Menjelang dinihari saat kereta memasuki Stasiun Tugu. Sejak berangkat, ponsel Dhira nyaris tidak berhenti mendapatkan pesan dari Dimas. Entahlah, sejak obrolannya tempo hari Dhira merasa Dimas sedikit lebih protektif. Meski tidak Dhira pungkiri kalau sebelumnya juga perhatian Dimas selalu berlebihan untuk ukuran seorang sahabat. Apalagi saat ini, ketika lelaki itu sudah berterus terang tentang perasannya.Dimas sudah mewanti-wanti kalau dia yang akan menjemput Dhira. Tentu saja ucapan itu bukan izin melainkan hanya pemberitahuan. Jika setahun lalu Dimas yang bukan siapa-siapa saja sudah begitu antusias menjemput Dhira, bisa dibayangkan kondisinya sekarang ketika Dimas sudah setengah mengakui bahwa Dhira itu calon istrinya.Ups. Seketika Dhira merasa wajahnya sedikit menghangat. Ingatannya melayang ketika Dimas mengatakan calon istri. Benarkah Dimas sudah begitu yakin dengan perasaannya?“Hai.” Sapa Dimas sedikit kikuk ketika menghampiri Dhira yang sudah ada di pintu kedatangan.“Hei,
Espresso yang tadi dipesannya sudah tandas. Dhira melirik ponselnya. Panggilan dari Dhimas sudah bertambah. Beberapa pesan juga terlihat memenuhi aplikasi yang sering Dhira gunakan. Tangan Dhira bergetar ketika memberanikan diri untuk menghubungi Dimas. Sudah terlalu lama dia menghabiskan waktu untuk melamun di sini. Sekarang atau nanti, dia dan Dimas harus tetap menghadapi kenyataan itu.“Halo, Dim...”Kamu di mana? “Di kafe seberang rumah sakit.”Oke. Tunggu di sana. Jangan kemana-mana.Benar saja, tak sampai setengah jam Dimas sudah datang. Langkah panjangnya segera menuju ke tempat istrinya itu duduk. Segera dipeluknya Dhira dengan hangat. Seolah mereka sudah tidak bertemu berhari-hari.“Ini apa-apaan sih. Malu diliatin orang.” Omel Dhira.“Emang kenapa? Kamu istriku. Kita nikah udah lima tahun, masa kamu masih aja malu kalau aku peluk di tempat umum.” Goda Dimas.“Ya tetep aja aku malu. Kamu lagi nggak sibuk? Kok bisa langsung ke sini?”“Urusan istriku jauh lebih penting dari ap
Dhira benar-benar menjalankan rencananya untuk berpisah dari Dimas. Tanpa minta persetujuan dari Dimas lagi, Dhira mendaftarkan gugatan cerainya di Pengadilan Agama. Alasan yang dituliskan oleh Dhira adalah kekerasan dalam rumah tangga. Hanya itu satu-satunya alasan yang masuk akal dan bisa diterima dengan cepat. Kekerasan bukan sekedar fisik, tapi bisa juga psikis. Dhira menekankan bahwa kondisinya yang belum juga hamil menjadi pemicu utama kekerasan psikis yang dia terima dari pihak keluarga Dimas.Dimas juga sudah memeriksakan kondisi kesuburannya. Sesuai prediksi dokter, ternyata memang sperma Dimas yang kurang baik. Meski harapan untuk memiliki anak itu ada, tapi akan sangat sulit.Untuk meredam pemberitaan media yang selama ini selalu saja mengincar keluarga Mahendra, Dhira meminta bantuan temannya yang jadi pengacara supaya bisa membungkam mulut para pegawai di Pengadilan Agama. Sejak dulu, Dhira sangat tidak suka dengan publikasi dan berbagai pemberitaan. Meski dia tahu, sebag
Dhira melangkah gontai meninggalkan ruang periksa Dokter Prawira. Salah seorang dokter kandungan senior yang dia temui setelah sebelumnya berderet nama dokter kandungan yang direkomendasikan teman-temannya. Hasil yang didapatnya setelah melakukan berbagai pemeriksaan justru membuat Dhira goyah. Haruskah dia menyampaikan apa adanya kepada Dimas? Apa yang akan Dimas katakan andai dia membaca hasil pemeriksaan yang menyatakan dengan sangat jelas kalau kesuburan dan rahim Dhira baik-baik saja.Dimas satu-satunya anak lelaki keluarga besar Cipta Mahendra. Menikah dengan Dimas tidak semudah yang orang-orang bayangkan. Nama besar Mahendra yang tersemat di belakang nama Dimas menyebabkan Dhira harus berjuang lebih keras agar bisa diterima di dalam keluarga salah satu orang terkaya di negeri ini.Usia pernikahannya kini menginjak tahun kelima. Hampir setiap hari Dhira disuguhkan pertanyaan kapan hamil dari Yashinta, mertua perempuannya. Dan meski mertua lelakinya tidak pernah melak
