menggeleng "tidak sekarang, bisakah Kamu menolongku untuk membawaku ke suatu tempat yang agak tersembunyi?" Benca menatap tidak mengerti. "aku akan ceritakan padamu, segera setelah aku berada ditempat aman. Aku hanya butuh sedikit minum karena terlalu haus. Setelah itu, aku rasa aku masih bisa berjalan dengan bantuanmu" Benca pun langsung memberikan minuman, lalu segera memapah pria tersebut berjalan perlahan menuju rumahnya. Ya, bagi Benca, tempat aman adalah rumahnya.
Tiba di rumah, Benca membuka pintu kayu dengan hati-hati, "bu, ibu... ibu di mana?" Benca memanggil ibunya sambil memapah Lorant untuk duduk di pembaringan. Dengan telaten Benca membantu Lorant untuk mendapatkan posisi rebahan yang cukup nyaman. Setelah itu, dia ke dapur mencari ibunya, tetapi Benca tidak menemukan ibunya. Lewat pintu belakang Benca ke luar. Di sana ibunya tampak sedang menjemur gandum. Cahaya matahari di bulan Oktober tidak terlalu bagus untuk menjemur, tetapi setidaknya, gandum-gandum tersebut tidak akan busuk karena lembab saat musim dingin nanti. Benca menghampiri ibunya "ibu..." Benca memanggil dengan suara lirih. Ibunya menoleh, sedikit terkejut "hey, Kamu sudah pulang, sayang. Cepat sekali. Apakah ayahmu sangat lapar, sehingga menghabiskan makanannya dengan kilat?" Benca menggeleng, lalu duduk dihadapan ibunya. Benca memegang tangan ibunya, lalu menceritakan tentang Lorant. Gerda terbelalak,
Para pengawal menunduk dihadapan seseorang yang sedang duduk sambil mengetukkan jarinya di tangan kursi. Wajahnya yang tenang, namun tegas, memancarkan kharisma yang kuat. Gurat-gurat di keningnya menandakan usia yang semakin menua, namun sesungguhnya dia tidak terlalu tua, hanya saja dia sering tampak murung dan sedih. Meskipun sisa-sisa ketampanan yang dimilikinya masih terlihat, namun terkubur oleh ekspresi datar di wajahnya. Padahal jika diteliti cukup dalam, hidung kokoh diantara alis tebal seperti parang yang menaungi bola mata hazel dalam bingkai berbentuk almond itu memiliki sorot mata setajam elang. Semua bagaikan pahatan sempurna mahakarya sang pencipta. Bibirnya yang tipis dan hampir tidak pernah tersenyum, masih memerah segar karena tidak pernah tersentuh tembakau. Ya, meskipun dia tidak terlalu mengurusi penampilan, namun dia selalu berusaha untuk menjaga kesehatan serta kebugaran tubuhnya, sebab dia bertekad untuk bisa terus hidup sampai bertemu dengan putri satu-satun
Ellie menatap nanar ke luar jendela dari dalam ruangan pribadinya, tubuh polosnya masih berada di dalam selimut tebal, sementara Klara sedang sibuk merapihkan diri. Bertahun-tahun mereka melakukan hubungan yang intim lebih dari sekedar sebagai keponakan dan bibi tanpa dicurigai, karena mereka tinggal dalam satu atap di kastil Cachtice ini. Klara yang lembut penuh perhatian telah menjadi tempat bersandar bagi Ellie yang rapuh dan penuh dengan kekhawatiran. Moment disaat dia harus melepas bayi perempuannya --hasil hubungannya bersama Gustav-- merupakan skenario yang dilakukan oleh Klara dengan sangat rapih. Kenyataannya, delapan belas tahun berlalu, semuanya seolah-olah berjalan sebagaimana mestinya, seakan-akan memang tidak pernah ada seorang anak yang pernah terlahir dari rahimnya. "Klara, apakah ada kemungkinan aku bisa bertemu dengan Sweety --begitu Ellie menyebut anaknya dihadapan Klara--?" Ellie bertanya dengan nada sedih kepada bibinya. Sesungguhnya Klara bosan dengan rengekan
Lorant membantu Gergely memotong kayu untuk persediaan di musim dingin yang akan segera tiba. Tubuhnya yang atletis dan dipenuhi banyak bekas luka, seolah menunjukan bahwa dia bukan sekedar tuan tanah, namun juga seorang ksatria yang mengerti teknik bertempur. Cara Lorant memegang kampak dan mengayunkannya sangat lihay dan terlatih. Benca memperhatikan, bahwa kayu yang dipotong oleh Lorant memiliki presisi yang mengagumkan. Seolah Lorant telah mengukurnya. Keringat yang membasahi tubuh Lorant berkilat diterpa sinar matahari pagi yang lembut. Benca tanpa sadar mengaguminya, lalu tersipu sendiri. Dengan senyum sumringah, Benca menghampiri mereka sambil membawa kudapan palacinky dan selai blueberry kesukaan Lorant. Entah bagaimana, ibunya seolah menguasai banyak hal meski mereka hidup terasing di pinggiran desa Csetje. Semua makanan yang diolah oleh ibunya, akan menghasilkan sensasi yang nikmat di lidah siapapun yang mencicipinya. Bahkan Lorant terang-terangan memuji masakan Gerda.
