Share

Bagaimana menata hati

"ASTAGA... PRASS!! LIAT ANAK KAMU," pekik ibu mertuaku. Tentu saja aku kaget dan melepaskan cucian yang belum sempat aku jemur. Aku setengah berlari menuju ke sumber suara dan aku mendapati Raka sedang membanjiri lantai rumah dengan air yang cukup banyak. 

Aku ingin meraih putraku dulu. Mungkin dia kaget karena suara histeris neneknya. Tapi langkahku terhenti saat mendengarnya bicara. "Sejak awal ibu sudah bilang sama kamu, Pras. Cari istri itu yang bener. Kamu kerja diluar seharian. Yang rawat anak kamu di rumah itu istri kamu. Kalo istrimu gak bener didik anak, ya gini kejadiannya." 

Deg 

Lagi-lagi hantaman keras seakan menimpa pundakku. Aku terdiam di belakangnya dengan darah yang sudah mendidih. Aku lelah mengerjakan semua pekerjaan rumah. Bahkan belum selesai mencuci pakaian mereka, aku sudah mendapatkan lagi ucapan yang sangat menyakitkan. Memang seperti inilah setiap harinya, namun aku tetap saja manusia biasa. Kenapa aku harus dipaksa memaklumi setiap ucapannya? 

"Sini kamu Raka!" aku memanggil Raka sedikit keras. Saat bocah kecil itu mendekat, aku langsung mencubitnya hingga dia menangis keras. 

"Aaaaa.... Bunda, Raka minta Maaf.... " 

Aku pikir setelah menghukum putraku, aku bisa lega. Tapi ternyata aku salah. 

Bodoh

Tolol

Itulah yang tergambar di benakku. Aku kesal pada mertuaku tapi aku lampiaskan pada anakku. Aku seharusnya memeluk bocah kecil itu. Menasehati mana yang baik dan buruk. Bukan menghukum dengan cara menyakitinya. 

Demi Tuhan. 

Aku menyesal. Aku memeluk bocah kecil itu dengan kesedihan tertahan. "Lain kali jangan buat lagi ya sayang," bisikku dengan rasa sakit yang tertahan. 

"Buk, Hana mau minta beliin baju baru. Liat nih! Kemeja putih Hana jadi jelek gini," ucap Hana yang tiba-tiba datang melemparkan bajunya yang kemarin aku cuci. 

"Kamu beli aja sendiri. Cucian dia emang gitu, gak pernah bersih!" maki mertuaku. 

Lucu sekali bukan? Jangankan berterimakasih. Mereka bahkan menghina hasil kerjaku yang bahkan lelahnya saja sampai sekarang belum hilang. 

Aku berdiri. Menatap mereka dengan datar. "Sudah tahu cucianku gak bersih. Kenapa masih nyuruh aku nyuci? Kenapa nggak nyuci sendiri aja!" 

"Asal kamu tahu, ya Ratih. Itu sudah menjadi kewajiban kamu sebagai istri dari anak saya. Wajar kalo kamu harus berbakti pada kami." 

"Kewajiban? Kalau ibu mau membahas masalah kewajiban, coba periksa dulu Mas Pras. Apa dia sudah melakukan semua kewajibannya dengan benar? Menjaga anak bukan hanya kewajiban seorang istri, Buk. Ratih lagi melakukan semua pekerjaan rumah tangga, seharusnya Raka ada yang jagain. Tapi apa? Kalian semua sibuk sendiri. Dan aku harus bekerja sambil ngeliatin anakku. Kalo ada apa-apa sama Raka, kalian malah nyalahin aku. Bukankah itu lucu?" 

"Kalo bicara sama orang tua itu yang sopan! Kamu nggak pernah diajarin etika sama orang tua kamu?" 

"Ratih sudah berusaha se sopan mungkin, Buk. Semua ucapan Ratih bukanlah makian seperti yang sering ibu lontarkan pada Ratih." 

Aku tahu mertuaku tidak akan berhenti jika aku tidak menghentikannya duluan. Sebab itulah aku membawa Raka ke kamar. Agar aku tidak mendengar lagi ucapan kasarnya. Meski samar masih bisa terdengar. 

Setelah sampai di kamar, aku kembali memeluk Raka. Lihatlah betapa menyesalnya aku, atas apa yang telah kuperbuat dengan putraku. Raka menjadi diam. Dia hanya memelukku. Sisa air mata di wajahnya sudah mengering namun aku tahu bahwa perasaan anak ini masih berkecamuk. 

"Masih sakit?" 

Raka mengangguk. Dan aku mengusap bekas cubitanku itu dengan lembut. Memolesnya dengan minyak, berharap sakitnya akan reda. 

"Bunda minta maaf, ya sayang. Bunda sayang sama Raka," lirihku dengan tetesan air mata yang tidak bisa lagi kubendung. Aku menempelkan kepala Raka di dadaku. Agar bocah kecil ini tidak melihat tangisanku. 