Dhira menjejakkan kakinya di Stasiun Tugu. Ini pertama kali dia datang ke Yogya sendirian. Biasanya Dhira selalu datang bersama keluarga atau teman-temannya yang tentu saja setelah melewati perdebatan panjang bersama kedua kakak lelaki yang sangat berlebihan menjaga adik perempuan satu-satunya itu. Kedua orang tua mereka hanya menjadi penonton yang baik melihat keributan ketiga anaknya. Plus si bungsu yang memilih masuk ke dalam kamarnya dan bermain game.Langit dan Banyu tidak habis pikir kenapa adiknya sangat ngotot ingin kuliah di Yogya. Padahal kalau mau mengambil jurusan hukum dan menjadi pengacara handal, Dhira bisa kuliah di Bandung. Nilai-nilainya yang nyaris sempurna membuat Dhira bisa lolos dengan mudah. Namun Dhira menjawab kalau kedua kakaknya itu juga memilih kuliah di luar kota, bukan di Bandung. Langit dan Banyu merasa wajar jika mereka kuliah di Jakarta dan Yogya karena mereka anak laki-laki.Banyu sudah menawarkan opsi agar Dhira kuliah di Jakarta saja. Setidaknya Jak
“Foto siapa, Bang? Selingkuhan ya? Manis banget.” Dimas memandang Rama yang sibuk dengan foto di gawainya lalu menjatuhan tubuhnya di kasur milik sepupunya itu.“Enak aja nuduh selingkuhan. Gini-gini gue cowok setia.” Rama melempar bantal ke arah Dimas.“Terus itu siapa? Kok fotonya ada di elo?”“Adeknya temen gue. Dia mau kuliah di sini. Besok dia datang. Berhubung dia anak cewek satu-satunya, jadi teman gue ini nyuruh gue yang jemput ke stasiun. Cuma gue bingung. Besok gue ada janji ketemu dosen. Gue nggak tahu ketemu jam berapa terus beresnya jam berapa. Dosen gue cuma bilang besok gue harus standby di kampus.” Rama menyimpan kembali gawainya.“Ya udah, gue aja yang jemput.” Dimas menyahut singkat.“Serius? Tumben Lo mau? Lo kesambet apaan?”“Sekali-sekali berbuat baik lah.”“Beneran Lo bisa gantiin gue jemput dia?” Rama masih tak percaya kalau Dimas bisa menggantikannya. Biasanya Dimas nyaris nggak peduli dengan sekitarnya.“Ya ampun, Bang. Lo nggak percaya amat. Iya Bang, gue bi
Mata Dimas awas memandangi gadis dengan penampilan sangat sederhana itu. Sedikit berbeda dari ekspektasinya. Gadis manis berkulit setengah cokelat muda itu tampak santai hanya mengenakan celana jeans warna khaki dan kaos hitam berlengan pendek. Rambut panjangnya yang dibuat ekor kuda ikut bergerak setiap kali gadis itu menggerakan kepalanya. Dimas tersenyum menikmati pemandangan yang menurutnya sangat menggemaskan.Selama ini Dimas nyaris tidak pernah melihat perempuan sepolos Andhira. Mata belo dengan bola mata sehitam biji kopi itu tampak lebih menggoda meski dari kejauhan. Dimas tidak tahu bagaimana jendela jiwa itu mampu menyeretnya untuk berenang di sana.Orang terlihat hilir mudik keluar dari peron kereta menghampiri penjemputnya. Ada juga yang memilih naik taksi online atau ojek online yang mereka pesan lewat aplikasi. Sebagian lainnya sibuk adu tawar dengan kendaraan yang sudah mangkal di stasiun. Sedangkan Dimas sengaja mengulur sedikit waktu agar bisa lebih lama menatap moja
Tidak ada satupun perempuan yang pernah dekat dalam hidup Dimas. Dulu, ketika SMA Dimas pernah mencoba mendekati salah seorang teman sekelasnya. Nama perempuan itu Nirmala.Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari Mala. Kecuali otaknya yang luar biasa. Dia tidak cantik seperti teman-temannya yang lain. Namun, si kulit sawo matang itu akan terlihat sangat manis jika sedang tersenyum. Seingat Dimas, selama dia mengenal Mala, tidak pernah sekalipun Dimas melihat Mala tampil wah. Dia sangat sederhana.Namun, ternyata itulah awal mula Dimas harus meneguk kecewa. Setelah setahun melakukan pendekatan dan yakin kalau Mala juga memiliki perasaan yang sama dengannya, Dimas memberanikan diri untuk mengutarakan apa yang selama ini ada di hatinya.“Maaf, aku nggak bisa jadi pacar kamu, Dimas.” Jawaban Mala yang disampaikan dengan lemah lembut itu mampu menghantam dinding hati Dimas. Siang menuju sore yang masih terasa menyengat seakan membakar kecewa yang kini mulai hadir di hati Dimas.“Kenapa, Ma