Gerda sedang sibuk di dapur untuk mempersiapkan makan malam dibantu oleh Benca. Sementara Lorant dan Gergely sedang duduk di teras menatap langit yang mulai pekat sambil bicara tentang kehidupan Lorant di Arva. Lorant bermaksud memberi pengantar kepada Gergely tentang siapa dirinya, dan bagaimana kehidupannya, untuk memberi gambaran singkat kepada Gergely, bahwa dirinya cukup layak dipertimbangkan sebagai menantu dan pendamping bagi Benca. Gergely tidak ingin membahas tentang apa yang telah dia ketahui bersama istrinya tadi pagi. Bahkan saat makan siangpun mereka hanya bicara tentang hal-hal ringan seputar kehidupan Benca selama delapan belas tahun di tempat yang terpencil. Kenyataan bahwa Benca mengusai sebagian besar ilmu herbal serta keterampilan memasak tentu tidak lagi membuat Lorant bertanya-tanya. Sebab Lorant tahu, Benca mewarisi semua itu dari ibunya. Namun pertanyaan besar tentang ilmu dasar politik maupun kehidupan ala bangsawan termasuk tata krama dalam bersikap sehari
Benca bangun pagi-pagi sekali saat hari masih gelap, lalu membereskan dapur serta menyiapkan kudapan untuk sarapan pagi hari. Ibunya telah lebih dulu membuat adonan roti gandum kesukaan Benca yang dipadukan dengan camembert. Benca suka dengan sensasi lelehan camembert di lidahnya. Disudut, Benca melihat banyak kotak makanan tersusun rapih. Mendadak hatinya sedih "inikah akhir hari bersama kedua orang tuanya setelah delapan belas tahun?" Batin Benca kelu. "Hey, Kamu saudah bangun, sayang?" Gerda yang baru saja menyadari kehadiran Benca di dapur, segera menghampiri putri kesayangannya. Hatinya juga sedih, namun dia berusaha untuk tegar. Bagaimanapun, kebahagiaan Benca adalah yang paling utama. Dengan lembut dia memeluk putri kesayangannya, lalu mencium kening Benca. Dia tidak mampu berkata-kata, takut suaranya akan bergetar, lalu mereka berdua tidak akan mampu membendung tangisan. Yang pada akhirnya, hanya akan menghambat keyakinan Benca untuk pergi bersama Lorant untuk meraih kebahag
Langit mulai redup, meskipun cahaya mentari masih bersinar malu-malu dibalik awan, ketika Benca dan Lorant berhasil mencapai batas desa Arva. Lorant memperhatikan Benca yang belum pernah pergi jauh. Benca terkagum-kagum dengan banyaknya rumah serta beberapa bangunan indah disepanjang jalan. Setiap kali mereka bertemu dengan orang-orang, kebanyakan menunduk hormat pada dirinya dan Benca. Lorant selalu membalas dengan menundukan kepala serta senyuman yang lebar, terkadang juga melambaikan tangan kepada mereka. Lorant tersenyum memperhatikan Benca mengikuti apa yang dilakukan olehnya. Benca tidak menyangka, betapa Lorant sangat di hormati di desa Arva. Meskipun awalnya Benca merasa risih dengan semua perhatian tersebut, namun Benca mencoba untuk membiasakan diri. Seumur hidupnya, hanya Gergely dan Gerda yang berada di dekatnya. Baru lima hari terakhir, Lorant adalah manusia ketiga yang dia kenal selama delapanbelas tahun kehidupannya. Sekarang, tiba-tiba saja ada banyak manusia lain y
Waktu makan malam telah tiba, Erza mampu membuat Ester untuk ikut bergabung dengan janji bahwa dia memiliki suatu kejutan untuk Ester. Menjelang makan malam, Baron Jensey dan Karoly de Czoborszentmihaly yang merupakan kakak kandung dari Baroness Ivett Henrietta de Czoborszentmihaly datang bersama Baron Arpad Czobor de Czoborszentmihaly kakak Erza. Rupanya mereka baru saja mengadakan pertemuan untuk membahas persoalan bisnis dengan situasi kacau yang terjadi di Sisak dan Moslavina. Keluarga Czoborszentmihaly memang terkenal dengan kecakapannya dalam berbisnis. Dan mereka sering mempertahankan bisnis serta kekayaan mereka dengan cara pernikahan antara kerabat dekat, atau dengan bangsawan yang setara kedudukannya. Kehadiran Jensey dan Karoly membawa keceriaan tersendiri, terutama bagi Ester dan Ivett. Sudah lama sekali Ivett tidak bertemu dengan saudaranya, lebih tepatnya sejak dia memutuskan untuk merawat calon mertua perempuannya, di kediaman keluarga Sarvar Felsovidek. Ester sendi