"Raka sayang Bunda... " 

"Bunda lebih sayang, Nak." 

Dari sini aku belajar. Seorang ibu itu sangat dekat sekali dengan gangguan kejiwaan. Bukan mitos belaka, tapi ini Fakta. Aku sendiri mengalaminya. 

Kelelahan dan tidak adanya apresiasi dari orang terdekat adalah pemicunya. Apalagi mendengar ucapan yang kerap kali menyakiti hati seorang ibu muda. Dan lihatlah siapa yang menjadi korban? Anak dan dirinya sendiri. 

Bukankah itu tidak adil? 

Lantas bagaimana mungkin kami para ibu bisa mengurus anak kami dengan baik jika hati kami saja tidak terurus dengan baik? 

***

Tidak ada yang bisa aku lakukan. Berdiam diri dirumah hanya akan menambah luka batinku. Aku memilih keluar meski aku tidak tahu harus kemana. Tentu saja dengan membawa Raka bersamaku. 

Sampai akhirnya tujuan langkahku mengarah pada rumah ibuku. 

"Raka sayang. Sini sama Ibuk," ucap Mbak Nadia. Dia suka dipanggil dengan sebutan ibu oleh anaknya dan juga anakku. Dia tidak sejahat yang orang lain pikirkan. Sekilas, dia terlihat jahat karena sering meninggalkan anaknya. Namun aku tahu, semua itu dia lakukan untuk mencari uang untuk anaknya. Meski caranya, kupikir salah. 

"Dayat mana?" 

"Lagi buat pedapuran kuburan bapak." 

"Aku mau liat. Mbak jagain Raka, ya?" 

"Iya." 

Aku melangkah ke arah kuburan bapak yang tidak berada jauh dari lingkungan rumah ibuku. Hanya sekitar lima kilometer. 

Saat sampai, rupanya Dayat sudah selesai mengerjakannya bersama beberapa orang membantunya. 

"Udah beres, Yat?" 

"Baru aja sudah, Mbak. Kami mau pulang dulu. Mau mandi." 

"Oh, iya." 

Lama ku pandangi kuburan bapak. Rasanya baru kemarin dia menasihatiku agar menjaga rumah tanggaku dengan baik. Tapi sekarang dia telah pergi menyisakan kenangan yang tidak mungkin bisa dilupakan. Jelas aku yang lebih dekat dengan bapak ketimbang saudaraku yang lain. 

"Pak? Gimana kabarnya disana? Ratih kangen." Aku menyeka air mata yang mulai menetes. Sembari mengusap batu nisan yang bertuliskan namanya. 

"Pak. Kenapa sakit sekali dunia yang Ratih rasakan? Bapak selalu bilang agar Ratih harus pintar dalam menjaga ucapan agar tidak menyakiti hati orang lain. Tapi kenapa mereka tidak pernah memikirkan apakah Ratih sakit hati atau tidak dengan mereka, Pak? maaf.... 

Ratih banyak mengeluh. Bolehkah Ratih juga menjerit, Pak? rasanya sesak sekali jika tidak dilampiaskan. 

Bangun Pak.... 

Lihatlah tangisan anakmu.... 

Ratih pengen peluk Bapak... " 

***

Semilir angin menerpa tubuhku. Mungkin karena dinginnya hatiku membuat hawa dingin di tempat ini tidak begitu terasa. Lebih tepatnya mungkin aku sudah mati rasa. 

Entah apa yang membawaku ketempat ini. Mungkin... Aku hanya ingin menyendiri. 

Ini adalah tempat hiburan untuk sepasang muda mudi. Dulu... Waktu aku berpacaran dengan Mas Pras. Kami sering kesini. Ada beberapa tempat yang cukup sepi, ini salah satunya. Didekat danau yang airnya sangat jernih. Namun terdapat beberapa cctv untuk mencegah pasangan berbuat hal yang tidak senonoh. 

Tidak ada yang berubah dari tempat ini. 

Hanya keadaan kami yang berubah. 

Aku berdiri. Dengan tegap dan sejenak memejamkan mata.  

"DEAR, IBU MERTUA. 

AKU NGGAK MASALAH KALO SEUMUR HIDUPKU HARUS MENJADI BABU-MU! AKU IKHLAS BAHKAN TANPA BERHARAP RASA TERIMA KASIH DARIMU. TAPI TOLONG.... 

JANGAN KELUARKAN KATA-KATA YANG MENYINGGUNG PERASAANKU. AKU CAPEK SETIAP KALI BERDEBAT DENGANMU....!" 

"AAAAAAAAAAA..........!!" 

Aku berteriak sekencang-kencangnya. Aku tahu mungkin cukup gila, tapi... Aku merasa puas. 

"Eh, Mbak? Kalo mau teriak, liat-liat dong! Kupingku sakit... " 

Aku terdiam. Suara seorang pria membuatku tiba-tiba merasa malu dengan apa yang baru saja aku lakukan. 

"Ah sial." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status